Seperti kebiasaannya sebagai sekretaris, Melia membuatkan dua cangkir teh hangat manis untuk Matteo dan dirinya. Namun, begitu cangkir menyentuh meja Matteo menatap aneh.
"Kopi, Mel," ucapnya datar.
"Sudah minum obatnya?" balas Melia.
Matteo tersenyum miring, "See? Kamu lebih cocok jadi asisten pribadiku."
"Pak, serius. Kalau tidak minum obat lambung saya tidak buatkan kopi," ancam Melia.
"Oke, oke. Hmm ... di mana kusimpan obat itu?" Matteo mencari-cari di laci.
Gemas melihat hal tersebut Melia berinisiatif membantu mencari. Tanpa disadari dengan jarak sedemikian dekat Matteo leluasa mengamatinya.
"Ini, Pak. Kok bisa tidak ketemu? Padahal Anda mencari di laci ini terlebih dulu." Melia menyodorkan satu strip obat ke wajah Matteo.
"Kamu lebih teliti dariku."
Melia kembali ke seberang meja, "Thank you."
"You're welcome." Sambil tersenyum Matteo memasukkan sebutir pil ke mulut, merasa geli karena untuk sepersekian detik pandangan si sekretaris terarah ke mulutnya.
"Saya ke depan dulu." Melia pamit sebelum kehilangan konsentrasi. Semalam dia sudah kurang tidur. Insiden drama korea di depan lift membuktikan bahwa otaknya sedang sedikit oleng. Dia tidak ingin insiden serupa terjadi lagi.
"Oke. Tolong susun ulang jadwal hari ini. Ingat? Kosongkan jam di mana kita menjemput Kevin."
Melia mengulum bibir, "Pak, nanti—"
"Melia. No argueing," potong Matteo dengan intonasi yang sulit dibantah.
"Ya, Pak." Melia menyerah karena tidak ingin menghabiskan energi pagi hari dengan berdebat.
Baru saja hendak berbalik dan pergi, pintu ruangan terbuka. Melia menghela nafas karena wajah yang muncul adalah Marco Wilson, kembaran si bos. Merasa tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi dua lelaki tampan bermata biru sekaligus, Melia bergegas melangkah.
"Hei, Cantik. Buru-buru sekali? Matt memberimu banyak pekerjaan?" sapa Marco.
Melia hanya tersenyum, menggelengkan kepala dan menghilang di balik pintu.
Sesaat suasana hening mencekam. Matteo tidak segan-segan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kemunculan Marco di depan Melia. Aura yang terpancar dari dirinya begitu dingin seperti Kutub Utara.
"Hey, Brother. Kau apakan Melia?" Marco duduk di depan meja.
"Ada urusan apa kemari?" tanya Matteo dengan tenang. Harapannya supaya Marco tidak mencium rencana menjemput Kevin.
"Sebagai pemegang saham mayoritas aku ingin melihat apakah uangku dipergunakan dengan baik. Siapa tahu bos perusahaan ini malah berleha-leha melupakan kewajibannya," sinis Marco.
"Sialan kau. Aku yang seharusnya bicara seperti itu. Apa kabarnya modalku di club milikmu??" balas Matteo.
"Club malam tidak akan pernah sepi pengunjung, Bro. Yang penting kau tahu bagaimana memanjakan mereka. Tinggal katakan saja apa yang kau butuhkan. Makanan? Minuman? Wanita? Atau lelaki?" Marco tersenyum lebar bak seorang marketing handal.
"Oh ya? Lalu kenapa banyak orang komplain?"
Marco mengangkat kedua tangan, "Kita tidak dapat menyenangkan semua orang. Lagipula yang komplain hanya sepuluh persen dari keseluruhan pengunjung yang puas. Dan ... kenapa kau menanyakan hal-hal receh seperti itu? Aku mencium pengalihan isu."
Matteo melempar segumpal kertas ke arah saudaranya, "Karena modalku belum juga kembali, b******k! Apakah uangku habis kau pakai untuk merayu wanita??"
"Kau iri karena aku merayu lebih banyak wanita, sedangkan fokusmu hanya pada Melia? Grow up, Bro! Jangan hanya fokus pada satu. Kau akan berakhir kecewa. Siapkan plan A, plan B, kalau perlu plan C!"
"Dan pada akhirnya semua plan-mu tetap gagal. Aku akan tertawa paling akhir," ucap Matteo tanpa ekspresi.
"Kuakui Melia memang menarik. Tapi, masa kau bisa sesetia itu padahal belum jadi apa-apanya? Apakah sudah terjadi sesuatu yang tidak kuketahui? Kau berhasil membawanya menikmati satu malam yang indah?" ejek Marco.
"Dia bukan wanita seperti itu."
Marco tersenyum lebar, "Papa dan mama pasti akan bahagia mendengarmu punya wanita kesukaan. Bukan tidak mungkin mereka akan langsung terbang kemari dan melamar Melia. Kau dapat satu paket, Brother. Ibu dan anak sekaligus."
Helaan nafas panjang keluar dari mulut Matteo, "Masih ada lagi?"
"Sebenarnya aku ingin tahu apakah dia memang sedingin itu terhadap lelaki. Biarkan aku—"
"Berani mendekatinya akan kucincang kau!"
"Bro, kau harus melakukan sesuatu dengan sikap posesif itu. Dia bahkan bukan siapa-siapamu," ejek Marco.
Matteo menatap tajam, "Kau akan mengerti setelah menemukan wanita yang tepat."
"Yeah, like ... never?" Marco tertawa. Lelaki itu kemudian berdiri, "Baiklah. Kurasa waktu yang kuhabiskan denganmu sudah terlalu banyak. Aku bisa melakukan hal lain yang lebih berguna di luar sana. See you, Brother."
"Go to hell."
Lagi-lagi Marco tertawa, "Mereka sudah menolakku."
Matteo mengikuti pergerakan saudaranya sampai menghilang di balik pintu. Lega karena suasana kembali tenang, pikirannya kini bisa fokus pada pekerjaan di depan mata. Tumpukan dokumen yang tertunggak sejak kemarin harus diselesaikan.
Sementara itu Marco yang baru saja menjejakkan kaki di luar tercengang melihat pemandangan di dalam ruang sekretaris. Tampak sebuah tangga lipat dengan sepasang kaki jenjang di pijakan teratas. Cepat-cepat dia menghampiri.
"Hei, apa yang kamu lakukan, Mel?" Marco mendongak. Dia sama sekali tidak memiliki maksud lain terhadap wanita yang memakai rok tersebut.
"Aaaaaahhh! Jangan lihat ke atas!" Melia sangat sadar siapa pun yang berdiri di bawah tangga dapat melihat tungkainya yang berada dalam bayangan rok.
"Oh, sorry." Marco segera menunduk.
Tanpa basa-basi Melia segera turun. Dengan tangkas dia melipat tangga dan menyimpannya di gudang kecil dekat toilet. Marco menunggu sambil geleng-geleng kepala.
"Ada perlu apa, Pak?" tanya Melia setelah semuanya beres.
"Apa yang kamu cari di atas?"
"Uhm ... a–aku melihat sepertinya ada sarang laba-laba," elak Melia. Tidak mungkin dia mengatakan sedang memeriksa apakah masih ada kamera tersembunyi.
"Okay. I see. Maybe you need pest control?" Marco mendongak.
"Ya, mungkin. Nanti saya lapor Pak Matteo." Melia tidak duduk di belakang meja karena Marco juga tidak duduk.
"Pastikan dia membersihkan setiap sudut tempat ini. Jangan sampai sekretarisnya yang cantik harus memanjat tangga lagi." Marco tersenyum menggoda.
"Saya juga akan lapor bahwa Anda menggoda saya," ucap Melia serius.
"Oh, come on. Why so serious, Mel? Kamu dan Matt terlalu serius menghadapi hidup."
Melia mengernyit. Dia tidak ingin mengomeli saudara bosnya, tapi kalau terpaksa apa boleh buat?
"Lupakan saja. Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku ingin bisa mengobrol denganmu tanpa interupsi—"
"Marco Wilson!"
Si pemilik nama hanya mengangkat bahu.
"Pulang kau! Jangan ganggu sekretarisku!" Matteo berjalan ke ruang sekretaris seperti banteng marah.
Seringai jahil menghiasi wajah Marco saat dia bicara pada Melia, "Kamu merasa dejavu? Beberapa hari lalu dia juga mengusirku pergi, 'kan?"
"Tepat sekali. Dan aku akan terus melakukannya terhadap semua orang yang mengganggu pekerjaan di gedung ini," cetus Matteo sambil berusaha menempatkan diri di antara Melia dan Marco.
"Pak, kaki saya," gerutu wanita itu yang kakinya terinjak.
"Sorry."
Dering telepon membuat perdebatan kecil tersebut bubar. Marco menggunakan kesempatan untuk pergi sebelum benar-benar diseret oleh Matteo.
"Ya?" Melia menjawab telepon.
Matteo menunggu penasaran.
"Iya, sebentar lagi saya turun. Meeting baru mulai jam sembilan, 'kan? Saya masih bersama Pak Matteo," kata Melia sedikit tidak senang.
"Tenang saja. Pak Matteo akan ikut meeting." Melia melirik si bos yang sedang asyik memperhatikan dirinya.
"Saya? Apa hubungannya?"
Merasa percakapan tersebut mengarah ke luar pekerjaan, Matteo memberi kode supaya Melia menyudahinya.
"Sudah ya. Saya dipanggil bos." Kemudian tanpa basa-basi Melia menekan tombol mengakhiri percakapan.
"Siapa tadi?" tanya Matteo.
"Anak Finance. Nanti 'kan meeting dengan mereka, Pak?"
"Iya, aku ingat. Kamu mau ikut meeting?"
"Tidak mau ah. Lebih baik saya cari kamera tersembunyi."
"Hei, ruanganmu sudah bersih, Mel. Kamu tidak percaya?"
Melia hanya tersenyum tanpa kata.
"Sebenarnya kamu lebih paranoid dariku. Yah, sudahlah. Ingatkan aku kalau meeting sudah dimulai. Oke?"
"Oke, Pak."
Matteo pun kembali ke ruangannya, lebih tenang karena Marco sudah pergi. Dia tidak perlu setiap saat mengintip-intip CCTV.
Sepeninggal si bos Melia menghela nafas panjang. Masih ada yang harus dilakukan sebelum meeting bersama Presiden Direktur dimulai, yaitu mempersiapkan ruangan, memastikan tidak ada malfungsi semacam proyektor yang tidak berfungsi atau AC tidak dingin.
Ruang meeting di lantai tiga puluh empat hanya digunakan jika Matteo ikut serta. Jika tidak, manager dan karyawan akan menggunakan ruang meeting biasa di lantai dua puluh. Melia turun menggunakan tangga darurat demi penghematan energi.
"Hai, Bu Melia," sapa Lucky, si karyawan General Affair yang biasa membantu menyiapkan peralatan elektronik.
"Hai. Gimana? Beres semua?" Melia mengernyit melihat Usman juga ada di sana.
"Beres dong, Bu. Siapa dulu yang kerja." Lucky memamerkan senyum lebar seperti model iklan pasta gigi.
Melia memperhatikan meja berbentuk oval di tengah ruangan. Air mineral dan makanan kecil sudah tersedia. Semua orang tahu peran masing-masing. Tidak ada yang mau mendapat teguran dari Presiden Direktur, atau minimal sekretarisnya.
Keheningan terusik oleh dehaman Usman.
"Oh ya, saya ambil baterai cadangan dulu. Jangan sampai remote kehabisan daya di tengah meeting." Lucky meninggalkan ruang meeting.
Sebenarnya Melia juga bermaksud pergi, tapi entah bagaimana caranya Usman sudah berdiri di antara dirinya dan pintu keluar. Melia langsung waspada. Lantai tiga puluh empat adalah lantai kosong. Tidak akan ada yang tahu jika terjadi sesuatu di sini.
"Permisi, saya mau keluar," tegas Melia.
"Kenapa buru-buru, Mel? Kamu takut berduaan dengan saya?" Usman tersenyum licik.
"Pak Matteo menunggu laporan saya." Melia berusaha melangkah menyamping.
"By the way, benar apa kata orang-orang?" Lelaki gempal itu bergeser menghalangi.
"Tidak tahu."
"Kamu dan Pak Matteo punya hubungan khusus, 'kan? Kamu bukan sekretaris biasa, Melia." Usman mendekat.
"Apa maksud Anda?" Melia menatap tajam. Dia bisa menebak bahwa gosip tentang dirinya sudah menyebar kemana-mana.
"Semua orang sudah tahu, Sayang. Kamu bukan perempuan suci. Berapa untuk semalam bersamamu?" Usman menyentuh lengan Melia.