Double Trouble
"Selamat pagi, Pak," sapa Melia pada seorang lelaki tinggi tampan—klise, tapi itulah kenyataan—yang berjalan melewati ruangannya.
Matteo Wilson, sang Presiden Direktur, hanya mengangguk sebagai jawaban. Melia bergegas mengikuti lelaki itu ke dalam ruangannya yang maha besar untuk menerima instruksi apa pun. Pagi-pagi sekali dia sudah merapikan meja besar Matteo, meletakkan dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani dan juga secangkir teh Inggris.
"Mel, mana kopi saya?" tanya Matteo sambil menatap cangkir porselen di atas meja yang berisi teh beraroma sedap.
"Pak, kemarin Anda minum kopi dan mengeluh seharian karena lambung tidak nyaman. Sebaiknya untuk sementara waktu Anda menghindari kopi," sahut Melia Chandra, wanita berambut coklat sepunggung yang telah menjadi sekretaris andalan Matteo selama dua tahun terakhir.
Lelaki berjas abu-abu tua itu menatap tajam, "Kamu tahu saya tidak bisa terjaga sampai siang tanpa kopi. Buatkan sekarang juga!"
Melia membalas tatapan bosnya dengan berani, "Tapi saya minta Anda minum obat maag dulu. Ini, saya sudah belikan di apotek."
Seperti menonton pertunjukan sulap, Matteo memperhatikan sekretarisnya mengeluarkan satu strip obat penurun asam lambung dari saku blazer dan menyodorkan kepadanya.
"Kamu yakin obat itu aman?" Matteo tidak begitu saja menerima saran orang lain, meskipun itu adalah sekretarisnya sendiri.
"Almarhum suami saya dulu juga minum obat ini. Manjur kok. Setelah minum beri jeda satu jam sebelum makan atau minum apa pun." Melia bersikeras.
Sedikit enggan Matteo menerima obat tersebut. Sambil merobek kemasannya dia berkata, "Saya minum. Sekarang buatkan kopi."
"Baik, Pak." Melia tersenyum samar.
Sepasang mata biru Matteo memandangi Melia yang berjalan ke arah pintu. Tangannya mengantar sebuah kapsul kecil ke mulut yang kemudian diteguk dengan segelas air. Dia selalu tergugah oleh ayunan pinggul Melia yang tetap terlihat menarik meskipun telah memiliki satu anak. Sayang sekali pemandangan indah itu berakhir dengan menghilangnya Melia di balik pintu.
Hal pertama yang dilakukan Matteo adalah menyalakan laptop untuk memeriksa pergerakan saham beberapa perusahaan miliknya yang bernaung di bawah nama Wilson Group. Seulas senyum menghiasi wajah tampan itu karena penampakan grafik yang stabil dan sebagian cenderung meningkat.
Tidak lama pintu ruangan kembali terbuka. Melia masuk dengan baki kecil berisi secangkir kopi. Hati-hati sekali dia meletakkan cangkir kopi di meja dan memindahkan cangkir teh ke baki.
"Silakan, Pak."
"Thank you," ucap Matteo tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
Melia pun beranjak pergi.
"Siang ini ikut saya keluar," titah Matteo.
Melia berbalik, "Makan siang sekaligus meeting?"
"Tidak. Hanya makan siang."
"Baik, Pak."
Matteo mengangkat wajah dan bertanya, "Jam berapa Kevin bubar sekolah? Mau ajak dia makan bersama?"
Melia tertegun, "Tidak usah, Pak. Nanti dia malah mengganggu."
"Oke. Terserah kamu."
"Saya permisi."
Matteo selalu senang memandangi sekretarisnya yang beranjak pergi. Dia mengagumi bentuk tubuh wanita itu yang ... Oh, tadi dia sudah menyebutkannya. Masih terlihat menarik meskipun telah memiliki satu anak.
Dua tahun lalu adalah pertama kalinya mereka bertemu. Saat itu Melia yang baru kehilangan sang suami kembali menjejakkan kaki di dunia kerja demi memenuhi kebutuhan putra semata wayangnya. Matteo terkesan dengan ketegasan dan kepandaian wanita berambut coklat itu, juga keseluruhan penampilannya yang anggun. Ada selubung kesedihan dalam diri Melia yang menggugah Matteo.
"Damn it. Jangan berulah, Junior," gumam Matteo sambil melirik ke bawah.
Rupanya memikirkan Melia membangkitkan sesuatu dalam diri lelaki itu. Cepat-cepat Matteo mengalihkan perhatiannya pada setumpuk dokumen yang ada di atas meja. Namun, lagi-lagi sosok cantik Melia melintas dalam pikirannya.
"Sial. Apa aku terkena guna-guna?" keluh Matteo.
Sementara itu Melia sudah membereskan secangkir teh yang ditolak Matteo. Cangkir porselen yang sudah dicuci bersih disimpan dalam bufet khusus. Sebelum kembali ke ruangan sekretaris, Melia mematut diri sejenak di cermin wastafel dalam toilet. Sepasang mata berbentuk almond menatap balik dari cermin. Bibirnya melengkung membentuk senyum menawan, memperlihatkan lesung pipi di kedua sudut bibir.
"Ayo, Melia. Kamu bisa melalui hari ini. Kamu kuat, kamu mandiri," bisiknya memotivasi diri sendiri.
Wanita itu meninggalkan pantry dan kembali duduk di belakang mejanya. Belum sedetik duduk seseorang mengetuk pintu yang terbuka. Melia mendongak, bertatapan dengan wajah tampan yang sangat familiar.
"Kamu sibuk?"
"Tidak. Ada apa, Pak?"
"Matt belum memberimu banyak pekerjaan, 'kan?"
"Ehm ... belum, tapi—"
"Ikut aku sebentar," ajak lelaki yang wajah dan perawakannya sangat mirip dengan Matteo. Istilahnya pinang dibelah kapak.
"Saya tidak bisa meninggalkan ruangan." Melia menolak halus.
"Sebentar saja. Aku mau memperlihatkan sesuatu."
"Marco Wilson! Jangan ganggu sekretarisku!" seru Matteo dari depan pintu ruangannya.
"Ah, mulai lah," keluh lelaki bernama Marco itu.
Sekuat tenaga Melia berusaha menahan tawa. Dua bersaudara kembar identik ini memang hobi bertengkar. Mungkin itulah yang namanya saudara, kalau dekat bertengkar, kalau jauh saling mencari.
"Kamu tidak tahu sekarang jam kerja manusia normal? Kembali ke apartemenmu sana! Kami punya pekerjaan!" Matteo mengusir saudara kembarnya tanpa perasaan.
"Hei, bilang saja kau cem—"
Matteo mendekap mulut Marco dan berucap, "Jangan bicara sembarangan, b******k! Kau hanya mengganggu di sini! Pergi sebelum aku menyuruh security melemparmu keluar!"
"Pak," panggil Melia.
"Ya?" Kedua lelaki itu menyahut berbarengan, kemudian saling tatap seperti hendak berkelahi.
"Uhm ... Pak Matteo," koreksi Melia.
Matteo mendorong Marco mundur dan merapikan jas, "Ada apa?"
"Jangan lupa meeting jam sembilan. Lima menit lagi," ucap Melia kalem.
"Oke. Thanks. Dan kau, sebaiknya segera pergi sebelum kulempar dari jendela." Matteo mengacungkan jari telunjuk pada saudaranya.
"Ya, ya, bla bla bla. Selalu ancaman yang sama. Kau tidak akan bisa melemparku sampai kapan pun, Matt," balas Marco.
"Sial. Ikut aku. Jangan ganggu Melia." Matteo menyeret Marco ke ruangannya.
Kepergian dua saudara kembar itu menciptakan ketenangan di ruangan Melia. Dia butuh ketenangan untuk dapat bekerja dengan baik. Namun tidak dipungkiri, sesekali melihat dua lelaki tampan bermata biru muncul di depan pintu menjadi penyegaran yang baik.
Melia mempunyai julukan pribadi untuk bos dan saudara kembarnya. Double Trouble. Cocok karena sifat keduanya sama-sama keras kepala, suka berdebat dan bertengkar tanpa alasan yang jelas.
"Ada urusan apa kemari?" ketus Matteo.
"Haha tidak jadi mengusirku?" ejek Marco.
"Bicara lagi ...." Matteo mengacungkan telunjuk.
"Memangnya tidak boleh mampir? Sepertinya aku masih salah satu pemegang saham mayoritas?" Marco duduk di kursi dan mengangkat kaki ke atas meja.
Tanpa perikemanusiaan Matteo menendang kaki saudaranya, "Kedatanganmu tidak lain untuk mengganggu Melia!"
"Ouch! Sial. Hei, setidaknya aku menunjukkan perhatian padanya! Tidak seperti kau yang dua tahun memendam perasaan! Mau berkelahi??" Marco bangkit berdiri.
"Sialan! Diam kau! Jangan sampai dia mendengarnya!" Matteo mendorong Marco kembali terduduk.
Lelaki itu tergelak, "Bukankah bagus? Dengan demikian aku membantumu mendapatkannya."
"Tidak seperti itu, Marc!" Matteo berjalan ke belakang meja.
"Lalu seperti apa?"
Matteo menatap tajam saudaranya—yang dia anggap sebagai salah satu manusia paling mengesalkan di muka bumi—dan berucap, "Dia baru dua tahun kehilangan suami. Kelihatannya dia belum siap membuka hati."
Marco mendengkus, "Omong kosong. Bukan 'baru', tapi 'sudah'. Sudah dua tahun, Matt! Kalau tidak bertanya mana kau tahu?"
"Pokoknya, jangan ganggu dia. Oke?? Atau kusuruh papa mencoretmu dari daftar keluarga!" ancam Matteo.
"Sial. Beraninya menjual nama papa. Yah, begini saja. Sebagai saudara dari satu sel telur selera kita sama. Aku juga menyukainya. Dan kalau kau tidak ingin mengambil langkah maju jangan salahkan aku mendekatinya terlebih dulu. Kau tahu 'kan jumlah mantan pacarku jauh lebih banyak darimu?" Marco menyeringai penuh arti.
Pernyataan tersebut membuat Matteo menggertakkan gigi. Ingin rasanya dia menendang lelaki di hadapannya keluar dari gedung ini. Tidak disangkal Matteo memang menyukai Melia, tapi seperti diketahui Marco juga seringkali tertarik pada wanita yang sama, dan saudara kembarnya ini suka sekali berebut dengannya.
Pintu ruangan terbuka. Melia menampakkan diri dengan senyum datar. Kedua lelaki itu sontak menatap penuh harap.
"Meetingnya sudah hampir mulai, Pak," kata Melia.
"Oke, thanks," sahut Matteo dan Marco berbarengan, kemudian keduanya saling menatap sengit.
Sebagai sekretaris yang baik Melia mengangguk dan menutup pintu kembali. Begitu aman barulah dia mendekap mulut menahan tawa.
"Aku meeting dulu. Kau, jangan ganggu Melia," cetus Matteo.
Marco mengangkat dua tangan, "Hei, fokus. Presiden Direktur seperti apa kau, mau meeting saja masih bisa mengancam orang?"
"Presiden Direktur yang lebih baik darimu!" Matteo meninggalkan saudaranya sendiri di dalam ruangan.
Melihat Melia yang sedang sibuk merapikan surat-surat, tercetus sebuah gagasan dalam otak Matteo. Dia menghampiri meja sekretarisnya dan berdeham untuk menarik perhatian.
"Ya, Pak?"
"Bawa tablet. Kamu ikut meeting," titah Matteo—yang ajakannya tidak bukan terdorong oleh keinginan untuk mencegah Marco mendekati Melia.
"Uhm ... tapi, ini meeting dengan human resource?" Melia tertegun.
"Iya. Ada masalah?"
"Tidak sih. Cuma, nanti saya jadi tahu rahasia perusahaan dong?"
"Memangnya masih ada masalah perusahaan yang kamu tidak tahu? Ayo, meeting sudah dimulai, 'kan?" Matteo berjalan mendahului.
Sambil menggerutu dalam hati Melia mengambil tablet dan berlari kecil mengikuti Matteo. Berdua mereka berdiri bersebelahan di depan lift. Diam-diam lelaki itu membayangkan apa rasanya kalau mereka bergandengan tangan.
"Pak? Liftnya sudah sampai." Melia melambaikan tangan di depan wajah bosnya.
"Oh, ya. Oke." Cepat-cepat Matteo masuk ke dalam lift, disusul oleh Melia.
Hening mencekam.
Mendadak terdengar suara perut berbunyi. Mata Melia membulat. Dia menatap Matteo melalui pantulan pintu lift yang sejernih cermin.
"Ada masalah?" tanya Matteo yang sudah kebal terhadap rasa malu.
"Pak, sehabis minum obat maag belum isi perut ya? Sudah setengah jam sih," tanya Melia.
"Belum."
Wanita itu menghela nafas, "Kalau begitu saya belikan makanan di kantin. Anda langsung ke ruang meeting saja, nanti saya menyusul."
Matteo tersentuh oleh perhatian kecil tersebut sehingga dia berucap, "Kita pergi bersama."
Melia mengejapkan mata, "Tapi, nanti kantin heboh, Pak. Seumur-umur belum pernah Presiden Direktur turun ke kantin."
"Memangnya tidak boleh? Ada peraturan yang melarang saya untuk ke kantin perusahaan?" tanya Matteo.
"Tidak sih."
"Berarti tidak ada masalah, 'kan?"
"Tidak, Pak."
"Bagus. Kita biarkan saja orang-orang itu menunggu sebentar." Kemudian entah apa yang merasukinya, Matteo berkata, "Kamu jauh lebih penting dari mereka."
Melia melotot kaget, "Hah?"