“Dendam adalah tentang memberi hukuman dan kamu adalah hukuman untukku.”
Zeroun
Ini bukan tentang memberi hukuman atau dendam. Ia bukan anak nakal yang harus dihukum atau seorang musuh yang harus menerima pembalasan. Ini, tentang harga diriku. Harga diri seorang Dhananjaya yang sudah sangat direndahkan oleh seorang wanita bernama Florenza. Ia pun dengan mudahnya mempermainkan perasaanku.
Terkadang, aku merasa menjadi pria paling bodoh karena dengan mudahnya sudah memberikan cintaku pada Florenza. Sedangkan wanita itu, Florenza, ia sama sekali tidak peduli akan perasaanku. Ia mengempaskanku di saat aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ia lebih memilih bankir sialan itu untuk menjadi pendamping hidupnya.
Aku memijat dahiku yang masih terasa sedikit pusing. Sial! Efek cognac itu masih betah nongkrong di kepalaku. Aku memang sudah seperti orang sinting semalam. Aku menghabiskan berbotol-botol cognac hanya untuk bisa melupakan wajahnya barang sejenak. Tapi, tetap saja libidoku menanjak saat aku pulang dan melihat wajahnya, apalagi saat dia marah dan menolakku. Sumpah demi semesta, dengan melihat wajahnya saja, aku langsung h***y. That's how badass I felt!
Aku memandangi wajahnya yang seputih kapas dengan mata terpejam di atas ranjang rumah sakit ini. Pernikahan macam apa yang sedang kami jalani? Dia jelas-jelas membenciku. Florenza sangat membenciku, tapi aku sangat menginginkannya. Oh, tidak, tidak! Aku tidak menginginkannya. Aku hanya ingin dia merasakan yang pernah aku rasakan. DICUEKIN!!!
Baru saja aku akan meluruskan kaki, suara hak sepatu yang beradu dengan lantai keramik membuyarkan lamunanku. Aku menyalahkan kepalaku yang tidak mau diajak kompromi. Sial! Mama sudah melangkah mendekat padaku dan kepalaku rasanya hampir meledak. Aku bangkit menyambut Mama. Wanita yang selalu lembut dalam bertutur kata itu kini terlihat murka.
"Ze, apa yang sudah kamu lakukan pada Flo? Kenapa Flo bisa sampai jatuh? Kamu tidak memukul Flo, 'kan?" Busyet, deh! Pertanyaan Mama sudah mirip pertanyaan para pencari berita untuk kolom gosip.
"Satu-satu dong nanyanya, Ma. Ze harus jawab yang mana dulu nih?" Aku meremas rambutku kuat-kuat untuk mengenyahkan dentuman hebat di kepalaku. "Lagian, Mama tahu dari mana Flo dirawat di sini?"
Mama menatapku lekat-lekat. "Pak Syarif yang kasih tahu Mama. Setelah mengantar kalian ke sini, dia menghubungi Mama."
"Jiah! Pak Syarif lagi," celetukku kesal pada si supir tukang ngadu itu.
Mama yang biasanya kalem kini bersedekap di hadapanku dengan mata berapi-api. "Jangan menyalahkan orang lain karena sudah menyampaikan kabar buruk ini ke Mama! Mama sama Papa nggak pernah ngajarin kamu jadi laki-laki pengecut kayak gini, Ze. Apa sih dosa Mama sama Papa sampai bisa punya anak yang sangat susah diatur kayak kamu? Kamu mabuk tiap malam, maen sama perempuan-perempuan nggak jelas itu, dan kamu menelantarkan istri kamu. Apa kata orangtua Flo jika mereka tahu anaknya dirawat di sini karena kelakuan kamu, Ze?"
"Ma, tolong berhenti nyalahin Ze terus. Ze juga ingin punya kehidupan pernikahan normal, tapi bukan sama dia, Ma!" Refleks, aku menunjuk Flo dan itu membuat Mama syok.
Plaaak!
Seumur hidup, ini pertama kalinya Mama memukulku. Mama menamparku dengan sangat keras hingga pipiku terasa panas. Mama benar-benar marah padaku kali ini.
"Kalau kamu dan Florenza tidak saling suka, kenapa kamu dan dia sampai bisa... video viral itu...." pundak Mama bergerak naik turun menahan isakannya.
"Ze yang buat itu. Ze yang jebak Flo. Mama puas sekarang?!" Dengan kepala masih berdentum hebat, aku meninggalkan Mama.
SINTING!!! Iya, aku kehilangan akal sehatku. Sekarang, aku bahkan jadi anak durhaka yang berani membentak mamanya. Ah, sial! Semua ini gara-gara Florenza. Dia yang sudah membuat hidupku kacau. Seandainya ia tak memilih menikah dengan bankir sialan itu mungkin aku tidak akan seperti ini, tidak akan semarah ini.
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi menuju apartemen Kenzo. Aku tidak mau pulang ke rumah karena Mama dan Papa akan dengan mudah menemukanku dan menyeretku kembali ke rumah sakit untuk menemani Florenza. Aku ingin sendiri untuk beberapa waktu. Intinya, aku butuh tidur.
"Hei, kenapa lo? Tampang lo ancur bener." Kenzo menatapku dari bawah sampai ke atas tanpa berkedip sesaat setelah ia membukakan pintu untukku.
Aku menerobos masuk. "Kamar tamu lo kosong, 'kan?"
"Selalu. Emang kenapa?" Kenzo menyatukan alis tipisnya.
"Gua mau tidur. Jangan sampai ada yang ganggu gua, Ken!" Aku melanjutkan langkahku menuju kamar tamu apartemen Kenzo.
Dari balik pintu kamar aku mendengar Kenzo berteriak, "Yes, Boss!"
Aku segera melempar diriku ke atas kasur dan menutup telingaku dengan bantal. Entah sudah berapa lama aku tertidur, gelap sudah menyapa saat aku membuka mata dan memandang ke arah jendela. Untuk beberapa saat aku duduk di tepi tempat tidur. Perlahan, semua ingatan dan pemikiran itu kembali menyatu di benakku. Ya, ingatan dan pemikiran tentangnya. Sialan! It's all about her. Selalu tentang dia.
Tiba-tiba aku merasa terhimpit oleh sesuatu yang tak kasat mata. Dadaku mulai sesak dan napasku tercekat di tenggorokan. Aku meremas rambutku dan memejam sekuat tenaga untuk menghilangkan semua pikiran tentang dia.
"Ze, apa yang sebenarnya kauinginkan? Kau sudah mendapatkannya dan ia sudah menjadi milikmu." Suara yang tidak asing, mirip suaraku, membuatku membuka mata.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, no one's here. Aku mengusap wajahku beberapa kali untuk mengembalikan kesadaranku. Saat ini, sepertinya aku sedang terjebak dalam lubang hitam di ruang waktu hidupku.
"b*****t! Apa mau lo?! Jangan pernah mencampuri urusan hidup gua!!!" teriakku pada sosok tak kasat mata itu. "Pergi lo! Pergi!!!"
Aku tidak bisa melihat dan merasakan dengan pasti. Yang jelas, aku kalap. Langkahku menabrak beberapa benda dan lenganku menghantam sesuatu yang aku aku tidak tahu itu apa. Pendengaranku menangkap suara beberapa benda terjatuh dan pecah.
"Zeroun. Ze!!!" Suara tenor Kenzo hampir membuat gendang telingaku pecah. Kedua tangannya mencengkeram pundakku dan mengguncangku dengan kuat. "Ze, sadar!!!"
Aku mengambil beberapa langkah mundur dan mengangkat tangan ke depan d**a tanda menyerah. "Oke! Oke! Gua di sini!" Aku mengerjap. "s**t!" cuma umpatan itu yang keluar dari mulutku saat kumelihat kamar tamu Kenzo sudah mirip kapal pecah. Kaca besar yang menghias dinding kamar, hancur berserakan di lantai. Semua pernak pernik dan ornamen-ornamen suku Dayak kebanggaan Kenzo yang menghias kamar itu pun tak luput dari kerusakan.
"Dude, you ruined my guest room." Pandangan Kenzo menyisir setiap sudut kamarnya yang porak poranda.
Jangankan Kenzo, aku sendiri tidak percaya jika aku yang melakukan semua kekacauan ini. "Sorry, Ken. Gua akan ganti semua barang-barang di kamar ini."
Kenzo meraih kaki kursi yang terjungkal lalu memosisikan kursi itu sebagaimana mestinya. "Duduk dulu, Ze."
Aku duduk sambil memandang lantai. Seluruh sarafku seakan terputus dan tubuhku terasa sangat lemas. Kenzo menarik sebuah kursi, kemudian ia duduk di hadapanku. "Yang gue tahu, logika nggak akan jalan tanpa logistik. Sejak dua hari yang lalu, gue perhatiin perut lo cuma lo isi sama cognac. So, wajar banget kalau sekarang lo nggak bisa mikir. Dan, gue tahu alasan lo ngembat cognac pasti karena Flo."
"Ken—"
"Dengerin gue dulu," potong Kenzo. "Gue nggak mau ikut campur urusan rumah tangga lo sama Flo. Tapi, sejak kalian menikah, gue lihat, kalian berdua cuma saling menyakiti. Terutama lo, Ze. Gue sadar gue bukan orang bener. Gue sama berengseknya kayak lo, tapi kalau sudah menyangkut ikatan sakral, pernikahan itu ikatan sakral, Ze, gue nggak mau lo anggap itu cuma mainan. Lo juga kudu inget, Ze. Flo lagi hamil anak lo."
Aku mendongak lalu menutup wajah dengan kedua tanganku. "Gua pusing, Ken. Gua masih kesel sama Flo."
"Lo, tuh, pusing dibikin sendiri. Lo gak bisa jujur sama diri lo sendiri, Ze." Kenzo berdiri lalu menarik tanganku. "Ayo, gue anter lo makan terus balik ke rumah sakit!"
Aku sedikit menahan. "Rumah sakit? Lo tahu dari mana, Ken?"
"Tante Pricil tadi nelepon gue. Dia nangis-nangis nanyain anak kesayangannya. Oh, iya, soal barang-barang di kamar ini, lo gak perlu ganti. Gue bukan orang susah, Ze."
Aku hanya bisa menuruti saran Kenzo. Si gila itu kadang-kadang bisa berpikir seperti manusia normal juga. Setelah mengisi perutku dengan sepotong steak sapi, aku kembali ke rumah sakit.
Dari ujung lorong aku melihat beberapa perawat berlari menuju ruangan yang ditempati Flo. Sial! Apa yang terjadi? Aku pun mengambil langkah seribu menuju ruangan Flo. Aku memaku diri menatap Flo dari ambang pintu. Kedua tangannya dipegangi beberapa orang perawat, wajah tak berdarahnya basah oleh air mata, dan mulutnya terus berucap, "Aku nggak mau bayi ini! Biarkan saja bayi ini mati!"