Adit melaju mobilnya dengan kecepatan penuh, Ia ingin memberi sensasi baru pada gadis bermata jernih di sampingnya. Lima putaran diselesaikan Adit dengan selamat, ia berhasil mengalahkan empat rekannya.
"Yeeeee... Kita menang!" terak Tiyas kegirangan saat Mobil Adit memasuki garis finish.
Adit tersenyum puas memandang Tiyas yang kegirangan. Segera ia keluar dari mobil dan langsung di sambut pendukungnya dengan semprotan air soda yang menyembur dari botol minuman, meluncur tinggi ke udara memeriahkan suasana.
Sebuah kalung bunga di kalungkan ke leher Adit oleh wanita yang memegang bendera tadi.
"Tank you.." sahut Adit sambil melambaikan tangan seraya berjalan mundur menjauhi keramaian. Segera ia berbalik menuju pintu mobil di sisi Tiyas, lalu mempersilakan Tiyas ke luar.
Tiyas ke luar dari mobil, ia terlihat makin cantik dengan wajah semeringah seperti itu, senyumnya terkulum, wajahnya memerah saat Adit mengalungkan bunga yang ia lepaskan dari lehernya. Semua mata tertuju pada Tiyas, ada yang menatapnya sinis, ada yang menatapnya kagum, adapula yang mencibir. Namun dari kejauhan sepasang mata menatapnya dengan tajam.
Adit menggiring Tiyas menjauh dari kerumunan, seolah ia mengerti, Tiyas sangat tidak nyaman dengan tatapan yang tertumpah padanya. Adit mengajak Tiyas kembali ke gazebo untuk sarapan.
Tiyas berjalan disamping Adit dengan manja dan bangga. Ada rasa nyaman yang menghangatkan jiwanya. Karisma Adit seolah menghipnotisnya melupakan kehadiran Adel dan Alan yang ia tinggalkan di gazebo.
Sesampainya di gazebo, langkah Adit terhenti, melihat Dirga yang berdiri menyambutnya.
"Sedang apa Kau di sini?" tanya Adit pada pria berjanggut tipis di depannya.
"Assalammualikum, Mas Adit." sapa Dirga seraya meraih tangan kanan Adit.
Tiyas, bergantian menatap dua pria tampan di depannya. Ia mereka-reka siapa yang sedang menyalami Adit.
Adit mengernyitkan dahi, wajahnya terlihat tegang melihat kehadiran Dirga. Ia melempar pandangannya pada Alan, mata elang itu, membuat Alan tidak nyaman. Alan menunduk membenamkan kepalanya. Ia memejamkan mata sembari menarik napas dalam. Lalu, berlahan mendekati Adit dan Dirga.
"Bisa Anda jelaskan semua ini?" tanya Adit Tegas, matanya tajam menatap Alan, seolah ingin mengulitinya. Bibir tipisnya merapat, namun napasnya tetap stabil dan tenang.
"Saya yang memanggil Mas Dirga ke sini, Pak!" ujar Alan, sembari mengangguk dan tetap menunduk.
Adit melempar tatapnnya pada Dirga yang mencoba untuk tetap Tenag. Kemudian Tiyas pun tak luput dari mata elang itu. Tiyas yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tampak bingung melihat sikap ke tiga pria gagah di depannya.
Alan mencoba mencairkan suasana, lalu mengajak duduk di saung restoran. Sesaat Adit bergeming, namun ia teringat Tiyas belum sarapan, ia pun masuk dan duduk. Makanan yang ia pesan sudah dingin, diliriknya Tiyas yang terlihat semangat memandang makanan di depannya. Nampak dari raut wajahnya ia sudah lapar.
"Sudah dingin." ujar Adit sembari melirik Tiyas.
Namun sepertinya Tiyas tidak peduli, rasa lapar diperutnya membuatnya tidak sabar ingin menyantap makanan yang terhidang di meja.
"Tiyas lapar, Mas Adit, biarin deh dingin. Mubazir!" jawab Tiyas seraya mendekatkan nasi goreng di depannya.
Jemari panjang dan lentik itu, mengambil sendok dan garpu di depannya, lalu mulai menyuap makanan ke mulutnya.
Adit menatap Tiyas, gejolak di hatinya semakin tidak menentu dengan kehadiran Dirga. Sepertinya ia mulai menerka-nerka siapa gadis yang ia panggil Tiyas itu. Tangannya meraih air mineral yang masih tersegel di depannya, kemudian meneguknya.
"Mas Adit gak makan?" tanya Tiyas seraya menghentikan makannya.
"Saya sudah sarapan dari ruimah." jawab adit berdalih.
Setelah rasa lapar diperutnya hilang, Tiyas menghentikan makannya, ia kikuk karena tidak ada yang menemaninya makan.
Alan meminta Pelayan restoran membersihkan meja, lalu mengganti dengan pesanan yang baru.
"Dirga, apa gadis ini yang kamu maksud?" tanya Adit menatap Dirga lekat.
Dirga menarik napas dalam, matanya beradu dengan mata saudara lelakinya itu. Berlahan ia mengangguk. Tiyas yang memperhatikan Adit dan Dirga mencoba mempertajam telinganya, seolah khawatir ada kalimat yang terlewat. Namun suasana menjadi hening, Adel yang duduk disebelah Alan menatap Tiyas dengan pandangan haru.
Akhirnya Tiyas menyadari dialah topik pembicaraan Adit dan Dirga. Ia melempar pandangannya pada Alan, mencoba mencari jawaban dari pria yang membuatnya patah hati itu. Lalu bergantian menatap Adit dan Dirga.
"Apa ada yang aku lewatkan?" tanya Tiyas seraya menatap Alan, Adit dan Dirga secara bergantian.
"Tiyas, kamu tidak mengenaliku?" tanya Dirga sembari menatap Tiyas, keningnya berkerut.
Tiyas menatap Dirga dan mencoba mengingat ingat wajah Asing di depannya. Lalu menggelengkan kepala. Ia tidak bisa mengingat apapun tentang sosok lelaki didepannya. Lalu Dirga mengeluarkan sebuah boneka barbie yang tampak usang.
Tiyas terbelalak melihat boneka yang diletakkan Dirga di meja, spontan ia meraih boneka itu.
"Mas Dirga... " pekik Tiyas sembari menutup mulutnya.
Lehernya seakan tercekik yang membuat dadanya sesak. Lalu pandangannya tertuju pada Adit.
"Mas Adit...Raditya Pratama.." bisiknya hampir tak terdengar.
Adit menarik napas dalam, guratan kecewa terlukis diwajahnya.
"Wening Tiyas.." bisiknya dalam hati, kemudian ia bangkit dari duduknya lalu berlalu meninggalkan Tiyas, Dirga dan teman temannya. Langkahnya begitu cepat sehingga kali ini tidak ada yang bisa mencegahnya.
Udara sejuk meniup dedaunan, melaimbai lembut menari-nari bergelantungan di dahan-dahan ramping. Tiyas menghela napas panjang, hatinya bergejolak, sejuta rasa bergantian mempermainkan perasaannya.
Dirga mencoba menahan pandangannya pada Tiyas, gadis yang ia siapkan menjadi pendamping hidupnya. Namun, sepertinya ia mulai ragu dengan semua mimpinya. Gadis idamannya terlibat kasih dengan kakak kebanggaannya.
Walau ia tahu sejak dulu, ketika Tiyas masih tinggal bersama keluarganya; Tiyas sering curi pandang pada Adit. Pipinya merona menahan malu tatkala tanpa sengaja Adit memergoki lirikannya. Kini Dirga hanya bisa pasrah dengan pilihan Tiyas.
"Jadi selama ini, Mas Dirga yang memberi beasiswa padaku?" tanya Tiyas.
Dirga mengangguk.
"Tapi kenapa Mas Dirga nggak nemuin aku?!" tanya Tiyas lanjut.
Dirga menarik napas panjang, ia mencoba mencari alasan yang tepat.
"Aku takut kamu menolak, sebab ada Alan di sisimu." ucap Dirga datar.
Tiyas menarik napas dalam, baginya alasan Dirga sangat konyol. Ditatapnya punggung Adit yang semakin jauh lalu menghilang di balik pepohonan.
Adel menggeser duduknya mendekati Tiyas,
"Maafkan Aku, Yas, Aku tidak tahu tentang hubunganmu dengan Mas Alan! Kami sudah membatalkan rencana walimahan itu!" ujar Adel berbisik pada Tiyas.
Tiyas menoleh pada Adel, matanya tajam menatap gadis berkerudung coklat itu.
"Kenapa?" tanya Tiyas heran.
"Bukan aku yang ada di hati Mas Alan, tapi kamu." ujar Adel. Suaranya parau menahan sesak di d**a.
Tiyas terdiam, luka yang yang hampir sembuh kini terkuak lagi.
Tenggorokan Tiyas seolah tercekik, dadanya seperti dihantam sebuah batu besar. Tiba tiba ia merasa bersalah, ia begitu egois pada Adel. Meninggalkannya tanpa penjelasan apapun, menghukumnya dalam perasaan bersalah.
Air matanya tumpah, matanya sayu menatap sahabat dekatnya itu, menatap penuh sesal, kemudian keduanya berpelukan.
"Maafkan Aku, Del. maafkan Aku begitu egois padamu!" bisik Tiyas terbatah-batah berurai air mata.
"Aku yang minta maaf, Yas, Aku yang tidak peka padamu,"
Suasana menjadi hening, Alan menundukkan kepalanya, Dirga membuang jauh tatapannya, Sadeq menatap dedaunan yang terus menari.
Melihat Tiyas dan Adel sudah berbaikan, Alan tersenyum lega, begitupun Dirga. Ada rasa senang di hati keduanya, saat melihat gadis pujaannya kembali seperti yang mereka inginkan.
Alan mengajak mereka untuk kembali ke Jakarta. Tiyas dan Adel tersenyum tipis sembari menganguk kecil keduanya mengerti bahasa itu, kemudian berjalan mengikuti Alan, Sadeq dan Dirga sambil bergandengan tangan.