“Hasrat yang berlebih sering menimbulkan dendam pada akhirnya.”
Florenza
Aku seperti sedang mendapat sebuah hukuman dari kesalahan yang tidak pernah aku lakukan. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benakku, aku akan menjalani hari-hari bersama si berengsek itu. Kupikir malam itu—dua tahun lalu—aku sudah mengakhiri semuanya dan selamanya aku takkan pernah terlibat urusan apa pun lagi dengannya. Ternyata aku salah menganggap semuanya sudah berakhir. Kini, aku terjebak lagi bersama si berengsek itu. Yang lebih parah, sekarang di rahimku ada bayi kami yang sedang menanti melihat dunia.
"Setelah ini kau pulang sendiri pake taksi. Aku ada urusan," ucap Zeroun ketus.
Aku mulai terbiasa dengan sikap sok superior dan merendahkannya setelah beberapa hari tinggal bersamanya. Hm, seharusnya aku tahu jika seorang Zeroun tidak akan pernah bisa bersikap manis. Ia hanya bersikap manis pada gadis yang mau diajak naik ke tempat tidurnya. Malangnya aku, dulu, aku pernah tertipu oleh semua sikap dan ucapan manisnya.
Aku masuk ke klinik sendirian. Aku tidak ingin memeriksakan kandunganku ini jika Mbak Ririe tidak memaksaku. Kami janjian bertemu di sini. Mbak Ririe yang selalu memaksaku untuk tetap melanjutkan kehamilanku. Padahal, aku sendiri sangat tidak menginginkan bayi ini. Jika saja aku tidak hamil, aku tidak akan menikah dengan si setan licik itu.
"Flo, mana Zeroun? Dia tidak menemanimu ke sini?" Mbak Ririe melirik ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Zeroun.
"Sudahlah, Mbak. Tidak usah mencari si berengsek itu!" balasku sedikit kesal.
Ya, Tuhan. Kakakku hanya bertanya tentang dia, tapi emosiku langsung menanjak. Aku jadi merasa bersalah sama Mbak Rire.
"Jangan pernah nanyain dia, Mbak." aku mengulang ucapanku dengan nada rendah.
"Ya, udah." Mbak Ririe Merangkul pundakku lalu mengajakku ke ruang pendaftaran.
Aku menunggu Mbak Ririe yang sedang mengurus pendaftaraanku, di ruang tunggu. Aku berharap di ruangan ini tidak ada yang mengenaliku. Mengingat kasus video viral itu, aku sudah lelah menghadapi cacian orang. Meskipun Keluarga Zeroun berhasil membungkam seluruh media dan menghentikan pihak berwajib untuk melanjutkan kasus ini ke ranah hukum, tapi tetap saja membuatku resah. Aku masih mendengar selentingan yang menyudutkan aku dan keluargaku.
Seperti saat ini, aku mendengar suara dua orang perempuan berbisik-bisik di deretan belakang kursi tunggu. Aku sama sekali tak ingin menoleh apalagi melabrak mereka. Aku memilih untuk diam dan mendengar kalimat per kalimat dari obrolan mereka.
"Heh, lu tahu enggak, yang didepan kita ini? Dia aktris video m***m," Perempuan itu sengaja meninggikan suara cemprengnya.
Suara lain menyambung. "Kalau orang udah buta sama harta, ya, gitu. Biar kata udah punya laki, tetep aja dia kejar mangsa yang lebih potensial. Yang lebih tajir."
Kalimat-kalimat setajam silet seperti itu kerap kali kudengar. Aku sudah tidak bisa menangis lagi mendengar tuduhan-tuduhan tak berdasar seperti ini. Air mataku sudah habis, walaupun di dalam hati aku ingin menjerit.
"Maaf, ya, Ibu-Ibu. Ibu yang sedang hamil itu harusnya bisa menjaga sikap dan mulutnya. Kasihan dedek bayinya kalau dari dalam perut sudah dijejali gosip dan rumpian." Suara Mbak Ririe menghentikan obrolan mereka.
Terima kasih Tuhan, Engkau memberiku kakak yang sangat baik dan bijaksana. Mbak Ririe terus menemaniku sampai pemeriksaan kandunganku selesai. Ia juga yang mengantarku pulang.
***
Bruk ... bruk ... bruk!
"Flo! Buka pintunya! Florenza!!!"
Suara teriakan dan gedoran pintu membuatku terbangun. Jantungku tiba-tiba berdetak sangat kencang dan napasku tersengal. Pria tidak waras itu sudah menginterupsi waktu istirahatku.
Malam-malam begini, kenapa si berengsek itu teriak-teriak?
Aku membuka pintu kamarku. Kami tidur di kamar terpisah. Meski begitu, sebagai penguasa rumah ini, dia bebas keluar masuk dan melakukan apa saja padaku. Menyebalkan!
Aku membuka pintu, memandangnya dengan kesal. "Kenapa malam-malam begini berteriak-teriak? Kaupikir hanya kau yang punya telinga?!"
Alih-alih menjawab, ia justru menerobos masuk. Bau alkohol dan asap rokok menghinggapi penciumanku saat ia melintas. Sumpah! Aku ingin sekali mengusirnya dari sini.
Zeroun berbalik menghadapku. Ia menatapku dengan menanap. Gila! Ia seperti ingin menelanku.
"Apa yang kau bicarakan dengan Ririe? Who do you think you are, Princess?" ucapnya dengan nada merendahkanku.
Apa yang sudah Mbak Ririe katakan padanya? Ah, pasti Mbak Ririe sudah memarahinya. Mbakku itu, kan, temperamental.
"Apa tanggung jawabku masih kurang dengan menikahimu? Menjadikanmu istriku?!" tukasnya.
Darahku memanas dan mulai mendidih. Ucapannya bukan ucapan seorang PRIA. "Aku tidak pernah memintamu untuk menikah denganku. Apa cuma kata-kata enggak penting ini yang mau kaubicarakan?!"
Ia memandangku sinis. Ia menarik sebelah ujung bibirnya membentuk senyuman yang serupa dengan pandangannya. "Sialan kau! Memang seharusnya aku tidak menikah dengan dengan perempuan b***t sepertimu!!!"
Plaaak!!!
Sekuat tenaga aku melayangkan tamparanku ke wajah iblisnya. "Kau yang membuatku seperti itu! Aku tidak sudi sedikit pun menjalin kembali hubungan denganmu. Kau yang menghancurkan pernikahanku dengan Matteo. Sekarang, kau bilang aku perempuan b***t?!!! Lebih b***t mana dengan perbuatanmu yang menjebak istri orang?!"
Zeroun mendorongku ke dinding kamar tanpa perasaan. Punggungku membentur tembok dengan cukup keras. "Aaaarrrhhh!"
Ia menahan kedua tangannya di sisi wajahku yang sedang meringis menahan sakit. "Aku sudah cukup bersabar selama ini. Kau sudah merendahkanku, Florenza. Menghancurkan reputasiku dengan keegoisanmu selama ini."
Apa?! Apa aku tidak salah dengar? Aku yang sudah merendahkannya? Aku juga yang menghancurkan reputasinya? Bukankah semua itu terbalik?
"Ze, kau yang menjebakku. Kau yang merendahkanku dan menghancurkan citraku sebagai istri Matteo." Bodoh! Aku mulai terisak. Aku tidak seharusnya menangis di depan si b*****t ini, tapi aku tidak mampu menahan sakit di dadaku.
"Bangga sekali kau menjadi istri si berengsek itu," ucap Zeroun dengan nada mencela.
"Ia sama sekali tidak berengsek. Ia seratus kali lebih baik darimu!"
Zeroun memukulkan tinjunya tepat ke dinding di samping wajahku hingga membuatku terpangah.
Ia bicara dengan suara tertahan di tenggorokan. "Aku akan membuatmu menyesal karena sudah berbicara seperti itu padaku, Flo.”
Zeroun lebih mendekat padaku. Tubuhnya yang menjulang dan lebih besar dariku semakin menghimpit tubuhku, perutku yang mulai membuncit merasa tertekan, dan aku mulai sesak. Ia mulai kembali mengintimidasi dengan gerakan melecehkan aku. Melecehkan? Iya, meski aku sudah resmi menjadi istrinya, aku masih tidak mau melakukan aktivitas seksual dengannya secara sukarela. Aku jijik sama dia. AKU BENCIIIII!!!
Ia menggagahiku tanpa melihat kondisiku yang sedang berbadan dua—seperti orang kesetanan. Aku merasakan sakit di bagian bawah perutku saat si berengsek itu terus melancarkan manuvernya ke tubuhku.
Aku menurunkan kembali gaun tidurku setelah semuanya berakhir. Aku tidak tahan lagi hidup seperti ini. Aku lari ke arah pintu dengan menahan rasa sakit di perutku. Tidak peduli teriakannya yang memekakan telingga dan hampir membangunkan seluruh penghuni rumah, aku terus berlari menuruni anak tangga sampai aku terpeleset dan terjatuh.
Aku merasakan sakit di seluruh tubuhku. Bayangan Ibu, Ayah, dan Mbak Ririe tiba-tiba saja menutup pandanganku akan luasnya ruang tamu rumah ini—sampai akhirnya melebur menjadi satu—warna abu-abu, menghitam, lalu menghilang.