Stereotip

1508 Words
Suasana hening mencekam. Siapa orang-orang di gedung ini yang tidak mengenal sosok Matteo Wilson? Begitu sang Presiden Direktur turun gunung ke kantin semua orang mendadak menjadi ramah dan tertib, dengan harapan menggugah hati Matteo dan memperoleh penghargaan berupa senyuman ramah atau uang tips dalam jumlah besar. Sayangnya Matteo—yang sedang menikmati sop kambing—tidak memperhatikan keadaan di sekeliling. Mata birunya sesekali memandangi Melia tanpa sepengetahuan wanita itu. Si sekretaris sedang sibuk berkomunikasi dengan peserta meeting lewat aplikasi chat perusahaan. Untung juga makanan Matteo tidak salah masuk ke hidung. "Pak Usman sudah mulai mempresentasikan perbaikan sumber daya manusia dengan sistem perekrutan baru, Pak." Melia membagikan informasi terkini. "Bagus," cetus Matteo. Matanya memperhatikan gerakan bibir Melia. Dia suka melihat sekretarisnya mengulum bibir. Curiga karena Matteo belum juga selesai makan, Melia mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu. Matteo tidak berusaha menghindar. Melia berdeham, "Pak, boleh dipercepat? Biasanya kalau makan tidak selama ini?" "Sabar, Mel. Kamu sedang dikejar apa? Makan itu harus dinikmati. Kamu mau saya tersedak? Kenapa sikap kamu semakin seperti istri atau ibu tiri?" Matteo pura-pura keki. "Tidak, Pak. Yah, silakan dinikmati. Saya beli minum juga deh." Melia pun beranjak ke kedai minuman. Matteo memperhatikan wanita itu, mengagumi bentuk tubuhnya yang sempurna. Sambil terus makan dia membayangkan seperti apa rasanya memeluk tubuh wanita bertipe jam pasir itu. Pinggang rampingnya pasti terasa nyaman di tangan. "Ugh, not again," gerutu Matteo pada sesuatu yang terbangkit. Selera makannya yang hanya sedikit kini menguap tak bersisa. Matteo mendorong piringnya ke tengah meja dan meneguk air mineral. "Loh, sudah, Pak? Itu sisa banyak?" Melia kembali dengan segelas jus mangga. "Perut saya kurang enak," jawab Matteo singkat. Melia menatap minumannya, "Mau naik sekarang?" "Habiskan dulu minumanmu. Saya juga harus menenangkan perut." Matteo mengambil tablet yang dibawa Melia dan memeriksa perkembangan meeting. Sepertinya semua berjalan lancar. "Siapa yang membuat notulen?" tanya Matteo. "Saya." Lelaki itu menatap Melia, "Kamu melakukannya dengan baik. Semua tersimpan otomatis di aplikasi ini." "Ada yang pernah bilang pada saya, 'work smart, not work hard'," kata Melia dengan senyum samar di wajah. "Siapa orang itu?" pancing Matteo. "Pak, dilarang narsis." Melia cepat tanggap. "Saya tidak narsis, Mel. Itu fakta. Dalam waktu dua tahun ini kamu sudah menjadi sekretaris yang terbaik. Saya beruntung mendapatkanmu." Matteo tersenyum bangga. "Bapak mengajari saya dengan baik." "Boleh dong saya bangga?" "Itu yang tadi saya sebut narsis." Matteo tersenyum geli. Kalau dipikirkan memang aneh. Dari sekian banyak wanita cantik bertebaran di sekitarnya, entah kenapa dia bisa tertarik dengan seorang wanita yang sudah memiliki anak. Apakah faktor usia membuatnya menginginkan wanita yang matang? "Pak, mau naik sekarang?" tanya Melia membuyarkan lamunan Matteo. "Tidak perlu. Kembali ke ruangan kita masing-masing." Melia tertegun. Baru kali ini bosnya bolos meeting. "Kalau kamu mau ikut meeting silakan. Saya tidak melarang," ucap Matteo karena melihat ekspresi sekretarisnya. "Tidak, Pak. Bos saya tidak ikut, masa saya ikut? Memangnya saya Presiden Direktur?" Melia tersenyum manis. Maka bos dan sekretarisnya pun kembali ke lantai tiga puluh lima. Melia memanfaatkan waktu yang sedikit longgar dengan memeriksa grup chat yang beranggotakan guru wali kelas, orang tua murid, dan kepala sekolah. Tidak ada yang menarik, hanya ada dua orang anak yang absen. Melia menghela nafas lega. Sebagai seorang sekretaris Melia terbiasa dengan kerapian. Mejanya selalu bersih, semua benda tertata rapi pada tempatnya. Sebuah sudut diperuntukkan bagi sebuah bingkai foto kecil yang memuat tiga orang, Samuel—almarhum suami, dirinya, dan Kevin. Kesibukan kerja tidak membuatnya lupa pada orang-orang tercinta. Waktu dua tahun yang berlalu telah menyembuhkan luka kehilangan, tapi tidak dapat menghapus kenangan indah. Samuel selalu memiliki tempat di hati Melia meskipun mereka telah terpisah dunia. Sangat disayangkan, karena dengan demikian dia menutup hati terhadap semua lelaki. Ya, benar. Saat ini Melia hanya fokus memikirkan Kevin, putra semata wayangnya yang baru berusia enam tahun. Anak lelaki yang kadang nakal dan pencemburu terhadap semua lelaki yang mendekati sang ibu. Dering telepon menginterupsi lamunan Melia. Lampu yang berkedip memberitahu bahwa telepon itu berasal dari ruangan Presiden Direktur. Sigap dia mengangkat gagang telepon. "Ya, Pak?" "Mel, tolong panggilkan Usman ke ruangan saya," titah Matteo. "Sekarang atau lima menit lagi?" "Sekarang." "Oke, Pak." Matteo memutus percakapan. Melia segera menelepon ke ekstension departemen HRD. Tidak menunggu lama, seseorang segera menerima panggilan tersebut ... "Halo, pagi." "Pagi, Steven. Tolong beri tahu Pak Usman, segera ke ruangan Pak Matteo," ucap Melia tanpa basa-basi. "Oh, baik, Bu. Akan saya sampaikan." "Thank you." Melia meletakkan gagang telepon dan menggeser pesawat telepon sedikit ke kiri, kemudian tersenyum puas. Dia paling tidak bisa melihat benda bergeser atau tidak seimbang meskipun hanya satu sentimeter. Ketidakseimbangan akan membuatnya gelisah. Tidak sampai lima menit Usman, si manager HRD tiba di lantai tiga puluh lima. Lelaki yang mendekati usia paruh baya itu tersenyum manis pada Melia. "Hai, Mel. Apa kabar? Kita satu kantor tapi jarang bertemu ya?" sapa Usman. "Iya, Pak. Pekerjaan kita tidak bersinggungan sih." Melia membalas seadanya. "Saya langsung ke dalam?" Usman menunjuk ke arah ruangan Matteo. "Iya. Langsung saja, Pak. Sudah ditunggu kok." "Oke. Kalau ada waktu kita ngobrol." Usman mengerling. Bulu kuduk Melia meremang seperti baru saja melihat penampakan jin. Dia paling tidak suka lelaki yang sudah berkeluarga masih bersikap genit terhadap wanita lain. Amit-amit jabang baby! "Duh ... Mimpi apa aku semalam," desisnya. Entah apa yang dibicarakan Matteo dengan Usman di dalam. Pertemuan empat mata itu memakan waktu cukup lama sampai hampir jam istirahat. Usman keluar dengan wajah tegang dan langsung berjalan ke ruangan Melia. "Beres, Pak?" Melia berbasa-basi. "Kita makan siang bersama yuk? Saya pingin ngobrol sama kamu." Usman berdiri dengan kedua tangan dalam saku celana seolah hal itu membuatnya terlihat keren. "Saya pass yah, Pak. Pak Bos minta ditemani." Seperti biasa Melia 'menjual' nama Matteo untuk menghindari lelaki-lelaki yang mendekatinya dan terbukti cukup efektif. "Oh, begitu. Kalau sama bos mau ya?" ejek Usman yang sudah terlalu sering mendapat penolakan. Melia mengernyit, "Maksudnya bagaimana, Pak? Kok saya dengarnya kurang nyaman ya?" Usman menoleh ke kanan-kiri kemudian mencondongkan tubuh ke depan, "Kalau saya jadi bos, kamu mau temani saya?" Melia mengernyit, "Mohon ditarik kembali kata-katanya, Pak. Saya dan Pak Matteo pergi bersama masih dalam lingkup pekerjaan, bukan main-main." "Halah, tidak usah bicara seperti itu. Kamu sudah berapa tahun tidak bersuami? Masa tidak mendambakan—" Melia berdiri dengan emosi sampai kursinya terdorong ke belakang. Matanya menatap marah, "Pak Usman! Saya tidak terima Anda bicara seperti itu! Meskipun status saya adalah janda, tidak serta-merta saya sembarangan mendekati lelaki!" Usman tersenyum, "Tidak perlu emosi begitu dong. Saya 'kan cuma menyebut fakta. Fakta bahwa kamu sudah tidak memiliki suami, dan fakta bahwa sebagian besar wanita yang telah kehilangan suami pasti memiliki kerinduan untuk kembali merasakan cinta." Perut Melia mual mendengar kata-kata sok bijak tersebut. Dia membalas sengit, "Anda orang berpendidikan tapi mulut Anda sangat ahli memproduksi sampah! Ingat anak istri di rumah, Pak! Jangan sampai saya tanpa sengaja mengirimkan rekaman Anda sedang mengatakan hal-hal seperti tadi pada istri Anda!" "Oh, kamu mengancam? Astaga, Melia. Kamu orangnya tidak bisa bercanda ya? Santai saja lah. Hidup jangan terlalu pahit. Ya sudah. Saya kembali dulu." Usman berlalu dengan senyum menyebalkan di wajahnya yang berbentuk bulat tidak simetris. Nafas Melia memburu karena emosi. Memang, bukan sekali dua kali dia mendengar omongan miring menyangkut statusnya sebagai janda. Lelaki-lelaki beranggapan bahwa janda adalah steretotip wanita yang haus belaian lelaki, sedangkan wanita-wanita beranggapan bahwa janda adalah wanita yang berbahaya bagi pasangan mereka. Melia paling malas menghadapi pemikiran seperti itu. Jangankan haus belaian lelaki, memikirkan lelaki untuk menggantikan posisi Samuel saja dia tidak sempat! Dikira janda tidak punya hal lain untuk dipikirkan?? "Kenapa hari ini menyebalkan sekali," gumamnya. Untuk mengalihkan pikiran, Melia mencari-cari kumpulan lagu di handphone. Sebentar saja lagu jazz romantis sudah berkumandang di ruangan sekretaris. Melia berselonjor di kursi dan memejamkan mata menikmati. "Mel?" Wanita itu terlompat kaget. Tahu-tahu Matteo sudah berdiri di depan mejanya. Melia segera menyambar handphone dan menghentikan musik. "Ya, Pak?" "Usman mengganggumu?" tanya Matteo. Melia berpikir cepat, "Saya tidak memikirkannya, Pak." Matteo menatap tajam, "Are you sure?" "Kapan sih saya tidak yakin?" Untuk memperkuat kata-katanya Melia tersenyum manis. "Kenapa tidak beri tahu saya? Sudah berapa kali dia mengganggumu seperti tadi?" Senyum Melia memudar, "Tidak ada, Pak." Matteo menghela nafas, "Lain kali segera beri tahu saya. Atau saya akan gunakan video rekaman yang ada untuk menjatuhkan sanksi padanya." Melia mengejapkan mata, "Video?" "Ya. Kamu tidak tahu? Kamera CCTV yang terlihat maupun tersembunyi di gedung ini merekam gambar dan suara." Entah kenapa Matteo merasa senang melihat wajah terkejut wanita berambut coklat itu. "Tapi, itu ... melanggar privasi. Ada berapa banyak yang tersembunyi??" "Yang disebut melanggar privasi adalah memasang kamera tersembunyi dalam toilet." "Pak! Serius!" "Saya serius. Kamu boleh periksa toilet. Tidak ada kamera tersembunyi di sana." Wajah Melia memucat karena itu berarti selama dua tahun Matteo bukan hanya melihat, tapi juga mendengar segala hal aneh yang terucap dalam ruangan ini. Wanita itu mengingat-ingat apa saja perbuatan konyol yang pernah dilakukannya. Beberapa slide lewat di kepala Melia ... Hal-hal yang memalukan seperti bersembunyi di bawah meja karena tidak ingin diajak meeting ... atau menyembunyikan snack di laci ... "Pak, saya boleh request?" tanya Melia dengan suara bergetar karena malu. "Ya. Apa?" "Tolong bersihkan ruangan saya dari segala bentuk kamera!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD