Chapter 7

1269 Words
"Satu hal yang sangat kubenci dalam hidup yaitu mencintai orang yang membenciku.”   Zeroun Aku mengutuki diriku sendiri karena sudah menyakitinya lagi. Meskipun aku tahu akulah "si b******n" itu, tapi hatiku masih belum tergerak untuk mengakuinya. Rasa sakit ini masih terpenjara di sini, di dadaku, dan terlalu menyesakkan. Aku selalu meyakinkan hatiku bahwa aku tidak mendendam pada Florenza karena pengkhianatannya. Namun, setiap kali aku melihat wajahnya, ia selalu berhasil menyemai perih di hatiku. Semua ini kesalahanmu yang telah meninggalkan aku di saat aku benar-benar jatuh cinta padamu, Florenza. Aku menyeretnya, tidak benar-benar menyeret, hanya menarik lengannya  dengan cekalan yang sedikit erat, menuju kamarnya. Tak kupedulikan teriakannya yang terus memaki dan mengumpatku.  "Ze, lepaskan aku! Dasar b******n kau, Ze. Lepas!" Florenza terus memakiku.  Entah sudah berapa ratus kata ia menyumpahiku, aku masih menulikan pendengaranku. Florenza memang punya tekad sekuat baja. Ia masih terus meronta dan berusaha memukuli lenganku sampai tiba di kamarnya. Ia berusaha menggigit tanganku yang mencekal lengannya. Refleks, aku mengibaskan tanganku dengan tenaga penuh hingga hampir membuatnya terjengkang seandainya aku tak meraih tubuhnya dengan cepat.  "Auw!"  Florenza mengaduh saat perutnya beradu cukup kencang, kurasa, dengan bagian bawah perutku. Aku menahannya dalam dekapanku agar tubuhnya tidak melorot. Tubuhku dan tubuhnya melekat dan hanya terhalang pakaian kami, pipiku menyentuh kulit pipinya yang selembut sutera, dan hangat embusan napasnya seakan berbisik menggoda organ pendengaranku. Sial! Aku hampir larut dalam dekapan tak sengaja ini. Aku melepas dekapanku tapi kulihat tubuh Flo gemetar. Tidak mau mengambil risiko, jadi aku menggendong Flo dan membaringkannya di atas tempat tidur. Ia tidak protes, artinya ia sedang merasakan sesuatu sedang bergolak di tubuhnya. "Kau tidak apa-apa?" Sumpah, aku mengkhawatirkan keadaannya.  Flo melayangkan tatapan sinisnya padaku lalu menjawab dengan nada yang sama yang dipancarkan mata almondnya. "Apa pedulimu?" "Aku mengkhawatirkanmu dan bayi kita," tandasku. "Kaupikir aku peduli dengan bayi ini? Dia mati sekalipun, tidak jadi masalah untukku." Ia berguling memunggungiku. Aliran darahku yang mendidih mulai menanjak ke kepala. Aku ingin sekali membungkam mulutnya. Haruskah kulakukan? Braaak! Aku membanting pintu kamarnya dari luar. Lebih baik aku menghindar sebelum emosiku tak terkendali. Berjalan mengitari kolam renang dan berakhir dengan duduk di sebuah sun lounger  yang berderet di pinggir kolam, pikiranku masih berkelana mencari makna pernikahanku dengan Florenza. It's empty. Tidak ada arah dan tujuan untuk melabuhkan bahtera ini. Semuanya terasa tidak benar, semuanya berdiri tidak pada tempatnya. . . "Pak Ze! Pak Ze!" Lengkingan suara sopran bernada panik membuatku terjaga.  Kenapa sih Bi Edah teriak-teriak begitu sepagi ini? Sungkan, aku membuka pintu kamarku. Raut wajah wanita berusia lima puluhan itu menampakkan kecemasan berlebih.  "Ada apa, Bi?" selidikku. "Pak Ze, itu Bu Flo. Bu Flo, Pak Ze," ucap Bi Edah seperti orang kebingungan. Aku membelalak mendengar nama Florenza disebut-sebut. Ucapan Bi Edah membangun kecemasan tersendiri di bilik hatiku dan menuai was-was. Demi Tuhan aku tidak membenci Florenza, hanya saja perih ini masih bergelayut di hatiku karena ia pernah meninggalkanku. "Ada apa dengan Flo, Bi?" "Bu Flo demam, Pak. Dia mengigau terus. Bibi jadi khawatir," jelas Bi Edah dengan suara sedikit gemetar. Aku mengambil langkah cepat ke kamar Florenza. Ia menggigil di atas tempat tidurnya. Tubuhnya bergetar dan saat aku meletakan punggung tanganku di dahinya, suhu tubuhnya hampir menghanguskan tanganku. Segera kuhubungi dokter pribadi keluargaku. Sembari menunggu dokter Mukti datang, aku duduk di kursi rotan di samping tempat tidur Florenza. Aku menggenggam tangannya. Untuk pertamakalinya dalam masa pernikahan ini aku merasa cemas berlebihan akan kondisi Florenza. "Ayah, Ibu...." Florenza terus memanggil-manggil ayah dan ibunya.  Selama ini aku sangat membatasi geraknya. Ia tidak pernah bertemu lagi dengan ayah dan ibunya sejak tinggal bersamaku. Jahat? Aku hanya tidak mau kehilangannya. Florenza tidak akan kembali ke rumah ini jika aku mengizinkannya bertemu orangtuanya. Ia akan membuat berjuta alasan agar ia bisa meninggalkanku lagi.  "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyaku pada dokter Mukti sesaat setelah ia selesai memeriksa keadaan Florenza. "Bu Flo hanya demam biasa. Tidak perlu untuk dikhawatirkan. Setelah minum obat yang saya berikan, demamnya akan segera turun," balas dokter Mukti. "Iya, Dok. terima kasih." "Satu lagi, Pak Ze, sebaiknya Bapak undang mertua Bapak ke sini. Bu Flo sepertinya akan lebih tenang jika sudah bertemu ayah atau ibunya. Bisa saja ia sakit karena merindukan orangtuanya. Pasalnya, ia memanggil-manggil ayah dan ibunya terus dalam ketidaksadarannya," saran dr. Mukti. Sempat terpikir olehku untuk mengundang kedua orangtua Florenza ke sini, saran dokter Mukti menguatkan niatku. Setelah dokter Mukti meninggalkan rumahku, aku tunaikan niatku menghubungi Om Lukman, ayah Florenza. Aku tidak menceritakan kondisi Florenza padanya, hanya memintanya dan Tante Sari untuk datang ke rumah ini. . . Florenza Tubuhku terasa sangat lemas. Aku bosan berbaring. Aku meminta Bi Edah menumpuk bantal agar aku bisa duduk bersandar. "Sudah nyaman, Bu?" Bi Edah sangat perhatian padaku.  Aku bersyukur di saat aku diperlakukan seperti sampah oleh Zeroun, masih ada yang peduli padaku. "Lumayan, Bi. Terima kasih, ya." Gerakan kecil di perutku membuatku sedikit geli. Aku seharusnya membenci bayi ini. Namun, semakin sering dia menendang, aku semakin sering bertanya dalam hatiku. Apakah wajahnya nanti akan mirip denganku? Warna biru atau merah muda yang cocok untuk dekorasi kamar mungilnya nanti? Apakah dia akan memanggilku mama atau ibu, sepertiku memanggil ibuku? Ya Tuhan, kenapa Engkau menitipkan benih ini padaku melalui dirinya yang sangat aku benci? Berhari-hari aku kembali terkurung di dalam kamarku. Zeroun sama sekali tidak mengizinkan aku keluar dari kamar. Pria itu semakin tidak waras dengan kembali tak memberiku akses sedikit pun untuk melihat keadaan dunia luar. Kali ini lebih parah. Ia mengeluarkan pesawat televisi yang ada di kamarku, merampas gadget-ku, dan tak membiarkan aku membaca koran maupun majalah. Aku hanya ditemani buku-buku romansa dan parenting yang disediakan olehnya.  Aku menatap  ke luar dari jendela kamarku. Langit sudah menjingga dan sebentar lagi akan menggelap. Hatiku begitu merindu pada Ayah dan Ibu juga Mbak Ririe. Hampir tiga bulan lamanya aku tidak berjumpa Ayah dan Ibu. Decit suara pintu terbuka tak membuatku memalingkan pandanganku dari pemandangan taman mungil penuh bunga di luar sana. "Bagaimana keadaanmu?" Seperti sudah diatur, setiap kali senja akan berganti malam, ia selalu datang ke kamarku dan bersikap sok manis. "Aku ingin bertemu Ibu, Ze," balasku. Aku tidak mendengar jawabannya selama beberapa saat. Namun, setelah aku mendengar ia mendengkus, ia memberi jawaban yang membuatku ingin sekali tenggelam dalam air mata.  "Kau tidak bisa bertemu dengannya. Tidak sekarang, tidak juga nanti." Ze meninggalkanku begitu saja lalu aku mendengar bunyi pintu kamarku yang dibanting cukup keras. Semalaman menangis tak membuat keinginanku bertemu ayah dan ibuku melebur. Kerinduanku pada Ayah dan Ibu semakin besar. Aku ingin memeluk mereka saat ini. Bi Edah meletakkan bedtray berisi sarapanku di atas meja kecil di samping tempat tidurku.  "Ibu kenapa? Bertengkar lagi dengan Bapak?"  "Nggak, Bi." Aku meneguk air putih untuk membasahi tenggorokanku yang terasa sangat kering. Bi Edah duduk di ujung tempat tidurku lalu memijat kakiku dengan lembut. "Mata Ibu nggak bisa bohong, Bu." "Aku hanya ingat sama Ayah dan Ibu, Bi." aku kembali terisak ketika ingatanku memutar kembali gambar kedua orang yang sangat aku sayangi. Bi Edah mengubah posisi duduknya lebih maju. "Bibi tahu Pak Ze nggak ngizinin Ibu nelepon siapa pun. Pak Ze sudah kelewatan melarang Ibu menghubungi orangtua Ibu sendiri." Bi Edah mengeluarkan ponsel miliknya dari saku gamis batiknya. "Ini, pakai punya Bibi untuk menghubungi orangtua Bu Flo." Terima kasih Tuhan, masih ada orang baik yang mau membantuku. Aku mengambil ponsel milik Bi Edah lalu men-dial nomer telepon Ibu. Ponsel ibu tidak aktif. Aku mencoba menghubungi Ayah. Hal yang sama juga terjadi pada Ayah. Ponsel keduanya tidak aktif. Secercah harapan menyinari hatiku yang kelabu saat panggilan teleponku terhubung dengan ponsel Mbak Ririe.  "Dengan siapa saya bicara?" tanya suara tenor di ujung telepon. "Mas Aftar, ini Flo, Mas." Aku terkejut mendengar suara Mas Aftar. "Mbak Ririe ada, Mas?" "Oh, Flo. Begini, Flo. Sebaiknya kau tidak usah menghubungi Ririe dulu saat ini. Ririe sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun termasuk kau." Mas Aftar langsung memutus sambungan teleponku. Aku mencoba men-dial ulang tapi sepertinya Mas Aftar mematikan ponsel milik Mbak Ririe. Hatiku mencelus. Air mataku tumpah ruah. Ada apa dengan Ayah, Ibu, dan Mbak Ririe? Kenapa mereka tidak mau aku hubungi? Apa yang membuat mereka menghindar dariku? ===== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD