Part 6

1090 Words
Pagi ini Tiyas berdandan rapi, sejenak ia teringat Adel. Biasanya weekand begini mereka pergi ke monas untuk berolah raga. Tapi pagi ini berbeda, ia tidak akan pergi ke Monas bersama Adel. Tiyas tengah menunggu kedatangan Adit. Ia akan menemani kenalan barunya itu balapan di Sirkuit Sentul. Tak lama menunggu sebuah Mobil sport putih berhenti di depan ruamhnya. Bergegas Tiyas ke luar dan mengunci pintu. "Hai... sudah lama menunggu?" sapa Adit yang ke luar dari mobil dan membukakan pintu kabin untuk Tiyas. "Baru kok, Mas" jawab Tiyas tersenyum. Adit membalas senyum gadis berkerudung segi tiga itu. Kudunya kemudian beranjak pergi. Tak lama Adit dan Tiyas berlalu, tanpa mereka sadari mobil hitam mengikuti dari belakang. Alan, sadeq dan Adel, sudah janjian, akan menemui Tiyas untuk mengklarifikasi masalah yang ada. Adel tidak enak hati pada Tiyas, ia memaksa Alan dan Sadeq mengantarnya menemui Tiyas. Namun sebelum sampai di rumah Tiyas, ia terkejut melihat Tiyas naik ke dalam mobil mewah di depannya. Walau ia bahagia melihat Tiyas kembali berhijab, ia tetap tidak suka melihat Tiyas pergi berduaan dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya. Setelah memasuki tol Jagorawi, mobil yang di bawa Sadeq melaju dengan kecepatan tinggi mengikuti mobil Adit dari belakang. Alan menghubungi Dirga yang baru saja tiba di tanah air, dini hari tadi. Di dalam mobil, Tiyas nampak menikmati perjalanan. Nyanyian kecil Adit membuatnya tersipu. Menurutnya Adit cukup romantis. Walau malu-malu, ia ikut bernyanyi mengikuti lagu yang di stel Adit di tape mobil. Tawa dan canda bersama Adit, membuatnya lupa akan masalahnya dengan Adel dan Alan. Sesampainya di lokasi Sirkuit Sentul, Seorang panitia datang menyambut mobil Adit. Adit keluar dari mobil lalu bergegas membukakan pintu kabin Tiyas. Lelaki berbaju hitam yang menyambut Adit itu, segera membawa mobil kuning Adit ke arena balapan. "Kita sarapan dulu, yuk!" ujarnya, Adit menggiring Tiyas ke sebuah gazebo. Tiyas mengangguk setuju. Keduanya duduk di sebuah gazebo. Tak lama berselang, seorang pramusaji datang menghampiri. Adit dan Tiyas memesan beberapa menu untuk sarapan. Pagi itu kabut tipis menyelimuti kota Sentul, udara sejuk membelai lembut wajah Tiyas. Mata bulat itu menatap arena balapan yang ramai dengan umbul-umbul. Dari kejauhan, Alan, Adel, dan Sadeq berjalan mendekat, Adel berusaha menenangkan gejolak di hatinya, ia menarik napas panjang menahan rasa yang membuncah di dadanya, tak sabar ingin bicara dengan Tiyas. "Assalammualikum, Tiyas!" sapa Adel. Tiyas terkejut melihat kehadiran Adel, Alan, dan Sadeq. Bagai sepasang remaja yang tertangkap basah, ia terperanjak dari duduknya. "A...Adel?!" sahut Tiyas terbata, matanya terbelalak, kemudian bergantian menatap Alan dan Sadeq. Adit menoleh ke arah Adel, lalu secepat kilat melayangkan pandangannya pada Alan, lelaki yang ia kenal cukup dekat. Lalu kembali menoleh pada Tiyas, keningnya berkerut seperti sedang berpikir keras. Alan mendekati Adit lalu membungkukkan punggungnya memberi hormat. "Selamat pagi, Pak" sapanya. Adit memandangnya penuh Tanya. Sesaat ia diam. "Pagi." jawabnya singkat. Tiyas bergantian menatap Alan dan Adit yang ternyata saling kenal. "Mas Adit kenal dengan Mas Alan?" tanyanya penasaran. "Apa pria ini yang bikin kamu patah hati?" timpal Adit sembari menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia tampak tenang dan berwibawa. Alis matanya naik menatap Tiyas yang masih berdiri. Tiyas memalingkan wajahnya ke samping, mencoba menyembunyikan wajah yang kembali terlihat kusut. Adel menatap Tiyas. Lalu berganti menatap Adit. Banyak pertanyaan yang ingin ditujukannya pada Tiyas, tapi ini bukan saat yang tepat. Alan terlihat kikuk, sesaat kemudian ia memberi kode pada Sadeq agar pergi ke parkiran menunggu Dirga. "Tiyas, ini Pak Adit, owner sekaligus CEO di purusahaan kita!" ujar Alan yang berdiri di sisi kiri Adit. "Owner perusahaan Kita?" Tanya Tiyas memastikan. Alan mengangguk. matanya melirik Adit yang tak lepas menatap Tiyas. Tanpa berkata apapun, Adit berdiri lalu meninggalkan mereka menuju arena balapan. Perasaannya tidak enak, tapi ia mencoba menepis rasa khawatir yang datang menyelinap di benaknya. Tak lama kemudian makanan yang dipesan Adit datang. Tiyas duduk berusaha menenangkan diri, lalu menarik napas dalam. Beberapa detik kemudian ia berubah pikiran. Setengah berlari ia menyusul Adit menuju arena balapan. Alan dan Adel tidak bisa mencegah, keduanya memilih duduk dan menunggu Adit menyelesaikan balapannya. "Mas Adit, tunggu!" teriak Tiyas, menghentikan langkah Adit. Adit berhenti dan menoleh ke belakang. "Mas, Aku ikut!" ujarnya dengan napas yang masih kejar-kejaran. "Ikut kemana?" tanya Adit mengernyitkan dahi. "Ikut balapan!" jawab Tiyas singkat. "Hahaha... yakin, mau ikut?" tanya Adit tertawa kecil. Tiyas mengangguk dengan cepat, sorot matanya tajam menatap Adit, menanti jawaban yang ia harapkan. Tanpa menjawab, Adit memberi kode pada Tiyas dengan menggerakkan kepala ke arah mobil sembari tersenyum. Tiyas mengulum senyumnya, segera ia menuju mobil putih yang terparkir di lintasan lomba. Sementara Adit menyapa dan menyalami beberapa rekannya yang siap bertanding. Beberapa menit kemudian ia menuju mobil lalu memasang sabuk pengaman yang juga diikuti oleh Tiyas. "Masih ada waktu jika kamu ingin turun!" ucap Adit sembari melirik Tiyas yang terlihat sibuk menoleh ke kanan dan kiri, mengamati para panitia yang setengah berlari mengambil posisi masing masing. "Nggak Mas, Saya mau di sini, Saya percaya kok sama Mas Adit." ujar Tiyas sembari melayangkan lirikan mata pada pria yang siap beraksi itu. Adit tersenyem mendengar jawaban Tiyas, ia sibuk memaju mundurkan kursinya, mencari posisi nyaman, kemudian menggeser-geser kaca spion tengah, kanan dan kirinya. Setelah ia merasa semua sempurna, ia menyandarkan tangan kanannya pada pintu mobil dan memiringkan bahunya, sehingga lebih leluasa menatap Tiyas. "Benar, pria itu yang membuatmu patah hati?" tanya Adit kembali mengulang pertannyaan yang belum dijawab Tiyas. Tiyas menggosok-gosok hidungnya yang tidak gatal sama sekali. Tidak ada jawaban yang ingin ia katakan. Namun bahasa tubuhnya membuat Adit tersenyum tipis sembari mengangguk anggukkan kepalanya. "Oke, siap ya, kita akan segera balapan. Jika takut, teriaklah sekencang yang kamu mau." Adit mengulum senyum melihat Tiyas menarik napas dalam. Tak lama berselang, seorang wanita tinggi langsing berpakaian kaos putih dan jeans hitam, membawa bendera hijau kotak kotak hitam. Ia berdiri disisi kiri sejajar dengan garis start. Wanita itu menghitung mundur, kemudian meniup pluit dan mengangkat bendera ditanggannya Segera Adit dan empat mobil lain tancap gas, lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Tiyas spontan menutup matanya, jantungnya bedetak sangat cepat seoalah ikut berpacu di arena balapan. Sedangkan Adit konsentrasi penuh mengendalikan stir mobil. Tepat ditikungan, Adit menyalip satu mobil yang mendahuluinya. Tanpa sadar Tiyas menjeriat sambil menutup mata, tubuhnya ikut terhempas kekanan saat mobil Adit berbelok dengan kecepatan tinggi. Setelah jalanan kembali lurus, Tiyas mencoba membuka matanya, namun keadaan itu tidak bertahan lama, mobil Adit kembali berbelok ke kiri dengan kecepatan penuh, menyalip satu mobil lagi di depannya. Kini Adit memimpin balapan diposisi pertama. Tiyas terlihat ngos-ngosan, hormon adrenalinnya terbentuk sempurna. keringat bercucuran membasahi kening dan punggunggnya. Dinginnya suhu di dalam mobil, tak mampu mendinginkan tubuh Tiyas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD