Part 8

1175 Words
Adit kecewa setelah mengetahui Tiyas yang dikenalnya malam itu, ternyata Tiyas yang sama dengan gadis kecil Dirga. Ia melaju mobilnya menuju TPU Tanah Kusir, tidak ada yang ingin ia lakukan kecuali menemui almarhum istrinya. Langkahnya terhenti di depan pusaran wanita yang amat ia cintai, ia duduk disamping pusaran itu kemudian meletakkan setangkai mawar putih, bunga favorit Tata. "Yang, maafkan Aku, sudah beberapa hari tidak mengunjungimu. Ada seseorang yang menarik perhatianku. Tapi ternyata dia milik Dirga. Aku benci! Kenapa nasib selalu mempermainkanku, apa salahku?!..." Adit meratapi nasibnya sembari terisak meremas gunduka tanah itu. "Dua tahun sudah kamu pergi, membawa serta calon anak kita. Ini membuatku gila! Aku gila, Yang! Aku Gila..." suara Adit terhenti, ada rasa perih di tenggorokannya. Matanya berkaca-kaca, kemudian buliran bening menetes dipipinya. Ia memeluk gundukan tanah yang ditumbuhi rumput hijau nan lembut. Kemudian merebahkan tubuhnya sejajar dengan makam istrinya. sesekali Adit menoleh kesebelah kiri, pada sebuah gundukan kecil yang tersemat Bin atas namanya. Adit memandang langit mendung, awan gelap bergerak berlahan memayunginya. Ia tersenyum seolah menanti siraman dingin yang merendam punggung dan rambutnya. Adit tertidur. Hanya di tengah makam anak dan istrinya ia bisa tertidur dengan lelap. Sesekali dedaunan menampar wajahnya, namun angin kembali membelainya dan mengantar kembali ke alam mimpi. Rintik hujan mulai berjatuhan, awan mulai menumpahkan bebannya, mengguyur tubuh Adit yang terbaring lelap di antara makam anak dan istrinya. Ia terbangun saat hujan tak lagi menghantam tubuhnya. "Pak Adit, bangun! nanti bapak sakit kelamaan tidur disini, hayuk Saya bantu?!" ucap Pak Udin penjaga makam, sembari mengulurkan tangannya. Adit bangun dari tidurnya, lalu menyatukan wajah dan lututnya, tangannya mendekap erat kakinya, ia meringkuk kedinginan. Pak Udin memberinya handuk yang selalu ia siapkan untuk Adit. Sebab ini bukan yang pertama dilakukan Adit. Adit mengambil handuk pemberian Pak Udin, lalu berdiri dan melilitkan handuk itu ketubuhnya. Kemudian mengambil payung dari tangan Pak Udin lalu beranjak pergi. Adit berjalan meninggalkan makam istri dan anaknya. Ada rasa bahagia di hatinya saat ia berhasil menyiksa diri. Ada beban seolah berkurang di pundaknya. Baginya itulah permintaan maaf pada istri dan anaknya. Setiap kali mengenag peristiwa tragis itu, hatinya berontak, marah hingga membuatnya frustasi. Ia tidak bisa memafkan dirinya. Ia terus berandai. Andai saja saat itu ia tidak menyuruh Tata pulang sendiri, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Mungkin saat ini mereka menjadi keluarga bahagia. mungkin saat ini ia tengah bermain bola dengan Zidan, anak yang sangat ia tunggu tunggu kelahirannya. Namun, semua sirna dalam sekejap. Ban depan mobil yang dinaiki Tata, pecah, dan supir pribadinya tidak bisa mengendalikan mobil hingga menabrak mini bus di depannya. Pak Bejo sendiri tidak mengalami luka parah, namun Tata mengalami pendarahan hebat, saat di larikan ke rumah sakit nyawanya sudah tidak tertolong. Sementara Zidan hanya mampu bertahan satu hari karena keracunan air ketuban. Sejak saat itu, lelaki berkulit putih itu, mencari pelarian, mencari tempat berangan-angan, menghayal mengembalikan semua harapannya, mengembalikan Tata dan Zidan dalam hidupnya. *** Adel, Tiyas dan Alan duduk dalam satu ruangan di rumah Pak Andre. Wita menyiapkan minuman dan cemilan kecil untuk mereka. Tak lama kemudian Pak Andre ke luar dari kamar lalu duduk diantara mereka. Tiyas menggenggam tangan Adel dengan erat. Petualannya beberapa hari bersama Adit, mampu merubah rasa di hatinya. Tak adalagi amarah, tak ada lagi cemburu kini yang ia ingginkan hanyalah melihat Adel tersenyum. Mata Adel berkaca-kaca menatap Tiyas yang terlihat tegar. Kini ia yakin, sahabat ceriwisnya itu sudah merelakan Alan. Adel bisa merasakan ketertarikan Tiyas pada Adit walau ia penasaran siapa yang akan di pilih antara Adit dan Dirga. "Hei... bengong aja, itu ditanyaain!" ujar Tiyas sembari menyikut Adel. Adel kaget alang kepalang, Ia tidak mendengar pertanyaan Pak Andre. "Yas, apa kata Pak Andre tadi?" bisik Adel pada Tiyas sembari berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah dari mata yang tertuju padanya. "Pak Andre, Adel nanya, tadi Pak Andre ngomong apa?" ujar Tiyas dengan kencang, membuat Alan mengulum senyum. Pak Andre dan Wita saling melempar senyum lebar. Sedangkan Adel, ingin rasanya ia lari kebelakang dan bersembunyi di balik tembok. "Tiyaaaas..." suara Adel hampir tak terdengar, giginya merapat, matanya melotot, dan jemarinya menyubit pinggang Tiyas sembari menahan malu. Tiyas berusaha menahan tawanya yang hampir meledak melihat wajah Adel yang merah bagai kepiting rebus. Begitulah Tiyas, si gadis periang dan jahil. Kehadirannya selalu membuat orang disekitarnya ceria. *** Hari ini, Tiyas berangkat ke kantor mengenakan baju tunik biru muda dan kulot Navy, jilbabnya bercorak sehingga terlihat serasi. Tiyas terlihat sibuk dengan pekerjaannya, tanpa di sadarinya, Dirga datang dan duduk di belakangnya memperhatikan aktifitas nya. Saat ia menoleh, ia tersentak melihat Dirga. "Idih, Mas Dirga! Ngagetin aja." ujarnya sembari menepuk tangan Dirga dengan kertas di tangannya. "Serius amat kerjanya, sampe nggak sadar kalau dari tadi aku ada di sini." jawab Dirga, tangannya mengucek kepala Tiyas. "Diiihh, Mas Dirga, apaan sih pegang-pegang. Bukan mahram tauu." teriak Tiyas protes. "Yang bilang kita mahram siapa? Aku kangan ngucek-ngucek kepala kamu, kangen njitakin kamu, kangen nyuapin kamu, kangen mandi bareng kamu," ucap Dirga menahan tawa. Tiyas melotot mendengar kata-kata Dirga. "Idih sembarangan, mandi bareng lagi, emang di kira masih bocah." Tiyas menaikkan bibirnya sebelah. Matanya membulat menatap Dirga Dirga Tertawa lebar, "Nona cantik, jangan melihatku seperti itu, nati aku bisa khilaf." ujar Dirga merapikaa duduknya. "Uuhhh, Mas Dirga..., udah dong, sana ah, Tiyas lagi kerja, entar nggak kelar nih." teriak Tiyas, wajahnya cemberut, sesaat kemudian tertawa geli melihat wajah Dirga yang memandangnya bersandar di kursi. "Mbul, makan, yuk!" ujar Dirga sembari berdiri. Tiyas melotot di panggil Mbul "Mbul? Siap mbul? Dih, Mas Dirga main ganti nama orang sembarangan." protes Tiyas. "Emang kamu nggak inget, kalo dulu nama kamu Gembul? Tukang makan, mirip karung bolong, hahaha.... " ledek Dirga, ia tertawa geli melihat Tiyas melotot. Bibir Tiyas maju satu centi. Ia kesel pada Dirga, walau tidak banyak kenangan bersama Dirga yang ia ingat, tapi panggilan Mbul itu masih terdengar akrab di telinganya. "Belum jam makan siang Mas Dirgaa, tiga puluh menit lagi." ujar Tiyas sembari menunjukkan jam di dinding. "khusus hari ini, aku izinkan kamu istirahat lebih awal, yuk!" Dirga menarik tangan Tiyas. "Mas Dirga apaan sih? Kerjaan Tiyas belum selesai, nanggung!" teriaknya sembari mengencangkan kuda-kuda petahanannya. Tapi sayang, tenaganya tidak sebanding dengan Dirga, akhirnya ia menyerah. Di sambarnya ponselnya yang tergeletak di meja. "Kamu mau makan apa?" tanya Dirga setelah keduanya berada di dalam mobil. "Apa aja." ujar Tiyas singkat. "Mikir napa? Pasrah amat!" protes Dirga, kesal. "Yang ngajak makan siapa? Kalau ngajak berarti udah tau dong mau makan apa? Makan dimana? Iya kan?" jawab Tiyas, matanya melirik Dirga dengan senyum melebar. Dirga nyengir mendengar ocehan Tiyas. "Baik lah tuan putri." jawab Dirga sungut sungut. Tiyas tertawa geli melihat Dirga. Sekilas memorinya kembali kemasa kecil, saat mereka tinggal di rumah yang sama. Dirga tidak banyak berubah, dia masih sama seperti dulu, bawel tapi perhatian. *** Di rumah Adit tengah berlangsung sebuah party kecil. Obat obat terlarang bergeletakan di sembarang tempat. Adit berusaha menenangkan pikirannya. Ia mencoba menipu dirinya dengan kenikmatan semu. Anes yang baru ke luar dari rumah sakit, kembali setia menemaninya. Anes terlihat mulai menyuntikkan cairan penenang kedalam tubuhnya, lalu terkulai lemas di pojok sudut ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD