Play Victim

1624 Words
"Om, tahu mainan lego? Temanku punya banyak set lengkapnya tuh," cetus Kevin yang sedang asyik menguliti ayam goreng crispy. Anak kecil berusia enam tahun itu memang sangat menggemari kulit ayam. "Tahu dong. Kamu mau lego?" Spontan Matteo menyahut. Tanpa jeda Melia menendang kaki si bos di bawah meja seraya melontarkan tatapan mengancam. "Ouch! Why, Mel?" Matteo mengernyit heran. "Si Budi suka sekali bawa legonya ke sekolah. Tapi nggak semua teman boleh main sama dia. Dia memang suka pilih-pilih teman. Me, nye, bal, kan." Kevin terus bercerita. "Kamu bisa main sama teman yang lain, 'kan?" ujar Melia. "Iya sih. Tapi aku nggak suka sama Budi. Sombong banget, Ma. Dia juga yang sering bilang aku nggak punya papa." Melia melirik Matteo, berharap agar bosnya tidak serta-merta mengajukan diri ... "Tapi aku perhatikan mereka nggak ada yang dijemput pakai mobil sekeren mobil Om." Kevin menyeringai. Kalau tidak ingat anaknya baru berusia enam tahun, ingin rasanya Melia menendang kaki Kevin seperti yang dilakukannya terhadap Matteo. Bukankah perkataan itu hanya akan menambah harapan Matteo? Belum lagi mendongkrak ego lelaki itu. "Mulai sekarang Om jemput kamu setiap hari, oke? Dia pasti tidak akan ngomong macam-macam lagi." Matteo tersenyum bangga karena bisa menjadi hal baik di mata Kevin. Melia menekan pelipis. Kevin mengejapkan mata, "Tapi Om bukan papaku." Matteo tersedak. "Iya, Om Matteo bukan papamu, makanya kamu nggak boleh minta macam-macam sama dia. Bilang sama si Budi, kalau masih suka mengejek nanti Mama laporin ke bu guru," tegas Melia. "Tidak apa-apa, Mel. Kalau untuk Kevin aku tidak keberatan." Kevin menatap sang ibu penuh harap, "Tuh, Ma. Om-nya bilang nggak apa-apa." Melia berusaha menendang kaki Matteo, tapi lelaki itu berhasil menghindarinya. Dia sebal melihat Matteo tersenyum penuh kemenangan. Singkat kata mereka bertiga selesai makan siang dan mengantar Kevin pulang. Anak kecil itu senang sekali berlari masuk ke rumah dengan sekotak besar mainan. Mendadak Melia menepuk jidat. Dia baru teringat kalau tidak ada orang di rumah. "Pak, saya ijin setengah hari ya? Saya lupa tidak ada yang menjaga Kevin hari ini." Melia meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matteo berpikir sejenak, "Ajak Kevin ke kantor. Kalau bosan dia bisa istirahat di ruanganku." Melia mengernyit. "Kamu tidak ingat sore ini kita akan bicara dengan Usman? Kamu tidak boleh tidak hadir." "Ah, iya ya. Saya lupa." Melia menghela nafas dan bertanya pada putranya, "Kev, mau ikut ke kantor Mama? Oma opa belum pulang, nggak ada yang jaga kamu." Sejenak mainan lego yang sudah terserak di meja pendek terlupakan. Kevin mengejapkan mata, "Kantor Om juga, 'kan? Mau!" "Jangan pikir di kantor bisa main seperti di rumah ya? Sekalian bawa buku-buku kamu. Ada PR nggak?" Anak kecil itu berpikir, "Ada. Satu." "Oke. Nanti bikin PR di kantor Mama. Ingat, nggak boleh ganggu Om Matteo kerja. Ya?" Melia mewanti-wanti dengan tegas. "Iyaaa. Aku boleh bawa lego?" "Bawa saja biar kamu tidak bosan." Matteo menjawab mendahului Melia. "Saya tidak tanggung jawab kalau kantor jadi berantakan ya?" "Tidak apa-apa. Mama bisa membereskannya." Matteo tersenyum jahat. "Pak!" Akhirnya Kevin bersama buku dan mainannya ikut bersama ke Wilson Group. Anak kecil itu tidak hentinya terkagum melihat interior gedung yang modern minimalis. Dengan senang hati Matteo menggandeng Kevin, sementara Melia was-was melihat karyawan yang kebetulan ada di lobby memperhatikan mereka. Naluri keibuan membuatnya menantang tatapan semua orang. Ketika mereka bertiga berada di dalam lift barulah Melia merasa sedikit santai. Sadar Matteo memperhatikan dari pantulan pintu lift yang sejernih cermin Melia menjaga kepalanya tetap tegak. Dia tidak terlalu suka terlihat lemah di hadapan lelaki itu. "Kevin mainnya di sini, oke? Ingat. Nggak boleh masuk ke ruangan si Om. Nanti Mama disuruh nyapu ngepel lagi." Melia menggelar karpet bulu berukuran sedang di belakang mejanya. Anak kecil itu menatap pintu ruangan Presiden Direktur, kemudian menatap Matteo, "Memangnya di dalam ruangan Om ada apa?" "Kamu mau lihat?" "Tidak usah, Pak." "Boleh, Ma?" "No." "Tidak apa-apa, Mel. Cuma lihat saja, 'kan?" Melia menekan pangkal hidung, "Saya tidak tanggung jawab kalau terjadi kekacauan." "Tinggal panggil orang untuk membereskan." Matteo tersenyum miring. Segera saja Kevin menjelajahi ruangan besar Matteo. Dia tampak takjub melihat ada layar televisi besar yang tersembunyi di dinding, jendela berukuran raksasa dengan pemandangan tak terbatas, rak kaca penuh botol-botol minuman beralkohol, sofa yang besar dan empuk, juga ruang istirahat rahasia. Melia mengamati dari jarak aman agar Kevin tidak membuat berantakan. "Kalau capek kamu bisa tidur di sini. Ada televisi juga," kata Matteo. "Dia bisa istirahat di ruangan saya, Pak." Melia mencegah Kevin naik ke tempat tidur. Matteo menoleh, "Di lantai? Kamu tega sekali?" Kevin menyeringai mendengar perdebatan tersebut. "Karena saya tidak mau Kevin mengganggu Anda bekerja." "Aku nggak akan mengganggu kok, Ma." Melia memicingkan mata. Seolah-olah kedua bocah ini bersekongkol menghadapinya. Namun, kemudian dia berpikir tidak ada salahnya membiarkan Matteo yang keras kepala merasakan beberapa jam bersama anak kecil. Siapa tahu dengan demikian dia akan menyerah melakukan pendekatan. "Kalau sampai bikin berantakan Mama suruh kamu nyapu ya." Kevin menatap Matteo. "Suruh saja OB untuk membereskan," bela Matteo. "Ya sudah. Saya ke depan dulu, Pak. Siapa tahu ada yang menelepon." "Oke. Silakan." Meskipun sedikit tidak rela meninggalkan Kevin bersama Matteo, tapi Melia memaksa diri untuk meninggalkan ruangan. Dalam hati dia berdoa semoga Kevin tidak melakukan hal aneh. Sepeninggal Melia, kedua lelaki berbeda usia itu saling pandang, menampakkan wajah asli masing-masing. Kevin berdiri tegak dengan kedua lengan tersilang di d**a, "Jadi, Om mau buat perjanjian apa?" "Perjanjian yang menguntungkan kita berdua. Om bisa dekat mamamu, dan kamu boleh minta apa pun yang kamu mau." Matteo bicara tanpa banyak ekspresi seperti yang dilakukannya terhadap lawan bisnis. "Om yakin bisa memenuhi permintaanku?" Kevin tersenyum licik. "Katakan saja." "Tapi meskipun bisa memenuhi, aku tidak jamin mama akan jadi dekat dengan Om." "Aku mengerti. Lebih baik berusaha daripada tidak sama sekali." Matteo heran kenapa anak kecil ini bisa begitu pintar. Jeda sesaat sebelum Kevin bicara lagi, "Jangan lupa, aku juga belum 'say yes' terhadap Om. Apa pun hasil akhirnya Om dengan mama, Om nggak boleh meminta ganti rugi." Matteo mengangkat alis, "Kamu yakin baru berumur enam tahun?" Kevin menyeringai, "Enam tahun tujuh bulan." Sementara itu Melia mulai gelisah di ruangannya. Dia setengah mati ingin tahu apa yang terjadi dalam ruangan Matteo, tapi gengsi dong kalau masuk tanpa alasan. Melia pun mencari-cari sesuatu di meja. Senyumnya terkembang saat menemukan formulir pengadaan barang yang sejak bulan lalu belum disetujui Matteo ... Berbekal tiga lembar formulir tersebut Melia pun masuk ke ruangan Presiden Direktur. Dia melihat Matteo dan Kevin duduk berseberangan di meja, menghadapi sebuah ... papan catur? Sejak kapan putranya bisa bermain catur? Begitu Melia mendekat kedua lelaki itu mengangkat wajah. "Yes, Mel?" "Uhm ... ini ada permintaan air purifier dari General Affair, Pak." Melia menyodorkan formulir tersebut. Matteo membiarkan formulir itu menggantung di udara, "Bukankah seharusnya diberikan ke Finance?" "Tapi keputusan akhir 'kan Anda, karena akan dipasang di seluruh gedung." "Ha ha. Skak mat." Kevin menyeringai. Matteo menatap tidak percaya, "What? See, Mel? Orang yang sedang bermain catur tidak boleh diinterupsi. Aku jadi tidak melihat langkah itu. Pintar sekali." Melia memutar bola mata, "Ya lah. Sorry, Pak." Kevin mengacungkan jempol kepada Melia seolah mereka berdua bekerja sama mengalahkan Matteo. "Beri tahu Usman pertemuan kita majukan menjadi jam tiga. Setelah itu kita pergi. Aku berhutang tablet untuk Kevin," kata Matteo. "Hah? Tablet apa??" Melia melotot. Lelaki bermata biru itu duduk bersandar, "Karena Kevin mengalahkanku dalam permainan catur." "Kevin??" "Om Matteo bilang aku boleh minta apa saja kok." "Pak?? Tidak perlu dipenuhi! Kevin tidak memakai tablet untuk sekolah!" "Janji adalah hutang. Apa jadinya kredibilitasku kalau janji kecil saja tidak mampu kupenuhi?" "Tapi—" "Sudah, sekarang kamu beri tahu Usman. Kita bertiga bicara di sini saja agar tidak banyak orang yang menguping. Oke?" titah Matteo. Melia menarik nafas dalam-dalam dan menjawab, "Oke. Tapi ini ditandatangani dulu dong? Sudah satu bulan loh, Pak." "Simpan dulu. Itu bukan prioritas." "Ya, Pak." Satu jam kemudian suasana mencekam bergelayut di antara tiga orang yang berada dalam ruangan Presiden Direktur. Matteo duduk di belakang meja dengan Melia dan Usman duduk di hadapannya. Manager HRD itu sudah mengganti kemejanya yang robek. Sebelumnya Melia sudah berpesan agar Kevin tidak keluar dari ruang istirahat. "Anda berkata ada yang ingin dibicarakan. Silakan," kata Matteo. "Yah, saya berpikir bisa bicara empat mata." Usman melirik si sekretaris yang sejak awal memasang wajah datar, "Tapi seperti ini juga bagus." Matteo melirik Melia, berharap sekretarisnya tidak emosi sampai berkelahi lagi. Atau, dia berharap sebaliknya, ya? "Pertama-tama, mengenai masalah penyerangan yang dilakukan Melia terhadap saya. Saya tidak tahu apa alasan dari sikap tersebut, yang pasti tidak ada perbuatan tanpa konsekuensi." Usman mulai bertutur. "Seseorang tidak mungkin melakukan tindakan tanpa alasan," ujar Matteo. "Apa pun itu, tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan sama sekali. Saya menyarankan agar Melia diberi sanksi, minimal surat peringatan ketiga," balas Usman yang jelas-jelas tidak mau membiarkan Melia lolos. "Maaf, saya boleh bicara?" sela Melia. "Silakan," ucap Matteo. "Bagaimana dengan sanksi bagi pelaku pelecehan?" Usman mendengkus, "Bagian mana yang kamu anggap pelecehan? Saya hanya memberikan gestur bersahabat, anggaplah sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Saya rasa karena luka masa lalu kamu jadi berprasangka terhadap semua lelaki. Bukan begitu, Bu Melia?" Saat ini Matteo mengagumi Melia yang tetap terlihat tenang, padahal kata-kata Usman cukup menusuk. "Kenapa Anda langsung emosi begitu, Pak? Apakah ada sesuatu yang ingin Anda sembunyikan?" Melia tersenyum. Usman tertawa, "Bu Melia hebat memainkan reverse psychology rupanya. Ini menjadi satu alasan lagi untuk memberi sanksi, yaitu sikap tidak mau menerima kesalahan." "Oh ya, kenapa saya merasa semua itu berbalik kepada Anda ya?" balas Melia. "Anda sedang play victim? Bukti fisik memperlihatkan bahwa saya adalah korban sesungguhnya. Lihat lebam di wajah saya? Tidak akan hilang untuk beberapa hari ke depan." "Rasa jijik saya juga tidak akan hilang untuk waktu lama," gumam Melia. Sebelum Usman bicara lagi Matteo mengangkat tangan. Suasana kembali hening. "Saya sudah melihat bukti tentang siapa yang benar bersalah, dan siapa yang play victim," ucap Matteo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD