part 9

1357 Words
Dirga memarkir mobilnya di sebuah restoran masakan nusantara. Kemudian keduanya turun hampir bersamaan. Tiyas mengikuti Dirga beriringan menuju meja, tak lama berselang, Seorang pramusaji datang menghampiri. "Selamat siang, Mas. Mau pesan apa?" "Saya pesan paket nasi empal plus sayur asem, ya." ujar Dirga menunjuk album menu. Tiyas masih memilih makanannya, tak lama kemudian, ia menentukan menunya. "Saya cumi cabe ijo dan bening bayam." ujar Tiyas menutup album menu. "Minumnya teh tawar anget." lanjutnya sembari melirik Dirga. "Saya air mineral." ujar Dirga saat pramusaji melirik padanya. Dirga bersandar, matanya liar memperhatikan sekeliling. Sesaat kemuduan, pandangannya tertuju pada Tiyas yang duduk di sampingnya. Ditatapnya gadis yang lama ia nantikan itu. Ada rasa haru melihat gadis impiannya telah duduk di sampingnya, bahkan merka bisa makan ditempat yang sama. "Yas, sejak kita berpisah dulu, kamu pernah nggak ingat aku... dan, berharap ketemu lagi setelah kita dewasa?" tanya Dirga, ia menoleh gadis itu. "Ingat pastilah,... mana mungkin aku lupa sama Mas Dirga yang selalu ada disampingku waktu itu. Tapi berpikir untuk bertemu kembali, ..." Tiyas diam sesaat, ia berusaha mengatur ritma jantungnya yang tak menentu. Dirga menatapnya tajam, menunggu kata berikutnya dari bibir gadis itu. "Aku tidak berani berharap bertemu lagi dengan Mas Dirga. Sebab setiap kali menyebut nama Mas Dirga, ibuk menangis." lanjut Tiyas, suaranya menjadi sedikit parau. Dirga terhenyak, sesaat kemudian dia membuang tatapannya jauh, sembari menarik napas dalam. "Simbok masih marah, dituduh pencuri oleh mami?" tanya Dirga kembali melirik Tiyas. Setetes buliran hangat tumpah di pipi Tiyas, ada nyeri di dadanya mengenang peristiwa itu. "Ibuk tidak mencuri Mas Dirga, ibuk bukan pencuri!" sergah Tiyas, suaranya tertahan, beberapa detik kemudian air matanya tumpah deras membasahi pipinya. Buru-buru ia meraih tissue di atas meja, lalu menutup matanya, berharap air mata itu segera berhenti. "Aku tidak menuduh simbok mencuri, Yas. Tapi masak ia mami nuduh orang sembarangan tanpa bukti?" ujar Dirga mengkerutkan dahi. spontan Tiyas menoleh padanya, "Jadi maksud Mas Dirga memang ibuk yang mencuri perhiasan mami?" Mata Tiyas melotot, seolah ingin menelan Dirga. "Bukan gitu, Yas. Kamu jangan salah paham, aku percaya kok sama Simbok, dia orang baik. Tapi bisa jadikan saat itu dia khilaf?" balas Dirga melotot pada Tiyas. Mata keduanya saling pandang, membela orang tua masing-masing. Ada rasa kesal yang membuncah di hati Tiyas, tidak terima ibunya di tuduh mencuri. "Mas Dirga, dengarnya! Kami memang orang susah, tapi kami masih punya hargadiri, kami masih tahu cara membalas budi. Saya tegaskan sama Mas Dirga, ibuk tidak pernah mencuri apapun!" Bibir Tiyas merepat, napasnya naik turun menahan marah. Secepat kilat dia menyambar hapenya di meja, lalu pergi meninggalkan Dirga. Dirga tidak menduga reaksi Tiyas bakalan semarah itu, buru-buru ia mengejar Tiyas. Namun seorang pramusaji menghadangnya. "Mas!.. Ini makanannya?!" panggilnya. Dirga menoleh, lalu ia mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dari dompetnya. "Buat kamu saja! Ini uangnya." Buru buru Dirga mengejar Tiyas. Tidak dipedulikannya tatapan pengunjung lain yang heren melihat mereka berdua. "Tiyas tunggu." ujarnya setengah berlari. Namun, Tiyas tidak peduli, ia terus berjalan lalu memberhentikan angkutan yang lewat. "Tiyas! Tiyas! Pliss jangan begini, kita bisa bicara baik-baik!" teriak Dirga, tapi sayang, Tiyas sudah menjauh bersama angkutan yang ditumpanginya. Dirag buru-buru kembali ke mobil, lalu mengejar angkutan itu. Dirga menyalip mobil yang ditumpangi Tiyas, supir mendadak menginjak rem, wajahnya merah padam melihat mobil putih di depannya. Tiyas menutup wajahnya, melihat Dirga ke luar dari mobil dan mendekati angkotnya. Supir yang kesal melihat Dirga segera ke luar. "Heh, mau apa kau, heh?!" teriak pak supir. "Sabar, pak! Tunggu sebentar!" Dirga mengeluarkan dompetnya lalu memberi supir itu dua lembar uang seratus ribuan. "Tolong suruh turun gadis berjilbab krem itu, dia pacar saya." ujar Dirga tenang. Sopir semeringah menlihat uang mereh di tangannya, "Siap Bos."ujarnya sembari kembali ke mobilnya. "Neg, turun Neg, itu pacarnya nungguin." ujar supir menatap Tiyas. Tiyas tidak punya pilihan, ia tidak enak berlama-lama menjadi pusat perhatian. Apalagi jalanan mulai macet, terdengar bunyi klakson dari kendaraan lain. Angkot segera pergi setelah Tiyas turun, Tiyas masih mematung di tempatnya. Dirga mendekatinya. "Yas, ayo ke mobil, lihat jalanan jadi macet, kita cari tempat lain untuk bicara." ujar Dirga sambil menarik tangan Tiyas. Tiyas menepis tangan Dirga, kemudian berjalan mendahului Dirga ke dalam mobil. "Yas, kamu jangan marah gitu, dong! Kita, kan, bisa bicara baik-baik. Aku kan sudah bilang, aku percaya Simbok itu bukan pencuri. Lagi pula, ... Ah, sudahlah, tidak usah dibahas lagi, kejadiannya juga sudah enam belas tahun lalu." ujar Dirga berusaha menenangkan Tiyas. Tiyas cemberut, ia memalingkan wajahnya menghadap kaca jendela. Wajahnya masih terlihat kesal. "Kita makan dulu, yuk, tadi belum jadi makan. Kamu mau makan apa?" tanyanya pada Tiyas yang masih berpaling darinya. Tiyas tidak menjawab, dia masih enggan bicara pada Dirga. "Oke ... aku minta maaf, jika aku salah, puas!" ujar Dirga. Tiyas memejamkan matanya, hatinya masih sakit dengan ucapan Dirga. Ia tidak menduga ternyata lelaki yang dianggapnya baik itu, percaya pada mami yang menuduh ibunya pencuri. Tapi ia sadar, walau bagaimanapun Dirga banyak berjasa dalam hidupnya, terlebih saat ini Dirga adalah atasannya. Ia memilih tidak melanjutkan perdebatan, cukup sebagai catatan kecil di hatinya. "Terserah." jawab Tiyas hampir tidak terdengar. Dirga menarik napas dalam, lalu membawa Tiyas melesat menuju sebuah kafe. "kamu pesan apa?" tanya Dirga. "Terserah," jawab Tiyas singkat. Ia membuang tatapanya kesembarang tempat, ia tidak ingin melihat wajah Dirga. Dirga bisa merasakan ketidak sukaan Tiyas padanya, karena gemes dengan sikap Tiyas yang menurutnya kekanak-kanakan, ia mengucek-ngucek kepala Tiyas sambil tertawa kecil. "Apaan sih, Mas Dirga! Nggak jelas!" grutu Tiyas. Wajahnya mengkerut, ia berusaha melepaskan kepalanya dari cengkraman tangan Dirga. Tapi bukannya melepaskan, Dirga malah menarik kepala Tiyas ke dadanya. Ia ingin agar Tiyas menumpahkan tangis di dadanya yang kekar. Sikap Dirga membuat Tiyas kesal, baru ini kali pertama ia diperlakukan kasar oleh seorang lelaki. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyentuhnya tanpa izin. Buru-buru Tiyas menarik tubuhnya, lalu merapikan duduknya. Wajahnya bertekuk, tanda sebel dan gusar. Dirga diam melihat sikap Tiyas. Ada rasa kesal di hatinya, sikap Tiyas tidak seperti yang di harapkannya. Selama ini ia berharap Tiyas masih manja seperti dulu, dia ingin Tiyas merengek di depannya seperti dulu, saat ia jahil merampas es krimnya. Dia ingin Tiyas berlari kepelukannya seperti dulu saat dia menangis. Tapi Tiyas yang sekarang berbeda, itu membuatnya kesal. Dirga membuang wajahnya ke samping, berpaling dari Tiyas. Begitupun Tias, ia memalingkan wajahnya dari Dirga. Tak lama berselang pesanan mereka datang. Tanpa basa-basi Diga mengambil makanannya lalu makan tampa mengajak Tiyas. Sedikit pun ia tidak peduli pada Tiyas. Gadis berwajah ayu itu, melirik pria di sampingnya yang sudah lahap menyantap makanan. Tiyas menarik makanannya yang agak jauh dari duduknya. Dirga tidak menggubrisnya, tidak ada basa basi sekedar membantu mendekatkan pesanan Tias yang dekat di sampingnya. Walau selera makannya hilang, Tiyas tetap berusaha menyantap hidangan di depannya. Hening. Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir ke duanya. Hanya suara penyanyi kafe yang terdengar mengiringi kesunyian mereka, ditambah suara dentingan sendok yang sesekali beradu dengan piring kramik. Selesai makan, Tiyas melirik Dirga, berharap pria itu mengajaknya untuk kembali ke kantor. Tapi, Dirga terlihat masih duduk santai menikmati alunan musik. "Mas Dirga, aku mau kembali ke kantor, masih banyak pekerjaan yang belum selesai." ujar Tiyas dengan suara memelas. Dirga menoleh padanya, sesaat ia menatap gadis itu. "Kirain udah nggak mau negur." celetuk Dirga. Tiyas manyun, bibirnya maju beberapa centi. "Ck, Mas Dirgaaa, buruaaan. Kerjaan Tiyas numpuk tuh di kantor. " teriaknya manyun. Melihat ekspresi Tiyas, Dirga semeringah, wajahnya yang kusut kembali ceria. "Baiklah tuan putri." jawabnya tersenyun lalu meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Beberapa saat kemudian mobil putih itu, melesat membawa keduanya kembali ke kantor. Di Kafe tempat Dirga dan Tiyas makan tadi, Adit masih duduk termangu di sudut yang berbeda. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Tiyas dan Dirga diantara sela-sela sekat ruangan. Walau hanya punggung Tiyas yang terlihat olehnya, tapi mampu mengibati sedikit kerinduan di hati. Adit memilih diam, mengamati keduanya dari kejauhan. Rasa cemburu yang datang menyelinap di hatinya, dibiarkan begitu saja, ia tak meggubrisnya. Ia tahu, Tiyas milik Dirga, ia tidak mau bersaing dengan adik kandungnya sendiri. Ia tidak ingin memperebutkan wanita yang sama dengan Dirga. Lelaki bermata elang itu, memilih mengalah sebelum berjuang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD