Will You Be

1523 Words
"Mama pulang!" Meskipun lelah, tapi teriak kegirangan Kevin sang buah hati senantiasa membuat Melia tersenyum. Dia mengembangkan kedua lengan dan menyambut putranya dalam pelukan, "Hai, Kevin. You miss Mama?" "Miss you so much." Kevin membenamkan wajah di d**a sang ibunda. "Banyak PR tidak? Sudah makan?" Sambil bertanya Melia menuntun putranya kembali ke meja makan. "Ada. Nggak banyak. Aku tunggu Mama makan sama-sama." Anak lelaki berusia enam tahun itu tersenyum lebar. "Hmm ... Mama mandi dulu, oke? Kevin tunggu di sini, atau mau ke kamar oma?" "Aku ke oma." Kevin pun membawa buku tulis beserta pensil ke kamar lain. Sepeninggal putranya Melia berjalan ke kamar, meletakkan tas bawaan di meja, kemudian berdiri di depan cermin tinggi. Wajahnya terlihat lelah dan kusam, tapi tidak melenyapkan kecantikan alami yang diwarisi dari kedua orangtua. Jari-jari lentik Melia menarik lepas scrunchie merah yang mengikat ekor kuda rambut coklatnya. Helaian-helaian rambut tergerai lembut mencapai punggung. "You've made it, Melia. You are strong," bisiknya pada diri sendiri. "Peduli setan dengan omongan orang ... apalagi si b******k Usman." Helaan nafas terhembus dari sela bibir Melia kala teringat lagi pada kata-kata menjijikkan yang diucapkan Usman tadi siang. Seolah-olah janda sudah pasti selalu haus belaian lelaki! Siapa sih yang menciptakan stereotip tersebut?? Kalau ketemu orangnya akan dia tampar bolak-balik dan buang ke Laut Selatan biar jadi tawanan Nyi Loro Kidul! Lagi-lagi menghela nafas, Melia membuang jauh-jauh kekesalan tadi. Blazer hitam dilepas dan dibiarkan jatuh ke lantai. Rok pensil dan kamisol bermodel turtle neck segera menyusul. "Samuel ... ini semua gara-gara kamu meninggalkan aku begitu cepat ...." Tatapan Melia jatuh pada sebuah tato berbentuk hati dengan sepasang sayap yang terukir di tengah dadanya. "Seandainya aku punya mesin waktu, aku pasti akan mencegahmu lembur di hari sial itu ...." Jemari Melia mengusap tato seolah hendak menyapu bersih penyesalan yang masih terpendam dalam hati. Untuk ketiga kalinya wanita berambut coklat itu menghela nafas. Sebelum lanjut ber-mellow-ria Melia memutuskan untuk mengguyur kepala dengan air dingin agar segar menghadapi putranya yang masih butuh banyak perhatian. Ketenangan Melia kembali setelah lima belas menit berdiam di bawah aliran air dingin. Akibat buruknya adalah ujung-ujung jari yang membiru. Cepat-cepat Melia memakai pakaian santai—kaos longgar dan celana panjang katun—sebelum Kevin menggedor pintu kamar. Lebih cepat membantu putranya menyelesaikan PR, lebih cepat dia bisa mulai bekerja. "Hei, Kev. Mau makan atau bikin PR dulu?" Melia mengintip dari balik pintu kamar orangtuanya. "Makan dulu, Ma. Aku lapar." Kevin segera melompat turun dari tempat tidur. "Hati-hati, Kev. Jatuh kamu nanti," cetus Marta, ibunda Melia. Anak lelaki kecil itu hanya menyeringai. "Come on. Mama juga lapar. Eh, bilang apa sama Oma?" Melia merangkul putranya. Kevin menoleh dan berseru, "Thank you sudah temanin Kevin, Oma!" "Iya. Sama-sama, Sayang," sahut Marta. Melia melihat sekeliling kamar, "Papa belum pulang, Ma? Mau makan sama kami nggak?" "Mungkin sebentar lagi. Sudah, sana, kalian duluan." "Oke." Meskipun hanya berdua di meja makan, tapi suasana begitu ramai oleh celoteh Kevin yang tiada henti bertanya dan bercerita. Begitu serunya anak lelaki berusia enam tahun itu mengajak Melia masuk ke dunianya melalui perbendaharaan kata yang masih terbatas. Selesai makan dan mencuci piring Melia menghentikan celoteh Kevin agar anak itu dapat mengerjakan PR. Untungnya Kevin termasuk cepat belajar. Konsentrasinya dalam mengerjakan sesuatu juga baik sehingga PR-nya cepat selesai. "Finish!" seru Kevin. Melia memeriksa dan membubuhkan tanda tangan. "Mama." Kevin memasukkan pensil dan penghapus ke dalam kotak pensil. "Ya? Kenapa, Sayang?" Melia membereskan buku. "Papa seperti apa sih?" Pergerakan Melia melambat. Otaknya memutar ulang masa-masa indah yang dilalui bersama Samuel, mencoba merangkum semuanya dalam kata-kata yang bisa dimengerti Kevin. "Papamu sangat baik, sayang banget sama kita. Mama masih ingat waktu kamu masih bayi, timbul alergi di kulit karena gigitan nyamuk, larut malam pun papamu membawa kita ke rumah dokter anak untuk dapat penanganan darurat." Melia bercerita dengan senyuman di wajah. Kevin mendengar tanpa sepenuhnya memahami apa makna cerita tersebut. "Dia tidak pernah marah, sangat sabar, selalu mendahulukan kepentingan kita." Melia mengejapkan mata untuk mencegah air mata menggenang. "Oke," sahut Kevin yang memiliki sedikit sekali ingatan akan sang ayah. "Yah sudahlah. Sekarang waktunya bobo, biar besok bisa bangun pagi. Come on. Masuk kamar." "Mama, aku mau story big bad wolf ya?" Kevin melompat turun dari kursi. Melia meringis karena sudah satu minggu putranya bertahan dengan cerita anak-anak tersebut. Namun, demi sang buah hati dia tidak keberatan mengulangi membacakan cerita yang sama. Tidak lama berselang Kevin pun pulas. Hati-hati sekali Melia beranjak pergi dari kamar dan menutup pintu. Dia menggeliat sampai tulang punggungnya berbunyi. Sekarang saatnya berkutat dengan pekerjaan sambilannya, yaitu menjadi penerjemah n****+ dan komik online dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Meskipun terdengar receh, tapi Melia menyukai pekerjaan ini. Menyusun kata-kata terjemahan agar enak dibaca adalah sebuah tantangan tersendiri. Baru saja menyalakan laptop terdengar denting merdu tanda ada pesan singkat masuk. Tanpa terburu-buru Melia memeriksa handphone. Matteo Wilson memiliki nada dering sendiri. 'Mel, saya telepon sekarang?' Demikian isi pesan singkat dari Matteo. "Aduh, mau apa dia malam begini?" gumam Melia. Mau dibalas, ragu. Kalau tidak dibalas, salah juga. Selagi Melia berkutat dengan dua kehendak yang bertentangan panggilan dari Matteo masuk ke handphone. Dia pun berdeham sebelum menjawab ... "Malam, Pak." Terkejut dengan suara musik yang begitu kencang, Melia menjauhkan handphone dari telinga. "Mel?? Kamu dengar??" seru Matteo yang berusaha mengalahkan suara musik. "Iya, dengar." "Sebentar, saya keluar dulu!" Melia menunggu. Suara musik berangsur mereda. "Okay, that's better ... Mel, kamu ada waktu sebentar? Temani aku makan malam," pinta Matteo. "Hah? Tapi saya sudah siap istirahat." "Santai saja. Saya jemput sekarang." "Tapi Pak. Halo? Halo??" Matteo memutus percakapan sepihak. "Astaga. Kenapa lagi dia? Jemput sekarang? Kurang kerjaan banget sih? Alamat nggak tidur deh." Sambil menggerutu panjang lebar Melia mengganti pakaian tidurnya dengan blouse dan jeans. Yah, minimal masih pantas untuk masuk ke restoran. "Wah, tumben malam-malam rapi banget? Mau ke mana, Mel? Kencan ya?" tanya Marta yang sedang duduk di ruang tengah, menonton televisi bersama Yudha suaminya. "Bosku minta ditemani makan malam," sahut Melia cuek. Marta dan Yudha bertukar pandang. Melihat gestur orangtuanya Melia segera menambahkan, "Bukan kencan. Cuma menemani. Dia bosku, loh!" "Iya, tahu, Sayang." Yudha tersenyum penuh arti. Marta ikut tersenyum. Tidak ingin memperpanjang polemik Melia keluar ke teras untuk menunggu Matteo. Saat terangguk-angguk karena kantuk, Melia dibuat sadar kembali oleh bunyi klakson merdu sebuah sedan keluaran Eropa. Segera wanita itu berlari keluar pagar sebelum para tetangga yang belum tidur melongok kepo. Begitu masuk ke mobil dia disambut oleh aroma menyegarkan dari penyejuk udara. Citrus. "Hei, belum jam tidurmu, 'kan?" Matteo menyambut dengan senyum menawan yang selalu berhasil membuat semua wanita—kecuali Melia—tersipu malu. Lelaki itu terlihat tampan dengan kemeja hitam slim fit dan jeans. "Sebenarnya hampir sih, Pak. Tapi sebagai sekretaris yang baik saya wajib memberi support pada Bos." Melia memasang sabuk pengaman dan menambahkan, "Jangan lupa uang lembur." Matteo tertawa, "Tenang saja. Kapan aku pernah menelantarkan karyawan?" Melia melirik waspada terhadap perubahan kata ganti yang diucapkan Matteo dari formal menjadi lebih personal. Memang bukan sekali dua kali Bos menggunakan kata 'aku' di luar jam kantor, tapi Melia tidak ingin relasi mereka menjadi terlalu akrab. "Saya catat jamnya ya, Pak." "Silakan." Hening menyertai sisa perjalanan mereka ke sebuah restoran mewah di kawasan elit ibukota yang sering dikunjungi dua bersaudara Wilson. Matteo menyerahkan kunci mobil pada valet. Sengaja dia menunggu Melia agar dapat berjalan berdampingan masuk ke restoran. Waiter mengantar mereka ke meja Matteo di lantai dua. Karena sudah berkali-kali diajak menemani si Bos makan siang maupun makan malam, Melia tidak canggung untuk memesan terlebih dahulu. Alunan musik klasik kontemporer membuat suasana tidak terlalu hening mencekam. Matteo leluasa memandangi Melia yang asyik melihat handphone. Beberapa waktu kemudian waiter mengantarkan pesanan mereka. "Cuma itu?" Matteo mengernyit melihat segelas jus mangga di hadapan Melia. "Saya baru makan malam, Pak. Ini saja sudah bikin kenyang banget loh," cetusnya. "Pesankan sesuatu untuk Kevin." "Tidak usah. Dia sudah tidur," ujar wanita berambut coklat itu. Sepasang mata biru Matteo menatap heran, "Aku yang traktir." "Iya, tahu, Pak. Saya menolak bukan karena malu-malu. Kevin benaran sudah tidur." Melia meringis. "Orangtuamu?" "Uhm ... mereka juga sudah istirahat." "Oke." Lega karena Matteo mulai makan dan tidak ada pertanyaan lebih lanjut di ranah pribadi, Melia menyeruput jusnya. "Obat maag yang kamu beri tadi pagi sangat bagus. Lambungku aman sepanjang hari." Matteo menepikan piring yang sudah kosong. "Iya dong. Sudah terbukti." Melia mengulum senyum. "Aku tidak perlu khawatir salah makan atau minum." "Eh, tapi bukan berarti boleh mengkonsumsi apa saja, Pak. Sebaiknya hindari makanan yang bisa memicu peningkatan asam lambung, juga usahakan makan tepat waktu." "Makan tepat waktu ya?" gumam Matteo. "Iya, betul. Bukan makan karena perut lapar." Matteo tersenyum, "Will you help me?" Melia mengejapkan mata, "Maksudnya?" "Well, seperti yang kamu tahu, aku tinggal sendirian dan tidak punya siapa pun untuk mengingatkanku akan hal-hal tersebut." Jantung Melia mulai berdebar abnormal. Dia khawatir akan arah pembicaraan ini. "Will you be my reminder, Mel?" Pertanyaan biasa, tapi keluar dari mulut seorang lelaki tampan dengan nada lembut dan tatapan dalam seharusnya mampu membuat wanita—maupun lelaki—menggelepar seperti ikan kehabisan oksigen. Namun, Melia bukan ikan biasa. Wanita ini memiliki daya tahan lebih terhadap pesona seorang Matteo Wilson. "Besok saya buatkan iklan lowongan kerja untuk mencari asisten pribadi," jawab Melia lurus-lurus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD