Semua orang membisu seribu bahasa ketika layar besar di dinding memutar ulang video rekaman peristiwa yang terjadi di dalam ruang meeting lantai tiga puluh empat tadi pagi. Wajah Usman berubah warna seperti bunglon menempel di zebra cross karena terlihat jelas gestur dan perkataan tanpa hormat yang ditujukannya kepada Melia.
"Bagaimana? Ada komentar?" tanya Matteo.
Jika tatapan Melia bisa menusuk secara harafiah, Usman pasti sudah terkapar di lantai.
"S–saya tidak ingat melakukan hal seperti itu," kilah si manager HRD.
Melia mencibir, "Masa mau bilang wajah pelaku sudah melalui proses editing?"
"Ya! Itu dia! Kenapa tidak mungkin? Di jaman modern seperti ini apa yang tidak mungkin?? Pasti ada yang mau menjatuhkan saya!" Dengan tidak tahu malu Usman membela diri.
"Sudah lah, tinggal mengaku saja sulit sekali sih? Bukti sudah jelas di depan mata, kok masih bisa berkelit?" Melia semakin keki.
Lagi-lagi Matteo mengangkat tangan agar perdebatan di hadapannya berhenti. Dia menatap Melia dan Usman bergantian, tapi dengan intensitas berbeda.
"Senin depan Anda terima keputusan. Sampai hari itu Anda cukup istirahat di rumah," ucap Matteo penuh wibawa.
Saking seringnya waktu dihabiskan bersama si bos, terkadang Melia lupa kalau lelaki itu mempunyai wibawa tersendiri sebagai seorang Presiden Direktur. Jantungnya menambah kecepatan sekitar satu persen dari kecepatan debar normal.
"Apakah saya boleh naik banding?" tanya Usman.
"Naik banding dilakukan jika tidak ada bukti atas tuduhan."
"Tapi video rekaman itu belum tentu asli, Pak."
"Anda butuh bukti lain? Oke. Kita lihat." Matteo membuka file rekaman kamera tersembunyi di ruang sekretaris, "Saya lihat beberapa kali Anda mengatakan hal-hal tidak pantas terhadap Melia. Padahal sebagai seorang manager HRD seharusnya Anda lebih tahu apa yang boleh apa yang tidak."
Disajikan bukti bertubi-tubi membuat Usman kewalahan. Namun, dia masih belum rela menyerah. Dikeluarkannya handphone dari saku, "Saya mengerti kenapa Anda lebih memihak Melia. Semua orang pun sudah tahu kalau Anda berdua memiliki kedekatan."
Wajah Melia memucat kemudian memerah karena melihat foto dirinya berada dalam pelukan Matteo ketika tersandung kaki sendiri. Wanita itu mengeluh dalam hati kenapa mereka berdua terlihat sangat romantis di foto.
Ekspresi Matteo tetap dingin, "Jika benar seperti yang Anda katakan, bukankah seharusnya saya menghajar Anda karena melecehkan wanita yang memiliki hubungan khusus dengan saya?"
Kini Usman yang memucat. Serangannya berbalik! Lelaki itu berusaha tetap tenang, "Kalau begitu benar Anda dan Melia memiliki hubungan khusus? Dengan demikian Anda juga berpotensi dikenai sanksi etik, Pak."
"Katakan. Perusahaan ini di bawah nama siapa?"
Menyadari kecerobohannya Usman tergagap, "Wil–Wilson."
Seulas senyum terkembang di wajah Matteo, "Bagus. Kamu masih ingat."
Si manager HRD pun mengkerut di kursinya.
Jantung Melia menambah kecepatan sekitar enam persen.
"Ada lagi?" Nada bicara Matteo begitu dingin bak serpihan es menyayat kulit.
"Tidak ada, Pak."
Setelah memberikan tatapan tajam selama beberapa saat Matteo mengalihkan pandangan ke jendela sebagai gestur bahwa diskusi telah berakhir. Usman tahu diri dan bergegas meninggalkan ruangan. Melia menunggu sampai lelaki gempal itu menghilang barulah dia berdiri.
"Kamu mau ke mana?" Matteo telah kembali ke sikap normalnya.
"Eh, ke ruangan saya."
"Lupa Kevin ada di dalam?"
Melia menepuk jidat. Saking tegangnya dia memang melupakan ada seorang anak kecil di ruang istirahat. Segera wanita itu berlari membuka pintu rahasia. Betapa lega hatinya melihat Kevin masih asyik membangun sesuatu dengan mainan lego. Anak kecil itu hanya mendongak sebentar kemudian kembali fokus pada kesibukannya.
"All good?"
Melia terkesiap karena suara Matteo begitu dekat di belakang. Refleks dia berbalik dan bersiap mengambil jarak. Namun, sial, kali ini hak sepatunya menolak untuk bekerja sama. Benda persegi kecil di bagian bawah sepatu itu harus tersangkut pada karpet ruang istirahat.
"Easy, Mel. Kenapa belakangan kamu jadi ceroboh?" Matteo nyaris tertawa. Kali ini—alih-alih menangkap tubuh—dia hanya berhasil menangkap lengan sekretarisnya.
"Entahlah. Mungkin overload pekerjaan," gerutu Melia sambil menarik lengannya tanpa terkesan kasar.
"Oh? Apa kamu butuh cuti?" Sedikit tidak rela Matteo kembali ke posisi berdiri tegak normal.
Mata Melia membulat, "Saya boleh cuti?"
"Kebetulan besok hari Jumat. Kamu bisa cuti, menikmati long weekend."
"Yah, cuma satu hari dong, Pak?" Melia mengerucutkan bibir.
"Kamu butuh berapa hari? Jangan lama-lama. Nanti siapa yang akan mengingatkanku untuk minum obat?"
"Tinggal set alarm sih, Pak. Kalau tidak, cari istri."
"Calonnya ada, tapi aku masih menunggunya siap membuka hati."
Hening sesaat.
"Saya carikan biro jodoh untuk kalangan menengah ke atas? Anda tinggal berikan poin-poin yang diinginkan dari calon istri saja," elak Melia seperti bajaj di tengah kemacetan lalu lintas.
"Aku tidak pernah tertarik dengan perjodohan. Perasaan tidak bisa dipaksakan."
"Tuh tahu sendiri ... perasaan tidak bisa dipaksakan," gerutu wanita berambut coklat itu.
"Aku tidak memaksamu, 'kan?"
Melia menggaruk kepala, "Pak, perasaan tadi ngomongin cuti deh. Kok larinya ke perasaan sih? Terlalu jauh nih. Kalau tidak boleh cuti bilang saja, Pak."
"Hei, aku sudah memberimu cuti besok."
"Ya deh. Daripada tidak sama sekali. Thank you, Pak. Nanti saya minta tanda tangan form cuti ya."
"Untuk apa? Gajimu 'kan tidak lewat Finance?"
"Eh, iya yah. Ya, oke. Berarti besok saya libur."
Kevin langsung mendongak, "Besok aku juga libur, Ma?"
"Enak saja. Kamu tetap sekolah!" cetus Melia.
"Besok siang aku jemput Kevin?" tanya Matteo.
"Tidak usah, Pak. Ingat, pekerjaan jangan terlalu sering ditinggal."
"Tapi Ma, Om Matteo sudah janji," rajuk Kevin dengan wajah se-memelas mungkin.
Melia menekan pelipis, "Kalian berdua ...."
Sore hari—setelah gagal melarang Matteo mengantar pulang—Melia lagi-lagi harus menahan kekekian melihat bosnya duduk manis di ruang tamu mengobrol dengan Yudha dan Marta. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah menyajikan minuman kemudian mengeram di kamar.
Helaan nafas panjang terhembus dari sela bibir Melia. Dia berdiri di depan cermin memandangi tato yang terukir di tengah d**a. Dalam hatinya berkecamuk emosi dari masa lalu.
"Orang sering bilang aku harus move on ... tapi, aku nyaman seperti ini ...." Melia tersenyum.
"Aku sudah lebih kuat sekarang, Sam ... Aku tidak butuh siapa-siapa," lirihnya.
"Kevin juga tidak membutuhkan penggantimu ... Aku masih mampu membesarkannya sendiri."
Suara ketukan di pintu membuyarkan monolog Melia. Dia cepat-cepat memakai kaos dan sweatpants. Rambut panjangnya disanggul longgar sehingga memperlihatkan leher jenjang yang biasanya tersembunyi di dalam kerah kamisol turtle neck.
"Mel, temani Matteo ngobrol sana. Papa Mama mau keluar sebentar. Kevin sudah tidur juga tuh. Kecapekan diajak main seharian di kantor kalian." Rupanya Marta yang mengetuk pintu.
"Mau ke mana malam begini?" tanya Melia heran.
"Cari angin." Marta mengedipkan sebelah mata dan langsung berlalu.
"Eh, Ma? Ma? Dih, itu mah kabur bersama," gerutu Melia, sedikit keki karena melihat ayah ibunya bergegas pergi.
Tidak ada pilihan. Melia berjalan lesu ke ruang tamu tempat sesosok lelaki duduk di sofa.
Oh, sebenarnya ada pilihan. Dia bisa mengabaikan Matteo, atau memaksanya pergi.
Tunggu dulu ... Apakah itu ide bagus? Kalau tersinggung bisa-bisa cutinya dibatalkan. Jangan sampai terjadi, karena dia sudah menyetel jam biologisnya agar besok bangun siang.
Maka sambil meringis Melia duduk di ujung sofa sejauh mungkin dari Matteo, "Sudah malam loh, Pak."
"Pengamatan yang baik," goda Matteo.
Gemas karena ledekan si bos, Melia berucap, "Sorry nih, Pak. Saya tidak refill minumnya yah."
"No problem. Aku tidak terlalu haus."
"Aduh, Pak. Benaran nih, sudah malam begini energi saya tidak cukup untuk debat loh."
"Istirahatlah, Mel. Aku tunggu orangtuamu pulang."
Melia memicingkan mata, "Pak, niat merampok rumah saya?"
Matteo tertawa, "Astaga. Memangnya aku terdengar mencurigakan?"
"Banget."
Habis bahan pembicaraan, keduanya duduk diam menekuni pikiran masing-masing. Matteo leluasa memandangi Melia, menyadari bahwa rambut yang disanggul longgar dengan helaian-helaian menjuntai membuat wanita itu terlihat seksi. Ah, seandainya saja mereka bisa lebih dekat dari ini ...
Setiap gerakan kecil yang dilakukan Melia menarik bagi Matteo. Mungkin karena bosan, wanita itu akhirnya duduk dengan kedua kaki di sofa, menghadap ke arahnya. Sudut-sudut bibir Melia terangkat membentuk senyuman. Sepasang lesung pipinya membuat Matteo gemas.
"Ada yang menarik?" tanyanya.
"Hmm ... entahlah. Saya hanya merasa, rumah ini sangat sepi," lirih Melia.
"Bukankan bagus? Kita bebas mengobrol."
Melia mengulum senyum, "Hanya mengobrol?"
Darah Matteo berdesir, "Dan lainnya."
"Uhm ...." Perlahan Melia beringsut mendekat, "Seperti apa misalnya?"
Pandangan Matteo terarah pada bibir merah muda yang merekah, "Anything you like."
Bibir itu tersenyum menggoda, "I like you, Matt."
Jarak di antara mereka semakin mengecil hingga ...
"Pak? Hello??"
Matteo terhenyak. Begitu sadar dia langsung memaki dalam hati kenapa bisa berfantasi begitu nyata!
Melia mengernyit melihat lelaki di hadapannya komat-kamit tanpa suara. Jangan-jangan si bos sedang baca mantra?? Atau kesurupan?? Dia langsung berpikir untuk mengambil segelas ... oh, tidak, kalau perlu seember air untuk mengguyur Matteo.
"Di mana kamar mandi?" tanya Matteo.
Melia menunjuk ke satu arah.
"One sec." Tanpa ba-bi-bu lelaki itu bergegas ke kamar mandi. Dia perlu menenangkan sesuatu yang terlanjur bersemangat.
"Benaran kesambet kali ya?" gumam Melia.