Mengisi Waktu

1329 Words
"Wanita gila! b******k! Saya akan menuntutmu atas penganiayaan! Lihat saja nanti!" pekik Usman sambil memegangi wajahnya yang lebam separuh. Lelaki bertubuh gempal itu terlihat seperti gembel dengan beberapa robekan di kemeja. Diteriaki seperti itu tidak membuat Melia gentar. Dia mendengkus bak seekor banteng hendak menyeruduk. Matteo yang berdiri di antara mereka menatap manager HRD-nya dengan takjub. Melia menghajar Usman? "Pak! Anda harus mengambil tindakan! Kita tidak boleh membiarkan karyawan toxic seperti dia mempengaruhi seluruh perusahaan!" Usman memohon belas kasihan sang Presiden Direktur. "Heh! Saya sudah cukup sabar menghadapi orang seperti Anda ya! Tapi kesabaran ada batasnya! Anda melecehkan dengan kata-kata, saya balas dengan kata-kata! Anda melecehkan secara fisik, saya balas secara fisik pula! Apanya yang toxic?? Toxic itu kalau membiarkan pelaku pelecehan lolos begitu saja!" bentak Melia yang darahnya sudah naik sampai ubun-ubun. "Bagaimana melecehkan secara fisik? Kamu tidak bisa membedakan gestur pertemanan dengan pelecehan? Sudah saya bilang berkali-kali, hidup itu santai saja! Jangan karena hidupmu pahit lantas semua orang juga harus menjadi pahit!" cecar Usman tidak mau kalah. Tepat waktu Matteo menahan Melia yang hendak menerjang maju. Dilihatnya sepasang mata si sekretaris mulai memerah. Sebagai pimpinan dia harus mengambil langkah tegas. "Usman, kembali ke ruangan Anda. Melia juga. Kita bicara lagi setelah emosi mereda," ucap Matteo. Kedua tangan Melia terkepal di sisi tubuh, tapi dia menjawab dengan tegar—meskipun masih besar keinginannya untuk mengacak-acak wajah Usman menjadi bubur sumsum, "Ya, Pak." Usman merapikan kemejanya yang compang-camping dan berucap penuh makna, "Baik, Pak. Saya menantikan obyektivitas Anda." Matteo memperhatikan Usman pergi dikawal dua orang petugas keamanan yang tadi dia kirim ke ruang meeting. Suara langkah kaki membuatnya menoleh. Hatinya terenyuh melihat punggung wanita yang disukainya terlihat lesu berjalan ke ruang sekretaris. Dia pun mengikuti. "Mel." "Apa?" Suara Melia sedikit bergetar. Emosinya campur aduk karena ada secercah harapan bahwa Matteo akan langsung membelanya di depan Usman. "Are you okay?" Matteo memiliki keinginan untuk memeluk dan menghibur si wanita. "Saya baik." Sejenak Matteo memperhatikan Melia yang sudah berdiri di belakang meja. Selubung kesuraman malah membuat wanita itu terlihat menarik baginya. Menggugah insting kelelakian, ke-macho-annya untuk maju melindungi. "Apa yang akan kamu lakukan kalau Usman menuntutmu?" tanya Matteo penasaran. "Tidak tahu. Mungkin Anda bisa memberi solusi?" sinis Melia yang masih belum paham kenapa dirinya kecewa karena lelaki itu tidak membela. Matteo sedikit mengernyit, "Hei, kenapa aku juga jadi sasaran?" "Maaf, Pak." Hening sesaat ... "Dari mana kamu belajar berkelahi?" tanya Matteo lagi. Melia mengangkat wajah, "Serius nanya, Pak? Masalah yang satu belum selesai loh." "Kamu memberi pukulan yang bagus," puji Matteo. "Pantas untuk manusia seperti ...." Mata Melia membulat, "Anda melihatnya?? Ada kamera di ruang meeting??" "Yah, tidak semua kamera tersembunyi bersifat negatif, bukan?" "Uhm ... tapi aslinya saya tidak bar-bar loh, Pak ... Tadi karena saya ada dalam kondisi terpojok saja. Saya membela diri," kilah Melia. "Are you sure? Gerakanmu seperti terlatih?" "Pak, itu bukan inti permasalahannya, 'kan?" "Memang bukan. Aku hanya kagum melihatmu mampu menghadapi Usman." Gelisah, sembunyi-sembunyi Melia melirik jam tangan, "Meeting sudah dimulai loh, Pak." Matteo tersenyum, "Okay. Nanti siang kita lanjutkan ngobrol." Jantung Melia berdebar, "Kok perasaan saya tidak enak, ya? Ngobrol atau interogasi?" "Terserah kamu mau yang mana." Matteo berbalik untuk turun ke ruang meeting. Sesaat kemudian dia berhenti dan menoleh, "Mel? Come on." Si sekretaris berkeluh kesah, "Saya ikut?" "Sejak kapan kamu tidak ikut meeting?" "Sekali-sekali sih, Pak." Bosan tahu, lanjutnya dalam hati. "Not a chance. Aku tidak mau bosan sendirian." Matteo tersenyum jahat. Singkat kata meeting berlangsung lancar. Para wanita penghuni departemen Finance tidak banyak berseberangan pendapat dengan Presiden Direktur. Bahkan Utari, manager Finance yang terkenal judes pun menurut kepada Matteo. Ya iyalah, masa garang terhadap bos? Minta dipecat? Ketika meeting selesai Matteo mendahului semua orang keluar dari ruang meeting. Melia tinggal untuk beres-beres sejenak. Beberapa wanita saling lirik dengan senyum sinis. "Wah, Bu Melia, kok masih tinggal sih? Pak bos sudah pergi tuh," cetus seorang staf Finance bernama Novi. Melia hanya melirik sekilas, "Biasa, bagian merapikan." "Emm ... Bu, tahu tidak? Foto tadi pagi sudah ada di grup chat karyawan loh. Asli, mesra banget pakai tatap-tatapan. Jangan lupa undangannya ya?" timpal staf lain bernama Lidya. Setelah yakin tidak ada kertas atau pulpen yang tercecer Melia bersiap pergi. Tidak ada faedahnya mendengar lebih banyak omongan wanita-wanita penyebar gosip. "Sayang sekali. Padahal aku pikir Pak Matteo belum punya pacar. Kalau tidak aku 'kan bisa pedekate," kata Novi yang penasaran karena Melia bersikap cuek. "Kamu? Jangan harap, Nov. Lelaki seperti Pak Matteo pastinya lebih suka wanita yang berpengalaman. Begitu-begitu Melia pengalaman loh," ujar Utari, sang manager yang terkenal akan kepedasan mulutnya yang kadang-kadang mencapai level delapan. Lagi-lagi Melia hanya melirik. Kalau diladeni dia akan menghabiskan waktu untuk perkara yang sia-sia. Lagipula sebentar lagi dia harus bersiap pergi menjemput Kevin. "Uh, sombong sekali? Mentang-mentang dekat bos." "Kita lihat saja berapa lama dia bertahan jadi mainan si bos. Atau malah jadi mainan dua lelaki sekaligus?" Ucapan-ucapan tersebut masih terdengar oleh Melia yang sudah melangkah keluar dari ruang meeting. Betapa keki hatinya. Kalau bukan karena mengingat waktu, ingin sekali dia menghadapi wanita-wanita itu. "Sabar ... ingat Kevin ...," bisik Melia pada diri sendiri. Suara tawa dari ruang meeting terdengar sayup. Melia cepat berlari menaiki tangga ke lantai tiga puluh lima di mana dia berada di tempat aman. Dengan nafas terengah wanita itu duduk di belakang meja. Matteo tidak perlu melihatnya dalam keadaan resah. Cukup satu insiden dalam satu hari. Jam tangan menunjukkan pukul sebelas. Melia menata hati dan masuk ke ruangan Presiden Direktur. Tanpa banyak basa-basi dia meletakkan benda-benda milik Matteo yang tertinggal kemudian keluar. Tinggallah lelaki itu yang terheran-heran, karena biasanya Melia akan sedikit bawel seperti ibu tiri. "Tidak biasanya ... Apa masih terpikir urusan Usman?" gumamnya. "Hmm ... sepertinya aku perlu manager HRD baru." Sesaat kemudian Matteo menyadari kenyataan bahwa dia bersedia memecat Usman demi Melia. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. Otaknya menyuarakan sepenggal lirik lagu lawas ... inikah namanya cinta? Tunggu sebentar. Jangan terburu-buru bilang cinta. Siapa tahu baru sebatas menyukai, kagum, dan ingin memiliki? Tidak lama berselang sang Presiden Direktur dan sekretaris melaju pergi untuk menjemput Kevin. Matteo memperhatikan dari kaca spion. Wajah manis Melia masih terlihat datar, bagai air tenang yang kedalamannya menyembunyikan gelombang besar. "Kamu sariawan?" goda Matteo. Melia melirik dengan malas, "Mau ngobrol apa, Pak? Kan sudah setiap hari ketemu, ruangan juga bersebelahan." Lelaki itu tersenyum, "Seperti tinggal serumah, ya?" "Perbandingannya aneh." Demi melihat wajah Melia mengeruh, Matteo tidak berkomentar lebih lanjut padahal mulutnya gatal ingin menggoda si sekretaris. "Pak, itu lampunya sudah hijau." Melia mengingatkan. "Oh ya, untung ada kamu." Handphone Matteo berdenting. "Lihat pesan masuk dari siapa," titah si pemilik handphone. Melia langsung melakukannya, "Dari Usman." Matteo menahan senyum mendengar wanita itu tidak lagi menyebut 'Pak Usman'. "Dia minta bicara empat mata sore ini." Tanpa disebut pun Melia tahu manager HRD gempal itu hendak membicarakan dirinya. "Hmm ... ya." Melia melirik, "Mau dibalas apa, Pak?" "Memangnya aku pernah membalas pesan singkat orang lain selain kamu?" Jeda sesaat sebelum Melia menjawab, "Tidak sih." Jawaban tersebut membuat Matteo senang. Berarti Melia memperhatikan aktivitasnya di kantor. Mungkin wanita ini memang harus naik pangkat menjadi asisten pribadi? "Pak! Belok kiri, 'kan??" Seruan Melia membuyarkan lamunan Matteo. Ban mobil berdecit menggesek aspal karena pak sopir banting stir dadakan layaknya pembalap di sirkuit. Setelah mobil kembali stabil Matteo tertawa melihat Melia bergelayut di pintu seperti kungkang. "Lihat jalan, Pak! Bukan lihat saya!" Keki, Melia cepat-cepat duduk di posisi semula. "Kamu lebih menarik daripada jalanan," ujar Matteo tanpa maksud apa pun. "Nanti saya sidang bersama Usman yah, Pak??" "Hei, masa aku disamakan dengannya? Jelas jauh berbeda, Mel. Dia tipe lelaki yang tidak setia." Melia menunggu, tapi Matteo tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu melirik, "Raut wajahmu mengatakan bahwa kamu penasaran." "Tidak." "Come on, Mel. Kita sudah melalui waktu dua tahun, aku cukup mengenalmu." "Pak, apa tujuan pembicaraan ini?" Melia menekan pelipis dengan ujung jari. "Mengisi waktu dalam perjalanan. Memangnya menurutmu apa?" Matteo tersenyum miring. Wanita berambut coklat itu menghela nafas, "Saya tidak memikirkannya. Persepsi saya, ini adalah percakapan antara bos dan karyawan. Astaga, hati-hati, Pak! Banyak anak-anak!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD