BABY 1
Plakk...
Sebuah tamparan keras dilayangkan sebuah tangan kekar ke pipi seorang gadis muda. Dari balik pintu gadis yang usianya beberapa tahun diatas gadis muda itu langsung berlari, dia hana, baru saja pulang bekerja. Ketika sampai dia melihat sang adik yang baru berusia 17 tahun itu ditampar oleh ayahnya, pak toni.
"Pak, jangan kasar sama hani." kata hana mencoba menahan tangan kekar bapaknya. Hana langsung menarik hani yang sudah menangis kepelukannya.
"Bapak kan sudah bilang, jangan sekolah. Berhenti sekolah, buang-buang duit kamu. Mendingan hani keluar sekolah, cari kerja biar bisa kasih bapak uang juga kayak kamu. Dasar anak tak berguna!" dengan suara lantang dan bau alkohol yang keluar dari mulut pak toni, hana mengerti kondisi ayahnya itu. Ini sudah biasa bagi keduanya.
Hana kembali menahan tangan pak toni, kali ini dengan sebuah amplop coklat yang dia bawa. Hana memberikannya pada pak toni. Pak toni yang melihatnya tersenyum senang, tangan yang sejak tadi geram dan memukuli hani berganti mengambil amplop coklat itu. Pak toni tau isinya.
"Uangg..." kata pak toni sambil mencium amplop coklat itu. Seakan itu adalah makanan terenak di dunia. Pak toni tersenyum senang menatap anak sulungnya itu, hana.
"Kayak kakak lo gini dong, hani. Jangan taunya cuma minta dan nyusahin keluarga. Lo mau sekolah buat apa sih. Orang miskin kayak kita itu gak guna sekolah tinggi-tinggi, sok. Ngabisin duit. Bikin tambah pusing hidup dan miskin."
Pak toni memukulkan amplop coklat yang cukup tebal itu ke kepala hani. Pak toni sudah melihatnya. Ada beberapa lembar yang merah, cukup banyak. Mungkin sekitar empat puluh lebih.
"Pak, hana kan sudah kasih. Bapak jangan pernah lagi pukuk hani. Urusan uang sama hana, jangan pernah sakitin hani pak, tolong. Hana janji berapapun bapak mau, hana usahain ada uangnya." kata hana kembali menepis tangan pak toni yang akan kembali menyentuh adiknya, hani yang hanya bisa menangis dipelukan kakaknya.
"Ok terserah kamu lah. Yang penting bapak selalu dapet uang buat beli minum."
Pak toni pergi, dia mengambil jaket coklat lusuhnya dan keluar rumah dengan membanting pintu. Sampai membuat hana dan hani terkejut, kaget.
"Kakak..." hani tak henti menangis memeluk kakaknya.
"Hani gak usah sekolah lagi ya kak. Hani gak mau dipukulin bapak lagi. Hani kerja aja." hani merengek pada hana.
"Kata hani, hani mau jadi dokter. Kakak minta maaf, kakak janji bapak gak akan pukulin hani lagi ya? Plisss.."
Hana memohon agar hani mau sekolah. Hani memang punya mimpi untuk menjadi seorang dokter. Terlebih setelah ibunya meninggalkan ketika melahirkan hani. Hani ingin menjadi seorang dokter agar dia tak kehilangan orang-orang yang dia sayang. Terlebih kakaknya. Hani ingin merawat kakaknya, bahkan hani ingin memastikan semua ibu tidak harus meninggal untuk melahirkan anak-anak mereka ke dunia.
"Hani harap, kakak ketemu laki-laki yang baik. Yang gak kayak papa. Semoga kakak ketemu laki-laki yang sayanh sama kakak, bersikap lembut ke kakak. Nanti hani janji, kakak gak akan kayak mama kalau kakak melahirkan anak hani. Tunggu hani jadi dokter ya kak."
Hana senang hani kembali bersemangat. Hana memeluk adiknya dengan sangat bangga. Hani pernah menyalahkan dirinya sendiri karena pak toni serinh bilang kalai hani penyebab ibunya meninggal. Hani seorang pembunuh. Tapi karena hana, hani bertahan. Hana meminta hani untuk menemaninya sepanjang hidup dia. Bahkan ketika dia menikah dan berkeluarga, hana akan membawanya. Tapi hana tak yakin bisa menemukan laki-laki yang mau dengannya. Dia yang dari keluarga miskin.
"Udah yuk. Kita makan, kamu belum makan kan sayang?" tanya hana mengusap kepala hani dengan penuh kasih. Hani menggeleng.
Mereka menuju ke dapur kecil di rumah sederhana keduanya. Rumah yang penuh dengan kenangan sang ibu, disetiap sudut masih tertata foto-fotonya. Hana bahkan sering mengenakan pakaian peninggalan ibunya. Hana juga menceritakan bagaimana sosok ibunya disetiap ingatan yang tersisa.
"Ini makanan yang paling sering ibu masak buat kakak dulu. Kakak rasa, rasanya sama persis dengan masakan ibu. Ibu yang mengajari kakak memasak naai goreng ini. Katanya nasi goreng spesial, dibuat dari hati dan resep ibu, jadi bayangin ini dimasak sama ibu. Kalau lagi kangen kamu makan nasi gorengnya dan bayingin ibu makan sama kita."
Hana sedang membuatkan nasi goreng sambil menceritakan kenangan yang sering dia lakukan dengan ibunya. Hani yang ada disamping hana memperhatikan dengan baik. Bahkan jika kakaknya pun berbohong, kakaknya sudah seperti ibu baginya. Bukan hanya sekedar kakak, bahkan hani sudah menganggap kakaknya seperti ibu yang tak pernah dia tau sosoknya seperti apa.
Ibu adalah kakak perempuannya, hana.
"Kak hana, hani sayang banget sama kakak." hani tiba-tiba saja mendekati hana dan memeluk hana yang sedang masak dari belakang.
"Kakak juga, sayangggg banget sama kamu." hana membelai pipi hani yang menempel didagunya.
"Jangan pernah tinggalin hani ya kak?" pinta hani pada hana.
"Tentu. Gak akan pernah."
Hana selesai memasak nasi gorengnya. Hani membantu menganbilkan piring. Hana membaginya menjadi dua. Mereka makan bersama dimeja makan kecil dengan empat kursi disana.
"Kak, hani pengen disuapi kakak.." hani membuka mulutnya lebar. Hana tersenyum, ini kebiasaan hani kalau sedang sedih. Begitu juga hana, jika dia capek menghadapi hidupnya yang keras, dia akan bermanja dengan sang adik. Entah hanya disuapi atau dipeluk sepanjang dia tidur.
"Aakkk..."
Hana menyuapi hani, dia memasukan satu sendoi nasi goreng ke mulut sang adik. Hani sangat menikmati nasi gorengnya. Hani pun melakukan hal yang sama sebagai balasan untuk kakaknya.
"Kak hana, aakkk..." kata hani pada hana yang sesaat melihat ponsel untuk mengecek beberapa pekerjaanya nanti malam.
Hana bekerja disebuah restoran sebagai pelayan, dia bisa bekerja apa saja, mengambil kerjaan siang dan malam agar gajinya lebih banyak, untuk bapaknya dan untuk simpanan masa depan hani.
"Kak, makan lagii.."
Hana hampir tak sempat makan karena melihat ponselnya. Hani yang memperhatikan sang kakak pun langsung menyuapinya lagi.
"Kak, nanti malam kakak ada kerjaan ya?" tanya hani pada hana. Hani tau kalau kakaknya sibuk melihat ponsel berarti dia mencari uang tambahan.
"Uangnya di bapak semua ya, kak?" tanya hani lagi.
"Gak lah. Yang buat kamu tetep ada kok tenang aja." kata hana kembali menyuapi hani, mereka terus bergantian sampai habis.
"Kak, hani ikut ya. Hani bantu-bantu disana. Hani juga takut kalau di rumah sendirian."
Hana juga tak tega kalau meninggalkan hani setelah kejadian tadi.
"Kamu gak bisa kunci pintu kamar aja?" tanya hana pada hani, biasanya sih hana meminta hani melakukan itu dan hani selalu melakukannya. Tapi tadi sebelum hani masuk dan mengunci kamar, bapaknya ternyata sudah bangun.
"Kak, hani takut. Bapak lagi marah banget kan tadi sama hani." hani merengek meminta diizinkan ikut dengan hana. Hana tak tega.