Chapter 5

1172 Words
"Pernikahan yang baik, bukan karena salah satu pihak berhasil mengendalikan. Tetapi, karena kedua pihak memiliki pengertian."   Kenzo benar, aku tidak pernah bisa mengakui perasaanku sendiri. Melihat Flo meneriakan rasa frustrasinya yang ingin membiarkan bayi kami mati membuatku menggeliat, ingin mengamuk. Aku menyalahkan Flo karena ucapan bodohnya, menyalahkan Flo karena dulu sudah merayuku, menyalahkan si bankir sialan yang telah merebut Flo dariku, dan menyalahkan orangtua Flo yang mengizinkan mereka menikah—aku ingin menyalahkan semua orang.  Berengsek! aku bahkan tidak bisa menyalahkan diriku sendiri yang sudah begitu kejam pada Flo. Mencari dalih memang menggoda, jadi aku tidak perlu menyesal menyalahkan mereka semua yang sudah melukai hati dan memorakporandakan hidupku selama dua tahun terakhir. Hm, uang memang tetap menjadi penguasa. Hari ini, aku meminta pihak rumah sakit untuk memindahkan perawatan Flo ke rumah. Tidak masalah bagiku membayar mahal satu atau dua orang perawat untuk merawat Flo. Lebih lama berada di rumah sakit, akan lebih banyak gosip yang tercipta. "Flo, kamu akan lebih nyaman dirawat di rumah. Semoga kamu cepat pulih, ya." Mama dengan sikap keibuannya mengusap dahi Flo sampai ke puncak kepalanya.  "Terima kasih, Tante." Suara bernada rendah Flo terdengar sedikit serak dan tajam. Sial! Bagaimana perasaan Mama ketika menantunya sendiri memanggilnya "Tante"? Ingin rasanya aku melangkah lebih dekat ke tempat tidur Flo, mencengkeram bahunya,  lalu mengguncang tubuhnya, dan berteriak tepat di telinganya, Dia itu ibu mertuamu. Bisakah kau sedikit menghargainya?! Aku muak melihatnya. Aku berbalik berjalan menuju ruang makan. Aku duduk di bangku mini bar, membuka sebotol chardonnay, kemudian menuangkan ke dalam gelas ramping bertangkai. Kenikmatan wine yang hampir menyentuh tenggorokanku tiba-tiba saja pudar ketika Mama dengan wajah yang nggak ada lembut-lembutnya sama sekali menghampiriku. Raut wajah Mama berbanding terbalik ketika ia bersama Flo tadi. Ia selalu memperlihatkan wajah juteknya padaku sejak Flo masuk rumah sakit. Terkadang itu membuatku cemburu. Aku anaknya, kok, aku yang dimusuhi? Mama merebut gelas wine dari tanganku. "Mama tidak mau keluarga Flo sampai tahu masalah ini." "Kenapa, Ma?" Bola mata Mama hampir keluar menatapku. "Kenapa? Kamu tanya kenapa? Ze, Mama tidak mau ada masalah lagi. Kakaknya Flo itu seorang pengacara. Jika ia tahu adiknya mengalami KDRT, habis kamu." Aku menarik sebelah ujung bibirku tersenyum sinis. Mama ternyata hanya khawatir dengan nama baik keluarga. "Mama takut Ze akan dituntut si Ririe karena sudah melakukan KDRT pada adiknya atau Mama takut nama keluarga Dhananjaya jadi bahan gosip lagi? Kita belum bangkrut 'kan, ma?" "Dengar, Ze. Ada yang tidak bisa dibeli dengan uang yaitu harga diri dan cinta. Mama akan kembali besok untuk melihat keadaan Flo dan calon cucu Mama. Mama berharap besok tidak akan ada cerita baru lagi yang membuat Flo ingin cucu mama meninggal."  Mama pergi tanpa ingin mendengar pembelaanku terlebih dahulu. Aku melempar gelas wine yang tadi direbut Mama ke dinding dapur. Sialan! Kenapa semua orang jadi memusuhiku?  Aku kembali ke kamar Flo. Flo masih duduk bersandar ke sandaran tempat tidur. Tubuhnya terlihat lebih ramping, bukan ramping, tapi lebih kurus. Ia masih terus membuang muka tiap kali tatap kami bertemu.  "Aku mau pulang ke rumah Ibu," ucap Flo dengan suara bergetar. Tatapannya masih ia kunci ke dinding kamar. Aku menarik napas dalam lalu bersedekap. "Kau tidak akan ke mana-mana." Aku melihat pundak Flo bergerak dan beberapa saat kemudian mendengar ia terisak. "Aku ingin ketemu Ibu." "Aku bilang, kau tidak akan ke mana-mana. Kau tidak akan pulang dan orangtua serta kakakmu tidak akan datang ke sini!" tegasku. Iris cokelat Flo berkilat penuh kebencian menatapku. Tatapan yang biasa ia arahkan padaku saat kami bicara. "Kenapa kau lakukan semua ini padaku, Ze?" "Kau sudah tahu alasannya, Flo. Kau tidak akan ke mana-mana!!!" Aku membentaknya. "Sialan kau, Ze. b******n! Aku bukan tawananmu! Aku mau pulang!" teriaknya.  Kesabaranku mulai meluruh. Harga diriku sedikit terkoyak saat aku mendekat padanya dan ia menunjukkan sarkasme lewat tatapannya. Wanita ini sudah membuatku sinting hanya dengan memperlihatkan kilat di matanya. Aku mencengkeram rahangnya. Ada rasa kesal pada diriku sendiri saat ia meringis kesakitan, tapi ia memang layak mendapatkan perlakuan ini dariku. "Jika kau memaksa, aku akan melakukan hal terburuk pada mereka. Kau tahu aku bisa melakukan apa saja untuk tetap bisa menahanmu di sini, termasuk membuat mereka semua membusuk dalam kesengsaraan."  "Kau sakit, Ze! Kau sakit!!!" sergahnya sambil  terus meronta. Aku melepaskan cengkeramanku dari rahangnya. Aku melihat bekas kemerahan di sana. Sial! Aku kasar sekali padanya. "Kau tidak akan pulang ke rumah ibumu sampai kau melahirkan." Emosi ini membuatku tak terkendali. Aku berusaha mendapatkan kendali diriku lagi dengan tidak berlama-lama berada di hadapannya. Sekali lagi aku membuatnya menangis dan meninggalkannya dalam keadaan buruk seperti itu. Hari yang sangat melelahkan hati. Aku butuh tenggelam dalam suatu aktivitas yang membuatku melupakan ia sejenak. Kembali ke kantor bukan hal yang buruk, kurasa.  Aku membuka monitor laptop. Meng-klik file-file berisi laporan perusahaan dan menelaah setiap necara p********n. Ini sungguh membosankan sampai Letty, sekretaris baruku, mengetuk pintu. "Masuk!" Wanita itu masuk ke ruanganku. Langkahnya teratur dan berirama seperti sedang berjalan di atas catwalk. Wajahnya dipulas make up tebal. Sebenarnya ia akan terlihat lebih cantik tanpa make up setebal itu.  "Maaf, Pak. Barangkali Bapak mau saya buatkan minuman. Bapak mau minum apa?" Ia mengerdip. Bulu mata lentik yang aku yakin hasil extention itu bergerak menggoda.  Tidak pernah sekalipun sekretaris lamaku berani mengetuk pintu ruanganku jika aku tidak memintanya untuk masuk, wanita ini sungguh berani melakukan hal itu. Aku menatapnya tajam. "Apa cuma untuk itu kau masuk ke ruanganku? Aku bisa meminta office girl untuk membuatkan aku minuman." "Ma-maaf, Pak. Saya hanya berinisiatif," ucap Letty gugup.  Aku mengembus napas pendek. "Bawakan aku macchiato. Long macchiato." "Baik, Pak." Letty berbalik. Tanpa kusadari aku memperhatikan gerakan naik turun b****g bohay Letty yang terbalut rok ketat hitam pendek saat ia berjalan sampai menghilang di balik pintu. Mampus! semua gerakan Letty tadi menyengatku sampai ke s**********n.  Beberapa menit berlalu, Letty kembali dengan nampan berisi macchiato. Sumpah, aku tidak ingin melihatnya tapi mataku terus membujukku untuk mendongak dan melihat wajahnya. "Sudah ready, Pak. Selamat menikmati." Bibir sensualnya melempar senyum padaku.  "Letty, nanti sore kamu bisa antar saya membeli sesuatu di mal?" Aku mencoba merayunya.  Rona semringah langsung tercetak di wajah lonjong Letty. "Iya, Pak. Dengan senang hati." Aku tersenyum dalam hati. Mudah sekali mengajak seorang wanita untuk naik ke ranjangmu, Ze. . . Aku berhasil menjelajahi daerah sekwilda—sekitar wilayah d**a—Letty di dalam mobil di area parkir mal. Tentu saja, sebelumnya aku sudah menjejali kantong belanjaannya dengan beberapa barang mahal. Gampangan sekali wanita ini. Aku tidak mau bercinta di dalam mobil atau di tempat murahan seperti rumah kontrakannya, sangat menjijikan. Aku membawa Letty ke hotel berbintang dan berniat menidurinya di sana. Seks selalu membuat hidupku lebih indah. Setidaknya dulu aku berpikir seperti itu sampai dua tahun lalu ketika aku terjebak dalam sebuah rasa aneh pada Florenza.  Flo, ya, Forenza! Otakku sepertinya mulai kembali dipenuhi bayangan wanita itu. Aku melepas pagutan panasku dari bibir Letty dan remasanku dari d**a bulat mengkalnya. Saat memikirkan Florenza, aku mengenali gairah yang menggelitikku. Gairah itu tidak terukur namun beralasan dan berlandaskan perasaan. Aku mengancingkan kembali kemejaku dan meninggalkan Letty yang sudah setengah telanjang di kamar hotel. Aku kembali ke rumah, berlari menuju kamar Flo. Aku berdiri bersedekap sambil menatapnya. Ia sudah tidur pulas. Bulu matanya tidak terlalu tebal namun lentik  terlihat sangat cantik menghias matanya. Bibirnya yang tidak terlalu tipis berwarna merah muda alami. Tubuhnya tidak sebohay Letty tapi aku suka tipe yang seperti ini.  Ya, Tuhan. Aku dengan mudah bisa membawa wanita lain ke atas ranjang, namun aku tidak bisa melakukan itu pada istriku sendiri. ====== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD