Sepersekian detik tadi, dia terlihat sangat indah. Menawan dengan senyum dibibirnya yang khas membentuk hati. Dengan mata yang berbinar. Tapi sepersekian detik berikutnya, hana melihat laki-laki itu hancur. Vino. Dia mengamuk? Entahlah? Hana melihat laki-laki itu sangat marah, kecewa dan yang paling penting sangat terluka. Dia terlihat sangat rapuh ketika seperti itu.
-
Vino menunduk mengerti dengan apa permintaan yang kekasihnya katakan. Putus? Iya. Secara tak langsung airin mengatakan itu.
"Aku harus pergi besok. Maaf, tadinya malam ini aku ingin bertemu dengan kamu untuk mengakhiri hubungan kita baik-baik. Tapi kamu malah melamar aku. Maafkan aku, vin. Aku belum bisa terima lamaran kamu."
"It's ok. Santai aja. Kamu kejar impian kamu. Aku ok kok."
Vino ok? Bohong banget. Airin tak mau diantar untuk malam ini. Bahkan besok ke bandara. Airin meninggalkan vino yang hatinya terluka parah, hancur. Sekali vino sayang sama orang, vino menyerahkan seluruh hatinya. Salah vino sih. Sekali vino ingin bersama seseorang, vino lupa. Tak ada yang tau bagaimana takdir akan menyatukan atau bahkan memisahkan mereka nanti.
Airin sudah pergi dari hadapan vino. Vino hanya mematung diam. Vino memanggil seorang pelayan. Pelayan itu memanggilkan kepala pelayan. Hana dan pelayan yang lain diminta untuk mengusir semua orang didalam restoran.
Wow?
Hana terkejut dengan kuasanya. Orang-orang pun pergi begitu saja. Kepala pelayan sangat menuruti permintaan vino, hana sendiri bingung kenapa?
"Siapa dia, laki-laki yang meminta semua pembeli pergi?" tanya hana memberanikan diri. Hana bertanya pada pelayan yang lain.
"Anak pemilik restoran."
Hana mengerti sekarang. Prankk... Dalam sejekap makanan yang ada didepan vino dia amuk. Semuanya jatuh ke lantai dengan sia-sia. Piring-piringnya pecah. Hana terdiam dan tersentak kaget melihat. Kemarahannya benar-benar menakutkan. Atau kesedihannya?
"Keluar sekarang!" kata kepala pelayan pada para pelayan di restoran. Bahkan mereka diusir, tak diperbolehkan melihat apa yang terjadi.
Para pelayan restoran pun hanya menuruti perintah kepala pelayan. Mereka pergi meninggalkan ruangan utama restoran. Semua pelayan, tak terkecuali. Tapi hana,
"Darahh.."
Hana terkejut melihat tangan tuanya, vino, anak pemilik restoran itu berdarah dari kejauhan. Hana yakin itu karena dia menebas semua piring dengan sekali gerakan dan membuat piring-piring berisi makanan itu jatuh. Tapi ketika hana lihat matanya, matanya berkaca-kaca. Makin indah dan mempesona, benar-benar tampan dan menawan, tapi terlihat sangat terluka.
"Pak, tangan tuan vino berdarah." dia mendekati kepala pelayan untuk memberitahu.
"Iya saya mengerti. Tunggu tuan vino untuk meminta diobati, selama itu kalian boleh pergi. Biar saya yang mengawasi." kata kepala pelayan pada hana. Hana mengerti, walau khawatir. Terakhir kali ibunya meninggal karena pendarahan melahirkan hani, hana takut darah vino juga mungkin bisa habis dan meninggal.
"Jika tidak meminta tolong pastikan diobati, pak." kata hana pada kepala pelayan itu.
"Baiklah. Sekarang keluar atau kita akan dipecat." kata sang kepala pelayan.
Hana pun keluar dengan berat hati. Rasanya vino yang sedewasa dan setampan tadi berubah menjadi anak laki-laki yang sangat rapuh. Hana ingin sekali menenangkannya dan memeluknya. Mungkin sebuah ice cream untuk menghibur hati anak laki-laki yang sedih, atau mainan? Atau bermain bersama?
Semua pelayan diminta pulang lebih cepat. Ini sedikit menguntungkan untuk hana. Hana kembali ke ruang istirahat pelayan. Hani ternyata sudah tidur disana. Hana langsung membangunkannya setelah dia mengganti pakaian.
"Dek, bangun, pulang yuk. Tidur di rumah." kaya hana menggoyangkan beberapa kali tubuh sang adik tapi tidak juga bangun.
"Hani," hana membangunkannya lagi. Tapi hani tak juga bangun.
"Han, kita duluan ya."
"Adik lo ya."
Beberapa pelayan yang melihat sudah paham dengan situasi hana. Mereka juga ikut prihatin, tapi mengurus hidup mereka sendiri saja susah. Mereka kadang hanya bisa menyemangati hana ketika dia ada masalah, atau hanya sekedar menjadi pendengar yang baik untuk hana.
"Iya. Hati-hati."
Semua orang sudah pergi. Tinggal hana dan hani yang tak mau bangun sampai kepala pelayan akhirnya menemui hana. Dia sudah mencari pelayan yang lain untuk diberi perintah kerja mendadak. Tapi semua sudah pulang.
"Hana.." kepala pelayan membuka pintu ruangan pelayan dengan nafas yang putus-putus.
"Untung kamu masih disini. Tolongin saya. Kerjaan ini gaji dua kali lipat dari gaji kamu sebagai pelayan." kata sang kepala pelayan. Hana tentu tergiur. Tanpa memikirkan apa pekerjaannya, hana akhirnya ikut.
"Ituu.."
Hana ikut dengan kepala pelayan. Kepala pelayan itu kembali mengarahkan hana dan mengajak hana ke ruang utama restoran. Dimana vino tadi ngamuk disana.
"Kamu, tolong obatin pak vino." kata kepala pelayan yang sudah membawa kotak obat dan memberikannya pada hana.
Hana menatap vino yang sudah lebih tenang. Hana sebenarnya paling takut orang yang sedang emosi. Dia biasa melihat bapaknya marah-marah, emosi ketika mabuk. Tapi hana masih belum terbiasa. Hana masih suka takut walau dia harus memendamnya karena harus melindungi hani.
"Iya, pak." kata hana.
Hana membuka satu pintu kaca yang menghubungkan dapur dan ruang utama restoran. Hana meyakinkan diri, sama seperti hani, mungkin vino membutuhkan dia seperti itu.
"Anggap saja itu hani. Ya.." kata hana pada dirinya sendiri untuk mengurangi ketakutannya.
Hana perlahan mendekati vino yang tertunduk duduk dikursi didepan meja yang sudah berantakan.
"Tuan, boleh saya obati?" tanya hana dengan nada sangat lirih. Dia takut membuat vino makin marah.
"Hmmm.."
Hana hanya mendengat deheman vino. Hana rasa dia mendapat izin. Hana menarik kursi mendekati vino. Vino bahkan memutar kursi untuk berhadapan dengan hana. Dia menyerahkan tangannya untuk hana obati.
Hana mengambil air untuk membersihkan tangan vino penuh darah, lalu dia mengelapnya perlahan. Setelah itu hana mengobati beberaoa sayatan ditangan vino dengan sedikit alkohol. Vino tak suka obat merah. Walau rasanya perih, vino menahannya.
Vino ingat ketika dia dulu jatuh naik sepeda, ibunya mengobati dengan cara yang sama persis. Vino penasaran dengan wanita didepannya. Caranya sama persis dengan sang ibu, vino menahan tangan hana yang menyentuhnya. Vino suka sentuhan hana. Vino menarik hana dalam pelukannya. Bahkan bau parfum klasik dari tubuh hana sama persis dengan terakhir kali yang sering mamanya kenakan. Vino sangat nyaman memeluk hana. Hana hanya diam dipeluk vino.
"Beberapa jam saja." katanya berbisik pada hana.
Beberapa jam? Hana tak percaya apa vino memintanya diam dengan posisi yang sama, memeluknya dalam beberapa jam kedepan? Hana tak keberatan, dia suka memeluk laki-laki tampan didepannya. Terlebih orang yang sedang sedih dan terluka, persis seperti hani. Hani hanya butuh pelukan hana untuk menenangkan dirinya setelah menangis. Hani bilang dia sangat menyukai pelukan kakaknya, sangat nyaman.