Skeptis

1774 Words
Mayang menatap wajah ibunya sesaat, seolah menunggu ibunya akan tertawa keras lalu mengatakan bahwa beliau hanya bercanda. Tetapi setelah saling tatap selama beberapa detik dan ternyata ibunya tetap diam dengan wajah sedih, Mayang akhirnya memutuskan untuk percaya kalau ibunya serius dengan ucapannya barusan, meskipun Mayang tidak bisa memercayai isi kata-katanya. “Ibu … Ibu serius …?” tanya Mayang. Rasanya aneh sekali mendengar ibunya berbicara tentang hal yang berbau mitos dan mistis seperti ini. Ibu mengangguk. Pelan namun mantap. Mayang kembali menolehkan kepalanya, berusaha melihat tanda lahir di bahunya. Kemudian ia menarik kembali kerah pakaiannya sampai menutupi pundaknya. “Terus … hubungannya kematian Mas Bayu dan Mas Ridho dengan tanda lahir yang Ibu katakan sebagai tanda lahir di bahu Mayang ini apa, Bu?” tanya Mayang. “Memangnya tanda lahir ini bisa berbuat apa kepada mereka berdua?” Ibu menoleh ke arah Mayang dan menatap lekat-lekat wajah putrinya itu dengan tatapan iba “Mayang,” ucap ibunya dengan suara bergetar, “dalam kepercayaan masyarakat Jawa, manusia yang membawa kutukan ini, Sengkolo Bahu Laweyan yang Ibu katakan tadi, bisa ditandai dengan adanya sebuah tanda lahir besar berwarna hitam di bahu kirinya. Masyarakat juga memercayai bahwa semua laki-laki yang menikah dengan pembawa kutukan tersebut, akan mati setelah malam pertama pernikahan mereka.” Mayang tercengang menatap ibunya. “Jadi, maksud Ibu … Mas Bayu dan Mas Ridho meninggal gara-gara Mayang sendiri? Karena Mayang pembawa kutukan tersebut?” tanya Mayang tak percaya. “Ibu percaya dengan hal seperti itu, Bu?” “Di luar dari Ibu percaya atau tidak, semua yang terjadi padamu memang seperti itu, Nak,” jawab ibu sabar sembari mengelus lembut punggung Mayang. “Tapi … sebentar.” Mayang mengerutkan dahi, berpikir keras. “Kalau kata-kata Ibu benar tentang kutukan ini, lalu … kenapa dan bagaimana Mayang bisa terkena kutukan itu, Bu?” tanya Mayang bingung. “Mayang kan, anak Ibu? Siapa yang menaruh kutukan ini di tubuh Mayang?” Ibu terdiam sesaat mendengar pertanyaan Mayang. Ia tampak menelan air liurnya dengan gugup. “Ibu … Ibu juga kurang mengerti soal itu, Nak,” kata ibu ragu. “Nggak ada yang tahu persis bagaimana proses terjadinya sebuah kutukan di dalam tubuh manusia. Tapi … banyak orang-orang di desa kita dulu yang mengatakan kalau kutukan seperti ini memang sudah diturunkan dari leluhur. Entah dari leluhur yang mana, dan apa alasannya. Tapi ….” “Tapi apa, Bu?” tanya Mayang penasaran. Ibu kembali menarik napas. Panjang dan berat. “Ibu pikir … ini ada hubungannya dengan … dengan bapakmu ….” ucap ibu setengah berbisik. “Ba … bapak …?” tanya Mayang nyaris tak percaya mendengar kata itu dari ibunya. Sejak Mayang kecil, ibunya sama sekali tidak pernah membicarakan tentang bapaknya. Mayang hanya tahu kalau bapaknya telah meninggal sejak ia baru lahir. Namun sepertinya memang ada yang disembunyikan oleh ibunya, bahkan pakde dan budenya. Karena ibu, pakde dan budenya sejak dulu sepertinya selalu menghindari pembicaraan soal bapak. Seolah-olah mereka semua sepakat membenci bapak Mayang, entah apa kesalahannya. Mayang bahkan tidak tahu siapa nama bapaknya dan di mana beliau dimakamkan. Di dalam semua akte kelahiran dan surat-surat penting menyangkut Mayang, tercantum nama pakdenya sebagai wali orang tua. Sejak mereka berdua meninggalkan desa mereka dulu, Mayang dan ibunya sama sekali tidak pernah meninggalkan rumah pakde dan budenya lagi. Mayang juga sudah lupa apa nama desanya, karena ibu sepertinya tidak suka membicarakan masa lalu mereka. Ibu mengangguk. “Iya, Mayang. Yang kamu alami ini … sepertinya … ada hubungannya dengan bapakmu. Tapi … Ibu sendiri nggak tahu apa dan bagaimana hubungannya,” jawab ibu Mayang lemah, seolah enggan sekali untuk memasuki pembahasan tentang hal ini. Mayang semakin bingung melihat sikap ibunya yang seperti itu. “Ada hubungannya dengan bapak, tapi Ibu sendiri nggak tau gimana hubungannya?” Mayang mengernyit. “Gimana sih Bu, maksudnya? Mayang kok makin bingung?” Ibu termenung sesaat, pandangannya menerawang kosong ke depan. Mayang hanya bisa ikut diam melihat ibunya seperti itu. Baru kali ini Mayang melihat wajah ibunya seperti itu. Dari dulu sebenarnya ingin rasanya Mayang bertanya lebih banyak pada ibu tentang mendiang bapaknya. Tetapi karena hal itu tidak pernah menjadi topik pembicaraan mereka selama hidup, Mayang menjadi semakin canggung bahkan hanya untuk sekadar bertanya siapa nama bapaknya. “Bu,” panggil Mayang memecah keheningan. “Sebenarnya … makam bapak ada di mana sih, Bu? Kenapa kita nggak pernah sekalipun mengunjungi makam bapak bahkan waktu kita masih di desa dulu?” Ibu mengangkat wajahnya. Kedua tangannya saling meremas dengan gugup. “Bu … sebenarnya nama bapak siapa sih, Bu?” tanya Mayang pelan. “Mayang dari dulu nggak tahu loh, nama bapak Mayang sendiri.” Ibu menoleh kembali ke arah Mayang. Dan betapa terkejutnya Mayang melihat mata ibu yang berkaca-kaca. Ibu menarik napas dengan cepat sebelum menjawab. “Sebenarnya ... sebenarnya ... bapakmu … bapakmu … bukan manusia, Nak ….” jawab ibu dengan suara sangat lirih, nyaris tak terdengar. “Ha … bukan manusia? Kok, bukan manusia? Maksudnya gimana, Bu?” tanya Mayang heran mendengar jawaban ibunya. Namun kemudian ia langsung sadar bahwa yang dikatakan oleh ibunya itu mungkin sebuah perumpamaan yang mengacu kepada sifat jahat manusia yang seringkali dianalogikan dengan makhluk selain manusia yang memiliki sifat seperti itu. “Bu ... bapak … bapak jahat ya, sama Ibu?” tebak Mayang. Dan ibu tiba-tiba saja menangis. Mayang terkejut melihat reaksi ibunya itu. “Bu …? Ibu … kenapa nangis, Bu …?” tanya Mayang sambil merangkul bahu ibunya. “Coba ceritain ke Mayang soal bapak deh, Bu. Kenapa Ibu sampai bilang bapak bukan manusia? Memangnya apa sih Bu, yang udah bapak lakukan sampai Ibu mengatakan bapak seperti itu?” “M … Mayang ….” ucap ibu di sela isaknya. Beliau tampak berusaha keras menghentikan tangisnya. “Ibu nggak bisa cerita sekarang, Nak. Ibu cuma mau mengingatkan kamu, supaya kamu … supaya kamu ….” Ibu tampak berat melanjutkan kalimatnya. “Supaya Mayang kenapa, Bu?” tanya Mayang. “Supaya kamu … nggak usah menikah lagi, Nak,” jawab ibu. Mayang kembali tercengang untuk yang kesekian kalinya. Meskipun Mayang memang saat ini masih dalam suasana berkabung dan tidak memikirkan untuk menikah lagi, namun pernyataan ibu tersebut mau tak mau membuatnya terkejut juga. Karena mana ada sih, orang tua yang melarang anaknya untuk menikah? “Mayang … nggak usah menikah lagi, Bu?” tanya Mayang memastikan bahwa telinganya tidak salah mendengar. “Iya, Nak,” jawab ibu lemah. “Ibu sebenarnya sangat berat untuk mengatakan ini sama kamu. Tapi, Ibu rasa itu lebih baik, Nak. Daripada kamu … kamu harus mengorbankan nyawa lima orang laki-laki lagi.” “Lima orang laki-laki lagi?” tanya Mayang bingung. “Kenapa lima orang, Bu?” Ibu mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Mayang. “Menurut kepercayaan kita, masyarakat Jawa, pembawa Sengkolo Bahu Laweyan ini baru bisa terlepas dari kutukan tersebut, kalau sudah menikah sebanyak tujuh kali,” ucap ibu. “Tujuh kali?” tanya Mayang. Ibu mengangguk. “Ibu, Pakde dan Bude kamu sudah membahas soal ini selama beberapa waktu. Dan kami sudah memutuskan untuk memberi tahu kamu soal kutukan itu. Kami juga sudah setuju untuk melarang kamu menikah lagi. Kami nggak mau kamu semakin sedih, Mayang. Kami juga nggak mau orang-orang di sekeliling kamu dan mendiang suami-suami kamu jadi berpikir yang nggak-nggak tentang kamu. Ibu nggak mau kalau sampai orang lain akhirnya menyadari bahwa kamu adalah pembawa kutukan, Mayang. Ibu nggak mau kamu dijauhi, dihina, bahkan dicaci maki nantinya karena kutukan itu. Cepat atau lambat, semua orang akan menyadari kalau kamu adalah pembawa Sengkolo Bahu Laweyan.” Ibu berhenti bicara sesaat untuk menarik napas panjang yang terdengar sangat berat. “Makanya, meskipun Ibu tau ini sangat menyakitkan dan sangat tidak pantas untuk diucapkan oleh seorang ibu kepada anaknya, tapi Ibu minta sama kamu, kamu nggak usah menikah lagi ya, Nak. Ibu nggak mau kamu semakin menderita ke depannya. Ibu nggak mau kamu mengorbankan lima orang laki-laki lagi untuk terlepas dari kutukan itu!” ucap ibu panjang lebar dengan nada sedih dan merana. Sakit sekali rasanya harus berbicara seperti itu kepada putri satu-satunya. “Maaf, Bu,” ucap Mayang lembut, “Mayang memang belum ada rencana untuk menikah lagi. Mayang masih berkabung, dan nggak berencana untuk buru-buru cari pasangan lagi. Tapi … maaf ya, Bu, Mayang nggak bisa memercayai apa yang Ibu ceritakan sejak tadi sama Mayang. Itu nggak rasional, Bu.” Suasana hening selama beberapa saat sebelum ibu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Perempuan paruh baya itu menatap lurus ke depan. Tangisnya sudah reda, hanya menyisakan beberapa kali isakan pelan saja. Beliau sepertinya sudah tahu bahwa tanggapan Mayang terhadap semua yang ia katakan akan seperti ini, dan sudah siap mendengar jawaban Mayang. Itulah mengapa sangat sulit sekali baginya untuk memulai pembicaraan ini karena ia tahu putrinya akan bersikap skeptis. “Ibu mengerti,” jawab ibu pelan. “Ibu tahu yang Ibu katakan ini aneh bagi kamu, Mayang. Ibu menceritakan ini semua sebagai tindakan pencegahan, agar kalau suatu hari nanti ada orang yang mengatakan tentang kutukan ini kepada kamu, kamu udah nggak kaget lagi, Mayang. Karena Ibu yakin, meskipun zaman sudah modern dan hal seperti ini sudah dikesampingkan karena dianggap takhayul atau mitos, masih akan nada orang-orang yang mengerti dan ingat akan hal ini. Mungkin dari cerita orang tuanya, dari film yang ditontonnya, atau dari catatan-catatan lama dan ulasan-ulasan di internet. Tapi Ibu yakin, bukan hanya Ibu saja yang akan berpikir seperti ini saat melihat ada seseorang yang mengalami hal seperti kamu.” Mayang termenung mendengar kata-kata ibunya, dan langsung mencatat dalam hati akan langsung mencari keterangan yang lebih jelas tentang kutukan Bahu Laweyan ini di internet nanti setelah ia pulang ke rumah. “Ibu juga mengatakan semua ini,” lanjut ibu, “agar kamu siap menghadapi semua risikonya dan kuat menghadapi omongan orang. Ibu tahu Ibu sebenarnya nggak punya hak untuk melarang kamu menikah lagi, meskipun kamu anak Ibu sendiri. Dan Ibu juga tahu kamu pasti nggak akan mau menuruti kata-kata Ibu, terlebih lagi saat nanti kamu bertemu lagi dengan laki-laki yang kamu sukai. Yah, pokoknya … Ibu melakukan ini karena Ibu, pakde dan bude sangat sayang sama kamu, Mayang. Kamu mengerti, kan?” Mayang mengulurkan kedua tangannya dan memeluk ibunya dengan erat, merebahkan kepalanya di bahu ibunya. “Maafin Mayang ya, Bu, karena nggak bisa menerima penjelasan Ibu yang Mayang anggap nggak masuk akal ini,” ucap Mayang lembut pada ibunya, “Mayang bukannya mau mengesampingkan nasihar Ibu atau membantah larangan Ibu. Tapi … Mayang selama ini udah terbiasa berpikir logis dan sesuai nalar, Bu. Jadi bagi Mayang, soal kutukan ini, hanyalah sebuah mitos atau cerita yang dibuat oleh manusia karena nggak bisa menemukan jawaban yang ilmiah atau wajar atas fenomena aneh tertentu. Nggak bisa Mayang jadikan sebuah patokan dalam menjalani kehidupan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD