Chapter 1
“Masa lalu bukanlah perangkap untuk menahan kita tetap berada di dalamnya.”
Aku menatap nanar diriku di depan cermin meja rias. Betapa bodohnya aku kembali terjebak dalam kehidupan yang dengan susah payah sudah aku tinggalkan sejak dua tahun lalu. Aku tidak bisa membendung aliran air mata yang terus mengalir ini. Sesal, benci, dan marah bergelung menjadi satu di hati dan kepalaku.
Aku membekap mulut dengan tangan agar tangisanku tak bersuara. Aku mencintainya, dulu. Tidak untuk saat ini dan nanti. Ya, Tuhan. Aku membenci pria itu. Aku membenci dia yang sudah menghancurkan seluruh mimpi dan hidupku.
Mengingatnya membuat emosiku tak terkendali, membuatku menyerah pada rasa sabar, dan membuatku bersikap impulsif.
Praaang!
Gelegar suara vas bunga yang menghantam cermin meja rias membuat Ayah, Ibu, dan Mbak Ririe berlarian ke kamarku. Aku mendengar mereka memanggil namaku.
"Flo, ada apa ini?" Suara basah Ibu terdengar bergetar.
"Florenza." Ayah mensejajarkan posisinya denganku yang duduk bersimpuh di lantai. Ia menekuk sebelah lutut lalu memelukku.
Aku tahu mereka sangat mengkhawatirkan keadaanku setelah badai mengerikan yang memorakporandakan hidupku belum juga berakhir. Badai itu kini kian menarikku lebih jauh ke dalam pusarannya.
Bagian depan kebaya putih yang kupakai sudah basah oleh air mata. Pun, dengan riasan wajahku yang luntur. Mulutku hanya bisa mengumpat dan mengutuk.
"Flo enggak mau hidup sama si b******n itu, Yah! Flo enggak mau jadi istri si berengsek itu!!!" teriakku di pelukan Ayah.
Entah tangan siapa yang mengusap lembut punggungku, tapi aku mendengar suara Mbak Ririe berkata, "Flo, kau harus terima semuanya. Semua sudah terjadi. Anggap saja kesalahan ini adalah sebuah pembelajaran hidup."
Aku mendorong diriku lepas dari pelukan Ayah. Aku tersinggung dengan ucapan Mbak Ririe yang seolah menyudutkanku."Kenapa semuanya enggak ada yang percaya sama Flo? Kenapa semua orang menuduh Flo mengkhianati Matteo? Mbak, Flo pilih Matteo jadi suami Flo karena Flo sayang sama dia. Flo ingin hidup dan membina rumah tangga sama dia. Flo eenggak mengkhianati Matteo, Mbak. Demi Tuhan, Flo sayang sama Mat. Tapi, si berengsek itu merusak semuanya! Si b***t tak bermoral itu menghancurkan semua!!!"
"Flo, Sayang." Ibu mendekat. Aku bisa melihat dengan jelas genangan air mata di pelupuk matanya. Ibu membawaku ke dalam pelukannya. "Ibu, Ayah, dan juga Mbak Ririe percaya padamu. Kita percaya padamu, Nak."
"Kita semua berada di posisi yang sulit, Flo. Bukti perselingkuhanmu dengan Ze sudah terlanjur viral. Itu semua memang menyudutkanmu." Nada bicara Mbak Ririe terdengar frustrasi.
"Menyudutkan Flo karena Flo istri orang dan si berengsek itu pria lajang yang kaya raya?!" sanggahku sembari menenggelamkan wajah ke pelukan Ibu.
Dua tahun terakhir ini kehidupanku sangat bahagia. Aku menikah dengan seorang bankir yang tampan, baik, dan sederhana. Matteo tidak pernah mempermasalahkan status keperawananku yang telah direnggut si berengsek itu dulu. Baginya, cintaku yang terpenting. Walaupun kami belum dikaruniai momongan, Matteo dengan sabar selalu berkata bahwa Tuhan masih belum memberi kepercayaan pada kami untuk menjadi orangtua. Suatu saat nanti, Tuhan akan memberikan semua yang terbaik untuk kami. Semua ucapan dan sikapnya selalu bisa menenangkanku. Hidup kami lebih dari sekadar bahagia. Namun, si berengsek itu telah berhasil meluruhkan rasa cinta dan kepercayaan Matteo padaku. Dia sukses membuat rumah taenggaku dengan Matteo hancur lebur sampai tak tersisa.
Entah apa yang terjadi sebelumnya, pagi itu aku terbangun dipelukan Zeroun tanpa selembar benang pun menutup tubuh kami. Beberapa hari kemudian gosip itu merebak dan menggemparkan seluruh kota. Rekaman video m***m kami beredar luas di media sosial. Hal itu menjadi satu pukulan berat untuk Matteo dan terutama untukku. Keluargaku pun tak luput terkena imbas gosip tersebut. Dalam kasus ini, akulah yang sangat terpojok dibandingkan dengan si berengsek Zeroun. Semua orang menuduhku sebagai wanita tukang selingkuh dan b***t. Yang lebih parahnya lagi, mereka menuduhku berselingkuh dengan Zeroun karena bertujuan untuk menjeratnya. Sekuat apa pun aku membela diri, aku tetap saja tidak bisa membuktikan bahwa aku telah dijebak Zeroun. Sudah menjadi hukum alam bahwa yang berkuasa dan punya uang banyak akan selalu menang. Uang memang maha segalanya.
Ibu dan Mbak Ririe membantuku berdiri. Pernikahanku yang kedua akan segera dilaksanakan. Jika saja aku tidak melihat penderitaan Ayah dan Ibu yang disebabkan oleh gosip itu, aku tidak akan pernah mau menikah dengannya. Ayah dan Ibu sudah cukup mengalami penghinaan dari banyak orang yang menganggapku nista dan tidak bermoral. Aku tidak sanggup menambah beban mereka lagi. Tekanan dari bos ayahku yang tidak lain adalah orangtua Zeroun, menambah daftar panjang alasanku untuk menikah dengannya. Namun, satu hal yang tidak bisa membuatku lari darinya adalah benihnya yang kini bertumbuh di rahimku.
Ibu dan Ayah menggandeng tanganku menuju ruang tamu yang digunakan untuk melaksanakan prosesi pernikahanku dengan Zeroun. Pernikahanku kali ini berbanding terbalik dengan pernikahan pertamaku bersama Matteo. Tidak ada pesta meriah, tidak ada tamu, dan tidak ada kegembiraan yang terpancar. Pernikahan ini hanya dihadiri oleh keluargaku dan keluarganya.
Aku melihatnya duduk dengan santai di tengah-tengah lingkaran kursi yang sudah Mas Aftar, suami Mbak Ririe, siapkan. Ia bersedekap, tanpa emosi, namun tatapan angkuh dan arogannya masih jelas terlihat. Aku memang pernah tergila-gila pada pesonanya. Aku sudah dibodohi, terlalu dibodohi, perasaanku sendiri padanya dulu.
Kini, aku jijik melihatnya. Aku jijik dengan semua sikap pengecut dan arogannya. Tanpa menoleh, perasaanku berkata dia sedang memperhatikanku. Aku sama sekali tidak ingin melihat wajahnya.
"Bagaimana? Sudah siap semua?" Pak Penghulu bersiap untuk memulai.
"Sudah, Pak," cetus Ayah.
"Baik. Kita mulai, ya.”
Rasanya aku ingin mengubur diriku dalam-dalam di dalam tanah saat Zeroun mengucapkan ijab kabul. Ketika kata SAH itu dicetuskan oleh Pak Penghulu, rasanya aku ingin bersembunyi di gua terdalam dan tergelap yang ada di bumi ini. Kurang dari lima belas menit, aku sudah sah menjadi istri pria berengsek itu.
"Sekarang kau dan Zeroun bisa memulai hidup baru, Flo. Mama harap kau bisa menjaga calon cucu mama dengan baik sampai dia lahir. Kau akan tinggal bersama Zeroun mulai saat ini," tutur Tante Prisil, mamanya Zeroun.
Aku mendongak. Reaksi penolakan turun dari otak ke mataku yang kini melebar. "Tante, saya—"
"Dia akan tinggal bersamaku, Ma. Aku sudah mengambil keputusan." Zeroun membuka suara. Suaranya yang menekan dan berat membuatku ingin menulikan telinga.
"Saya tidak—"
"Kau harus mau. Kau itu wanita dewasa. Usiamu sudah 24 tahun. Apa kau masih mau menyusahkan orangtuamu?" Zeroun memotong dengan nada kesal.
Emosi mulai terkumpul dan menyesakkan dadaku. Mataku terasa sangat panas hingga dalam satu kedipan saja, air mataku tumpah. Sindirin tajam yang keluar dari mulut pedasnya sudah berhasil mengoyak ketegaranku yang perlahan sedang aku bangun kembali.
Aku menyeka air mata dengan jemariku. Ibu mengusap-usap punggungku dan menasihatiku dengan suara yang sedikit bergetar. "Kau pasti bisa menghadapi ini semua, Flo. Kau pasti bisa melalui ini. Ibu yakin kau lebih kuat dari yang kauduga."
"Suami istri itu memang sudah seharusnya tinggal serumah. Kalian harus belajar untuk berpikir lebih dewasa dan banyak belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah kalian buat." ucapan Om Ronnie, papa si berengsek itu, secara tidak langsung menamparku dengan sangat keras.
Aku tahu pengaruh keluarga Dhananjaya terhadap keluargaku sangat kuat, tapi aku tidak menduga semua anggota keluargaku akan menunduk patuh pada mereka seperti ini. Mbak Ririe yang selalu membelaku dan biasa berbicara lantang, kini, ia hanya diam. Sedangkan Ayah, aku tidak bisa mengharapkan Ayah. Ayah adalah abdi setia keluarga itu.
Tidak berselang lama, dengan langkah tertahan dan hati merintih sedih aku ikut bersama Zeroun pulang ke rumahnya. Rumah yang terlalu besar untukku dan dia. Rumah yang hanya akan mengumandangkan kesunyian dan kesepian penghuninya karena terlalu megah.
Langkah pelanku berubah cepat bahkan menjadi sangat cepat saat Zeroun menarik tanganku dan terus menyeretku ke sebuah kamar. Rasa cinta yang dulu pernah ada, saat ini telah pudar bagai coretan tinta yang tersiram air. Perutku bergolak dan mendadak menjadi mual melihat tatapan sinis namun penuh gairahnya yang terarah padaku. Tak memedulikan ekspresi penolakanku, si setan licik itu menunjukkan dominasinya terhadapku. Ia melempar tubuhku ke atas tempat tidur.
"Zeroun, kau memang b******n! Jangan pernah menyentuhku lagi!!!"
Si b***t itu memperlihatkan seringai iblisnya sembari mencibir, "Aku tidak yakin kau tidak mau aku sentuh. Apa kau lupa bagaimana caramu menjeratku dengan menyerahkan semua yang kau miliki dulu?"
"Dasar b******n kau, Zeroun!!! Dulu aku dibutakan oleh yang namanya cinta. Tapi, sekarang... sekarang aku bisa melihat, bahwa cintaku kepadamu dulu hanyalah sebuah manipulasi hati. Obsesi gila yang harus dibuang jauh-jauh! Kau adalah satu-satunya orang yang tidak pantas mendapatkan cinta dariku! Aku jijik melihatmu!!!"
Ia menarik ke atas sebelah ujung bibirnya. Tatapannya terlihat buas dan membuatku merinding. Aku kerap bicara kasar dan menunjukkan kebencianku padanya sejak gosip perselingkuhanku dengannya menyeruak, tapi ini pertama kalinya aku melihat tatapan itu... tatapan penuh kemarahan, kebencian, dan kekecewaan.
Ia mendekat padaku. Paru-paruku terasa berhenti menarik oksigen saat tubuh besarnya menindih tubuhku. Aku mencengkeram lengannya yang berotot dan mengerang ketika sesuatu yang panas memasuki tubuhku dengan paksa.
"Apa yang sudah menjadi milikku, selamanya akan tetap jadi milikku," bisiknya di sela-sela gerakannya yang semakin cepat dan brutal.