Chapter 8

1282 Words
“Terkadang, cerita masa lalu adalah kenangan yang menyiksa.”   Florenza Seharusnya Tuhan menciptakan waktu dua arah agar aku bisa kembali ke masa lalu dan tidak pernah mengenal dirinya. Semuanya ini terjadi karena kebodohanku yang begitu mudah jatuh ke dalam pelukannya dulu. Aku tidak pernah menduga akan berimbas sedemikian parah pada akhirnya. Aku masih tidak percaya ucapan Mas Aftar tentang Mbak Ririe yang tidak mau kuganggu. Mas Aftar yang kukenal tidak pernah berbicara se-to the point itu padaku atau siapa pun, bahkan pada Mbak Ririe. Suami kakakku itu pria yang sangat menghargai perasaan orang. Terkadang, untuk berbicara saja ia harus berpikir dulu dan membuat kami menunggu lama hanya untuk mendengar pendapat atau lelucon tidak lucunya. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya selalu tertata dengan baik.  Rindu itu kembali menyerangku. Ayah dan Ibu, apa kabar mereka? Sedang apa mereka saat ini? Kenapa ponsel mereka tidak aktif? Apakah mereka sudah melupakan aku? Segunung pertanyaan tentang mereka terus berputar di kepalaku menuntut jawaban. Apa yang harus aku lakukan? Aku seperti hidup terpenjara di sini. Aku sangat tersiksa dan benci dengan semua ini. Pandanganku menyisir bunga-bunga yang bermekaran di taman dari balik jendela kamarku. Teralis besi yang terpasang kokoh di birai jendela tidak menghalangi netraku untuk memperhatikan kepak sayap beberapa kupu-kupu cantik yang bebas beterbangan dan hinggap di atas bunga-bunga yang mereka sukai.  Kapan aku bisa terbang sebebas mereka? "Kau mau sarapan di luar?" Aku yang sedang berimajinasi atau kalimat tanya itu memang terlontar dari mulut Zeroun? Aku menoleh ke arah pintu. Dia sudah berdiri di sana dengan kaus Armani hitam dan celana denimnya. Seandainya sikapnya bisa sebaik penampilannya... ah, sudahlah. Menurutku tidak ada hal baik dalam dirinya selain keberuntungan bahwa ia adalah pewaris tunggal Dhananjaya yang dianugerahi tampang memukau yang mampu memikat wanita hanya dalam sekali lirik. Ya, akui itu dan itu membuatku muak. "Dokter bilang keadaanmu sudah membaik." Ia melangkah mendekat padaku yang masih berdiri mematung di depan jendela. "Baik untukmu menghirup udara segar." Apa benar yang berada di hadapanku ini si berengsek Zeroun? Aku mengerjap, semoga saja ini hanya imajinasiku. Ia tidak akan bersikap selembut ini padaku. Entah apa yang bersemayam di kepalanya, aku merasa ia sangat membenciku selama ini.  "Apa aku tidak salah dengar?" pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa kusadari. Zeroun mengunci tatapannya padaku. "Flo, jangan mulai lagi." Jantungku berdetak kencang melihat tatapannya yang seperti ingin menelanku. Rasanya napasku pun ikut tertahan di tenggorokan merasakan kilat matanya menghantam relung hatiku. Aku hanya bisa menggigiti bibirku tanpa memberi jawaban. "Aku tunggu di bawah." Zeroun berbalik. Aku memandang punggungnya sampai tak terlihat di balik pintu. Huft! Akhirnya, ia menghilang juga dari pandanganku. Aku duduk di tepi tempat tidur, berpikir beberapa saat, apakah aku harus menerima tawaran Zeroun atau tidak? Akhirnya aku putuskan untuk menerima tawarannya. Aku memang butuh udara segar. Siapa tahu saat aku keluar nanti—tanpa sengaja—aku akan bertemu Ibu, Ayah, Mbak Ririe, Mas Aftar, atau siapa pun yang tahu kabar orangtua dan kakakku. Dengan dress terusan berbahan jersey selutut tanpa lengan aku menuruni anak tangga. Aku melihatnya duduk di sofa ruang tamu sambil memperhatikan langkahku. Hm, aku tidak serapuh yang kau kira, Ze. Zeroun membawaku ke sebuah taman tak jauh dari lokasi perumahan. Taman yang sangat luas dengan danau yang di kelilingi jogging track dan ditumbuhi beragam pepohonan serta bunga-bunga. Suasana sejuk di sini meluruhkan ketegangan saraf-sarafku. Zeroun memilih bangku kayu di pinggir danau dan kami duduk di sana. Air danau yang tenang seakan membujuk kami untuk tetap saling membisu, walaupun bunga-bunga cantik yang tumbuh di tepinya membisiki kami untuk saling membuka suara. Harus ada yang mengalah. "Kenapa kau membawaku ke sini? Apa kau tidak ada kerjaan hari ini?" Aku memecah kebisuan  dengan pertanyaan yang menurutku tidak penting. Zeroun melirikku lalu kembali meluruskan pandangannya ke depan. "Hari ini hari Minggu." "Oh!" Aku mengangkat alisku menyadari betapa aku tak tahu apa-apa selama beberapa hari terakhir ini. Aku bahkan tidak bisa mengingat hari karena terlalu lama berada di dalam kamar. Yang aku tahu hanya siang dan malam. Ya, ini mungkin hari Minggu. Aku melihat tidak sedikit orang yang ber-jogging ria mengelilingi jogging track. Ada pula sekumpulan orang yang melakukan yoga di lapangan hijau di tengah taman. Biasanya, taman selalu ramai di akhir pekan.  Suasana kembali senyap sampai Zeroun menggenggam tanganku lalu memintaku bangkit hanya dengan isyarat matanya. Aku mengikuti langkah Zeroun menyusuri jogging track sampai tiba di food court yang terletak di bagian terdepan taman kota ini. Pertama kalinya selama masa pernikahan kami, ia mengaitkan jemarinya ke jemariku selama kami berjalan. Senang? Tidak sama sekali. Aku tidak mau seperti ini tapi aku tidak mau ribut dengannya di tempat umum. Sialnya lagi, aku tidak menemukan seorang pun yang aku kenal di tempat ini hingga tujuanku keluar dengan Zeroun pagi ini tidak tercapai. Ya Tuhan, kemana kekuatanku yang dulu? Baru berjalan beberapa menit saja aku merasa tubuhku nyaris tak bertenaga. Kehamilanku yang menginjak usia 25 minggu ini sungguh menyiksa. Aku sedikit terengah. Sambil menahan lelah, aku mencoba mengatur napas perlahan. "Kau baik-baik saja?" Zeroun sok perhatian padaku. "Iya." Aku tidak ingin berbasa-basi, lagi pula aku sudah tidak punya waktu untuk itu.  Ia meletakkan tangannya di pundakku lalu menuntunku ke sebuah tempat duduk untuk pengunjung di tengah food court. Untuk sebagian orang mungkin kami tampak seperti pasangan yang serasi lantaran sikap sok perhatian Zeroun padaku. "Aku akan membelikanmu sesuatu. Tunggu dulu di sini, ya," ucapnya. Aku jawab dengan anggukan. Aku merasa aneh dengan sikapnya. Dia bukan Zeroun. Zeroun yang kukenal tidak seperti ini. Aku memijat dahiku sambil memandang lantai bermotif catur yang menurutku sangat indah. Entahlah, sejak aku hamil aku selalu mengagumi warna hitam dan putih. "Flo." Suara berat dan basah itu membuatku terpangah. Aku mengangkat wajahku perlahan, memohon dalam hati, semoga bukan dia yang aku duga. Mataku melebar dan merasa sedikit basah ketika tatapan kami bertemu. "Mat." Kami berpandangan beberapa saat. Pancaran iris gelap Matteo menggores sisi terdalam hatiku. Apa kabar mantan terindahku? Aku hanya mampu membatin. Matteo tidak berubah sama sekali. Ia tetap tampil menakjubkan. Sama seperti ketika aku masih menjadi istrinya.  "Apa kabar?" Bibirnya membentuk lengkungan senyum kaku. Aku tahu tidak mudah bagi kami untuk saling menyapa dengan manis, mengingat alasan  perpisahan kami yang tragis.  "Baik." Ya, Tuhan. Aku ingin menangis sekarang. Pandangan Matteo menjelajahi wajahku lalu turun ke perut buncitku. Ia tersenyum kembali padaku. Aku tahu ia tidak ingin melakukan itu. Ia mungkin sangat membenciku karena ini. "Selamat, ya. Kau akan segera menjadi ibu." Sindiran Matteo bagai sembilu yang menghujam jantungku. Aku tersenyum kaku. Bibirku sedikit bergetar. Mungkin Mateo bisa melihatnya, tapi aku tetap mencoba mengembangkan senyumanku. Iris gelap Matteo melirik ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu lalu kembali mengunci pandangannya padaku. "Kau datang bersamanya?"  Aku mengangguk. d**a ini rasanya begitu sesak dan hampir meledak. Aku sudah kembali menyakitinya dengan memperlihatkan keadaanku yang seperti sekarang ini. Selama dua tahun menikah dengannya, Tuhan tidak mempercayai kami untuk menjaga dan merawat titipanNya. Namun, Dia mempercayakan titipanNya lewat skandal memalukanku dengan Zeroun.  "Aku permisi. Semoga kau selalu bahagia bersamanya," ucap Matteo mengakhiri perbincangan singkat kami.  Aku tidak sanggup melihat langkah Matteo yang semakin menjauh. Aku hanya bisa meremas tangan di atas pangkuanku sambil menunduk. Aku segera menghapus air mata yang tidak kusadari sudah meleleh. Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini, di tempat ini, dan ketika aku bersamanya?  "Kau kenapa, Flo?" Sial! Apakah Zeroun tahu tadi aku bersua dengan Matteo? Ya, ampun. Bagaimana ini? Aku ragu untuk mendongak tapi aku tidak bisa berbohong. Semua terjadi begitu cepat. Aku menguatkan diriku menatapnya. "Ya, aku tidak apa-apa."  Zeroun meletakkan semangkuk oatmeal dengan taburan potongan stroberi dan kenari cincang  serta dua botol air mineral di atas meja. Ia mendorong mangkuk berisi oatmeal itu lebih dekat padaku. "Makan dulu. Oatmeal mengadung banyak serat, bagus untuk ibu hamil." Rasa di dadaku masih berkecamuk. Aku tidak bisa menolaknya. Aku merasakan pipiku menghangat oleh air mata yang tanpa permisi sudah meluncur.  Sambil mengunyah oatmeal yang tiba-tiba terasa seperti karet, karena tidak bisa kutelan, aku menyapu cucuran air mataku dengan punggung tangan. "Aku tanya sekali lagi, kau kenapa?" Zeroun bertanya dengan nada menekan.  "Aku teringat Ayah dan Ibu." Aku terpaksa menjawab meskipun dengan suara bergetar dan mungkin saja hampir tidak terdengar. Zeroun menatapku geram. "Benar hanya karena itu? Bukan karena Matteo?"  ===== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD