Pebisnis Ulung

1449 Words
Suara tawa Marco membahana di ruangan VIP di sebuah club malam kaum elit. Lelaki itu tertawa begitu keras sampai terbungkuk memegangi perut. Matteo meneguk minumannya sampai habis dan membanting gelas di meja. "b******k. Kenapa tertawa seperti orang gila?? Baut di otakmu longgar hah??" ketus Matteo yang keki setengah mati. "Brother! Tidak ada yang lebih lucu daripada mendengarmu diabaikan wanita!" "Not a big deal." Harga diri Matteo terinjak-injak. "Astaga, wanita lain mungkin sudah merangkak di kakimu! Tapi dia tidak!" Marco mengusap air mata yang keluar karena terlalu keras tertawa. "Sialan. Jangan samakan Melia dengan wanita lain. Dia berbeda," gerutu Matteo. "Berbeda dari segi apa? Huh?" "Dia tidak tertarik padaku." Sebersit kekecewaan melintas di wajah Matteo. Perkataan tersebut membuat Marco menatap penuh arti, "Brother, kau benar-benar jatuh cinta padanya?" Satu gelas minuman kembali ditenggak sebelum Matteo bicara, "Jatuh cinta, suka, ingin memiliki, apa bedanya?" "Kau tidak tahu? Jelas berbeda! Dasar kau, si b******k yang belum pernah jatuh cinta! Coba pikirkan ini, dari sekian banyak pacarmu berapa yang bisa kau bayangkan hidup bersama selamanya?" Matteo mengernyit, "Kau menyontek kalimat itu dari sinetron mana?" Tangan besar Marco menepuk bahu saudaranya kuat-kuat, "Dari pengalaman, Bro." "Singkirkan tanganmu!" "Wow, easy. Aku tidak mau berkelahi dengan orang yang sedang patah hati," ejek Marco. "Sialan." "Aku tahu apa yang kau butuhkan malam ini, Seorang wanita yang cantik dan seksi dengan servis luar biasa." Tanpa menunggu reaksi saudaranya Marco beranjak keluar dari ruangan. "Marco! b******k ... siapa yang butuh wanita?? Sial! Aku tidak seputus asa itu, b******k!" Matteo menenggak habis sisa minuman di gelas dan bergegas kabur. Dia tidak ingin ditemani wanita penghibur atau siapa pun yang digaet saudaranya. Berhasil melarikan diri ke mobil, lama Matteo duduk termenung di belakang kemudi. Memang benar kata Marco. Malam ini dia patah hati karena Melia—entah sengaja entah tidak—mengabaikan mentah-mentah undangannya. Kalau bukan karena ancaman Marco mau merebut Melia, dia tidak akan bicara seperti tadi terhadap wanita yang disukai. Tunggu dulu. Suka? Atau benaran jatuh cinta? "Marco sialan! Kau bermain dengan isi kepalaku!" Matteo memukul setir. Sebagai seorang most wanted bachelor, Matteo memang hampir tidak pernah mengejar wanita. Wanita-lah yang mengejarnya. Perilaku tersebut bertolak belakang dengan Marco yang lebih agresif. Maka tidak heran Matteo tidak pernah mempertahankan pacar-pacarnya lebih dari tiga bulan. Sesuatu yang terlalu mudah didapat mudah juga dilepas. Lalu, apakah dia playboy? Tidak juga. Matteo menyebut dirinya pebisnis ulung yang mengambil setiap penawaran bagus. Namun, si pebisnis ulung kini mulai mempertanyakan kejeliannya. Melia, satu-satunya wanita yang tidak pernah memberikan penawaran, si sekretaris yang muncul dalam keadaan diselimuti duka, wanita yang telah memiliki satu anak itu telah menjerat hati Matteo. "Sial ... Melia ... Wanita yang tidak dapat kusentuh," gerutu Matteo. Sejurus kemudian lelaki bermata biru itu menghela nafas panjang, "Apa yang harus kulakukan denganmu, Mel? Bagaimana lagi cara menarik hatimu?" Bayangan wanita berambut coklat itu memenuhi kepala Matteo. Dia memejamkan mata agar dapat membayangkan lebih jelas. Wajah cantik dengan sepasang lesung pipi, rambut yang selalu diikat ekor kuda, bentuk tubuh yang menggiurkan ... Reaksi alami yang terjadi pada tubuhnya membuat Matteo kesal. Dia menunduk dan memaki agar adik kecilnya mengendalikan diri. "Damn it. Sebaiknya aku pulang sebelum jadi gila." Belum lagi sempat menstarter mobil, jendelanya diketuk seseorang. Matteo melirik malas. Dilihatnya Marco berdiri bersama seorang wanita cantik berambut coklat. Bibir merahnya tersenyum mengundang untuk dicium, tapi Matteo tidak tertarik. "Hei! Turunkan jendela!" seru Marco tidak sabar. Marco mengacungkan jari tengah dan melaju pergi. Sementara di rumah orangtua Melia ... Suasana sangat sepi karena semua orang sudah tidur. Hanya lampu di kamar wanita itu yang masih menyala. Dia harus menyelesaikan kuota pekerjaannya sebelum tengah malam atau akan dianggap absen oleh editor. Ditemani secangkir teh hijau Melia menarikan jari-jari dengan tangkas di atas keyboard laptop. Matanya jeli membaca ulang setiap kalimat, mengganti kata-kata yang dirasa tidak akan nyaman di mata pembaca. Jika sudah rampung hasil terjemahan tinggal dikirim ke editor. "Cutting edge ...." Melia mengetikkan dua kata di mesin pencarian untuk mencari sinonim yang tepat. "Oke. Got it." "Siapa yang senang baca n****+ seperti ini sih? Terlalu banyak istilah teknis. Memusingkan," gerutunya. Tiba-tiba pikiran Melia melayang ke percakapan dengan Matteo beberapa jam sebelumnya. Apa permintaan bosnya tadi? Memintanya jadi reminder waktu makan? Cih! Memangnya dia jam weker? Sebagai wanita dirinya dapat menangkap maksud lain dalam kata-kata Matteo, tapi seperti biasa hatinya menolak semua kedekatan yang ditawarkan oleh lelaki. Saat ini Melia terlalu sibuk dengan satu anak, dua pekerjaan, dan kenangan yang belum dapat dilupakan. Tidak ada tempat bagi romansa. Lagipula, meskipun dia mau membuka hati, tidak akan ada waktu untuk pacaran atau bermain-main. Melia menghela nafas, "Benaran bikin iklan lowongan nggak ya? Kalau si bos punya asisten pribadi, pekerjaanku lebih ringan, 'kan?" "Argh! Malah mikir yang nggak-nggak! Kerja woi!" Untuk mengganti waktu dua menit yang terbuang karena memikirkan Matteo, Melia mempercepat ritme kerjanya. Suara ketukan jari-jari menari di atas keyboard terdengar seperti musik di heningnya malam. Meskipun sesekali sepasang mata biru Matteo masih mengintip dalam pikiran, Melia mampu mengabaikannya. Dering handphone membuat Melia terlompat kaget. Dari nada dering tersebut dia tahu Matteo yang menelepon. Sambil menggerutu panjang lebar dia mengambil handphone dari laci. "Malam, Pak?" Melia heran mendengar banyak suara di latar. "Mel, tolong ke penthouse dan ambilkan mobil! Jemput aku sekarang! Sebentar kukirim lokasinya! Oke? Jangan lama-lama!" seru Matteo berusaha mengalahkan suara berisik di sekitarnya. "Tapi, Pak—" "Sekarang oke??" "Tapi—" Belum lagi kalimatnya selesai, hubungan sudah terputus. Tinggallah Melia mencak-mencak keki karena harus melakukan perintah si bos. Namun, kalau tidak urgent Matteo tidak akan meminta tolong padanya di waktu selarut ini, sih. Untung jarak dari rumah ke gedung apartemen si bos tidak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan pikiran Melia menyusun beberapa skenario tentang apa yang kira-kira terjadi pada bosnya. Apakah kecelakaan? Menyetir sambil mabuk? Setiba di gedung apartemen mewah Melia langsung naik ke penthouse di lantai tiga puluh dan mengubek-ubek kamar Matteo untuk menemukan kunci mobil. Begitu dapat dia langsung lari ke basement. Mobil yang dikendarai Melia tiba di lokasi Matteo. Mata wanita itu membulat melihat apa yang terpampang di depan mata. Mobil-mobil polisi, ambulans, cahaya lampu strobo menyilaukan mata ... Dia menghentikan mobil di bahu jalan dan turun. Empat buah mobil dalam keadaan ringsek sedang dipindahkan oleh mobil derek. Tampaknya terjadi tabrakan beruntun. Petugas medis sibuk menangani para korban yang cedera. Badai kenangan buruk menerpa hati dan pikiran Melia. Dua tahun lalu dia pun melihat pemandangan serupa saat terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa suaminya. Melia tiba di satu titik dan berdiri terpaku. Potongan-potongan kenangan buruk berseliweran di depan mata, membuatnya tidak menyadari sosok Matteo yang berjalan menghampiri. "Mel, cepat juga kamu datang. Kita pergi sekarang," ucap Matteo. Seperti gerak lambat Melia menoleh. Tatapannya jatuh pada perban yang menempel di pelipis kanan lelaki itu, juga pada noda darah di kemejanya. "Melia, are you okay?" Matteo menangkap perubahan ekspresi Melia yang tidak biasa, seolah wanita itu sedang berjalan dalam tidur. "Kenapa ... kenapa bisa begini??" Melia mencengkeram lengan Matteo tanpa sepenuhnya menyadari apa yang dia lakukan. Matteo terkejut melihat setitik air mata yang mengalir di wajah Melia. Spontan dia merengkuhnya ke dalam pelukan. Tubuh wanita itu terguncang karena isakan, kemudian diam. Matteo memejamkan mata menikmati setiap detik yang berlalu. Sekian lama hanya bisa membayangkan, sekarang dia bisa merasakan kehangatan si wanita meskipun dalam situasi yang tidak biasa. Lain lagi dengan Melia ... Wanita itu sibuk menghadapi kenangan buruk yang terangkat kembali ke permukaan. Begitu rasa sakit di hati mereda lambat-laun Melia menyadari bahwa dia sedang berada dalam pelukan Matteo. Tangan besar si lelaki memberi usapan lembut di punggung. Aneh, tapi tidak terasa buruk. "Pak? Bisa lepas sekarang," lirih Melia. Sedikit tidak rela Matteo mengendurkan pelukannya. Melia mundur selangkah memberi jarak di antara mereka. Segera rasa dingin dan sepi menggantikan kehangatan yang sempat dinikmati Matteo. Mereka sempat bertatapan sesaat sebelum Melia memalingkan wajah. "Maaf, barusan saya teringat pada kecelakaan suami." Melia segera memberi penjelasan. "Oh, oke." Barulah Matteo sadar bahwa bukan dirinya yang mendapat perhatian Melia, tapi bayangan masa lalu wanita itu. "Kita pergi sekarang, Pak?" Melia telah kembali pada sikap formal. "Ya. Aku antar kamu pulang." Matteo kembali kecewa. Bayangkan! Bukankah dua kali kecewa dalam satu hari terlalu banyak bagi seorang lelaki?? Namun, apa yang bisa dia lakukan? "Oke." Melia berbalik kembali ke mobil Matteo yang dikendarainya. Merasa ada yang aneh wanita itu menoleh. Ternyata Matteo tidak bergerak sedikit pun. Melia kembali ke posisi semula agar tidak terkesan meninggalkan bosnya. "Pak? Kepalanya masih pusing karena benturan?" Melia melambaikan tangan di depan wajah si bos yang berdiri mematung. Sepasang mata biru Matteo menatap sayu, "Melia." "Uhm ... ya, Pak?" Melia sedikit takut melihat ekspresi bosnya. Matteo menghela nafas sebelum berkata, "Aku benar-benar patah hati karenamu." Hening sejenak. Melia juga menghela nafas—tidak kalah panjang dari Matteo—dan berucap keki, "Salah saya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD