Hanna, gadis dua puluh lima tahun yang tinggal dengan bapak dan adik perempuannya, hanny. Hani masih bersekolah kelas dua SMA. Hanna yang meminta Hanny untuk melanjutkan sekolah, sekolah dengan tinggi. Hanny bilang mau menjadi dokter. Supaya dia nanti bisa membantu ibu melahirkan supaya tak perlu ada yang meninggal setelah melahirkan.
Ibu Hanna dan Hanny meninggal ketika melahirkan Hanny. Sejak itu Hanny sering menyalahkan diri sendiri. Hanna terus meyakinkan Hanny kalau itu sudah takdir. Bukan salahnya. Hanny mencoba menebusnya untuk menjadi dokter.
“sayang, bangun. Sudah pagi.”
Hari sudah pagi di kehidupan keduanya, di rumah, sekitar pukul enam pagi. Hanna seperti biasa, memasakkan sarapan untuk sang adik. Karena masih ada sisa nasi kemarin dia magicom, Hanna memutuskan untuk membuat nasi goreng. Dengan telur dan juga timun yang sudah di cuci dan dipotong-potong. Setelah selesai menyiapkan makanan. Hanna ke kamarnya, Hanna dan dan Hanny masih tidur bersama. Lagi pula rumah mereka juga kecil. Hanya ada dua kamar. Satu kamar untuk keduanya dan satu kamar lagi kamar milik bapaknya, yang suka minum dan bau alkohol didalamnya.
Hanna melewati kamar bapaknya, melihat pintu kamarnya yang terbuka. Sepertinya sang bapak tidak pulang lagi malam ini. Hanna tak perduli yang dia perdulikan hanya Hanny.
“Sayang, bangun dek.” Hanna mencoba membangunkan hanny. Menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“bangun dek. Sudah jam enam. Kebiasaan ya kmu begadang nonton drama korea?” tanya Hanna masih mencoba membangunkan adiknya yang belum juga merespon.
“iya kak. Hanny sudah bangun ini.” Tubuh Hanny menggeliat. Dia bilang sudah bangun. Tapi matanya belum terbuka.
“buka matanya sayang. Mandi, nanti kalau kesiangan gimana? Kan harus naik angkot. Belum macet. Kakak sudah siapkan nasi goreng.”
“Iya kak. Hanny bangun.”
Hanny beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi. Hanna pun keluar. Dia mengambilkan nasi goreng untuk dia dan Hanny. Menatanya di piring masing-masing dan air putih yang dia tuangkan ke dalam dua gelas. Hanna duduk dan makan lebih dulu sambil menunggu Hanny.
Hanny selesai mandi. Dia keluar dengan seragam sekolahnya dengan tas Selempangnya berwarna merah muda. Hanny duduk di kursi bagiannya. Segera menyantap sarapan yang dibuatkan kakaknya.
“Sayang, kakak berangkat duluan ya. Kamu gak apa-apa kan kakak tinggal?” tanya Hanna menaruh uang saku di atas meja, di dekat Hanny.
“iya kak.” Hanny mendongak menatap kakaknya. Lalu melihat uang lima puluh ribu yang diberikan kakaknya.
“kurang gak? Ada perlu buat apa gitu di sekolah.” Hanna kembali mengeluarkan uang seratus ribu dan menaruhnya diatas uang lima puluh ribu itu.
Hanny sih memang ada keperluan untuk membeli beberapa barang praktek. Tadinya dia tak mau menerima uang itu. Hanny merasa menjadi beban tambahan kakaknya.
“kalau kurang bilang sayang?”
“jangan liat kakak gitu aja. Kakak beneran gak apa-apa kok.”
“ini kalau gak jawab, kakak gak berangkat-berangkat nih?” Hanna khawatir uangnya kurang.
“Enggak kak. Udah cukup.” Hanny malah menangis menjawab kakaknya.
“Jangan nangis sayang. Hilang nanti bedak kamu.” Ujar Hanna untuk menghiburnya. “sudah ya kakak berangkat.”
“iya kak.”
Hanna mencubit pipi adiknya yang tak henti menatap dia. Hanna mencium pipi dan kening sang adik. Lalu pergi meninggalkannya.
Hanna naik ojek untuk bekerja sambilan. Dia bekerja di sebuah cafe ketika pagi sampai sore. Sore sampai malamnya dia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran besar.
Pak Toni, bapaknya Hanna dan Hanny pulang ketika kedua anaknya tak di rumah. Dia melihat meja makan hanya ada nasi goreng dingin. Dia membanting semuanya.
Brakk!
Sampai piringnya pecah. Dia hanya menuangkan air minum dan terus meminumnya, beberapa kali dia sembur-semburkan ke langit-langit rumah.
Pak Toni pulang dalam keadaan mabuk. Dia ke kamarnya, mencari minuman miliknya lagi. Tapi semua botol minuman miliknya sudah habis. Dia membanting botolnya dengan kesal. Pada akhirnya pak Toni tertidur.
***
**
*
Hanny pulang sekolah. Dia baru masuk ke rumah. Semuanya sudah berantakan. Hanny tahu kalau ini pasti ulah bapaknya. Bapaknya pasti pulang dalam keadaan mabuk. Hanny mengganti bajunya ke kamar, menaruh tasnya. Segera setelahnya dia mengambil sapu dan membereskan pecahan piring dan nasi-nasinya yang berserakan.
Hanny sedang membereskan meja makan. Sedang menunggu air mendidih. Sampai akhirnya pak toni bangun. Pak Toni ke dapur. Dia melihat Hanny yang ada di dapur.
“Minta uang.” Kata pak Toni menodongkan tangannya kepada Hanny. Hanny menoleh bingung. Bagaimana dia memberikan uang kepada bapaknya. Dia belum bekerja dan tak punya uangnya. Hanny ingat sisa uangnya. Tinggal lima puluh.
“ini pak.” Hanny memberikan uang lima puluh ribunya kepada Toni. Tapi Toni malah menampar Hanny.
“buat apa uang segini, buat beli minum aja gak bisa. Kamu itu harusnya bekerja saja dengan kakak kamu. Gak perlu sekolah tinggi-tinggi orang miskin itu. Bikin hidup makin susah. Nyusahin gak tau diuntung.”
Toni menoyor kepala Hanny berkali-kali. Hanny tak seberani Hanna yang menahan tangan bapaknya. Hanna juga tak berani sih sebenarnya. Tapi Hanna memberanikan diri untuk melawan bapaknya kalau bapaknya keterlaluan kepada Hanny terutama.
“Hanny gak punya uang pak.”
“makannya cari uang aja kayak kakak kamu. Gak usah sok sekolah.”
Plak! Satu tamparannya bahkan Toni layangkan kepada Hanny. Hanna pulang sebentar untuk mengecek keadaan Hanny. Ketika dia masuk ke rumah Hanna kaget melihat Hanny yang dipukuli bapaknya. Bahkan sudut bibir Hanny yang sudah lebah.
“BAPAK!”
Hanna berteriak kepada bapaknya yang sudah melayangkan tangan kepada Hanny, ingin kembali memukulnya. Hanna menahan tangan bapaknya.
“sini dek.”
Hanna menarik Hanny untuk berdiri dibelakangnya. Hanny diam menangis dibelakang Hanna. Hanna mengeluarkan uang gajinya yang dari cafe. Dia menepukkan kebahu bapaknya.
“kenapa harus pukul Hanny sih.”
“Ini uangnya. Jangan pernah pukul Hanny lagi. Biarkan Hanny sekolah.”
“urusan uang sama Hanna.”
Toni tak perduli dengan apa yang Hanna katakan padanya. Bahkan tak perduli dengan Hanny yang babak belur di tamparnya tadi. Toni sibuk membuka amplop merahnya dan mengeluarkan sejumlah uang dari sana. Sibuk menghitungnya.
“Hanny ikut kakak ke restoran.”
Hanna pun terpaksa mengajak Hanny ikut bekerja bersama dia. Hanna menarik Hanny dari hadapan papanya, menuju ke luar. Dia langsung mencari taxi dan mengajak Hanny ke klinik lebih dulu.
“ke klinik ya pak.” Kata Hanna kepada supir taxinya.
“Jangan kak. Ini gak apa-apa kok. Di kompres juga nanti gak sakit lagi.” Kata hanny memohon kepada kakaknya.
“aku gak mau bikin kakak susah. Bener kata bapak, aku Cuma nambah beban kakak aja.”
“Enggak sayang. Ya sudah kita ke restoran tempat kakak kerja. Kita obati di sana. Tapi nanti kalau besoknya sakit, atau kamu ngerasain apa, bilang ya sama kakak?”
“Iya kak.”
Hanna meminta supir taxinya untuk menuju ke tempat restoran dia bekerja. Hanna membawa Hanny ke belakang, ke ruang karyawan. Hanna mengambil es batu dari ruang pendingin di restorannya. Dia mengompres luka Hanny dengan perlahan.
“kenapa adik kamu Hanna?” tanya salah satu karyawan yang melihat mereka. Hanna cukup dengan dengan beberapa karyawan disana.
“gak apa-apa kak. Biasa, bapak kumat.” Kata Hanna kepada mereka. Mereka juga sudah tahu cerita hidup Hanna. Banyak yang kasihan dengan Hanna dan Hanny. Hanna paling kecil bekerja disana. Jadi mereka mengganggap Hanna seperti adik mereka semua.
Ada satu yang seusianya. Tapi karena sikap Hanna yang baik dan manis kepada mereka. Mereka lebih suka dengan Hanna. Beda dengan teman Hanna yang satunya. Dia tengil walau pelayan baru.
Hanna selesai mengobati Hanny. Dia meminta Hanny untuk menunggu dan beristirahat disana. Hanna harus mulai bekerja. Dia mengganti bajunya dengan seragam pelayan. Baru beberapa hari bekerja. Mereka sudah diminta bubar.
Prank!
Hanna di tarik manager karena dia sendiri yang belum pulang. Hanna terkejut melihat laki-laki satu-satunya di restoran itu mengamuk dan tangannya bercucuran darah.
“hann, obati tuan vino ya. Nanti saya kasih lebih pokoknya. Temani dia sampai dia belum menyuruh kamu pergi.” Kata sang manager kepada Hanna.
Mendengarnya uang, dan sudah biasa menghadapi bapaknya yang marah-marah. Hanna yakin dia bisa. Hanna mengambil kotak obatnya. Dia berjalan mendekati meja vino. Ketika semua orang disana sudah disuruh manager restoran pulang tadi.
“Tuan, biarkan saya mengobati luka anda.” Hanna meminta tangan vino. Hanna tadi melihat semuanya. Bagaimana manisnya vino tadi kepada kekasihnya. Tapi kini, dia terluka dan terlihat begitu sangat sedih, hancur.
Hanna baru akan mengobati lukanya. Tapi Vino menariknya begitu saja. Vino memeluk erat pinggang Hanna. Vino menyandarkan kepalanya erat memeluk Hanna yang berdiri sementara vino yang duduk. Hanna terkejut mendapatkan pelukan dari vino.