"Dasar bodoh! Bisa-bisanya." Matteo berdiri bertumpu pada wastafel. Dia menatap kesal pada bagian bawah tubuhnya.
"Sekarang apa yang kulakukan? Menemani sampai orangtuanya pulang?" Lelaki itu menatap cermin dan baru menyadari kalau wajahnya terlihat lelah.
"Come on, Matt ... you can do it," katanya sambil menepuk-nepuk wajah seperti petinju yang hendak menghadapi lawan.
Setelah beberapa kali menarik nafas dan menghembuskan kuat-kuat Matteo pun keluar dari kamar mandi. Untuk sesaat dia bingung karena ruang tamu kosong. Matanya mencari-cari dan menemukan si wanita pujaan hati di dapur. Langkah kakinya otomatis berbelok.
"Saya pikir tertidur di kamar mandi. Mau kopi, Pak?" Melia tersenyum.
Senyum manis dengan sepasang lesung pipi tersebut membuat Matteo teringat pada fantasinya. Cepat-cepat dia menghalau sosok seksi Melia dari pikirannya dan menjawab normal, "Boleh."
"Duduk lah, Pak. Ini bukan prasmanan."
Menurut, Matteo duduk di kursi tinggi dekat meja dapur. Dipandanginya segala gerak-gerik Melia sampai puas, kemudian baru dia menyadari bahwa ada bayangan hitam di bagian depan kaos putih si wanita. Matteo berusaha melihat lebih baik. Bayangan apakah itu?
"Silakan diminum." Melia menggeser secangkir kopi ke depan Matteo.
"Thanks."
Melia sendiri menyesap teh manis panas.
"Kamu punya tato?"
Hampir saja Melia menyemburkan tehnya karena tersedak. Dia terbatuk-batuk hebat sampai terbungkuk. Demi menunjukkan itikad baik Matteo turun mengitari meja untuk menepuk-nepuk punggung Melia.
"Be careful, Mel. Kenapa bisa sampai tersedak begitu?"
"Habisnya ... pertanyaan apa tadi??" Wajah Melia merah padam karena batuk-batuk.
"Just curious. Karena aku melihat sesuatu di ...." Matteo bungkam setelah menyadari bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak terpuji, yaitu memandangi d**a wanita itu.
"Di??" Kedua tangan Melia mendekap d**a.
Matteo terdiam sejenak, "Nevermind."
"Pak, sudah malam. Pulang sih. Bicaranya makin ngelantur."
"Ya, kamu benar. Sepertinya aku juga butuh istirahat."
Kegalauan Matteo—yang terpaksa meninggalkan rumah Melia—tidak bertambah baik karena harus melihat Marco merayu wanita-wanita muda pengunjung club miliknya. Ya, malam ini club begitu ramai sampai-sampai sang pemilik harus turun gunung mengawasi.
"Baru dua hari pendekatan dan kau sudah kewalahan? Cih! Amatir!" Marco meneguk minumannya sampai habis dan meletakkan gelas di meja dengan suara keras.
Matteo mengusap rambut, "Baru dua hari. Masih banyak waktu."
Tangan Marco menjangkau ke samping untuk menarik kemeja saudaranya, "Aku akan membantumu, Brother. Urusan besok serahkan padaku."
"Apa maksudmu, b******k? Serahkan apa??" Matteo menepis kasar tangan saudaranya.
"Melia." Seringai jahat menghiasi wajah tampan Marco.
Keesokan hari. Matahari telah meninggi di langit dan seorang wanita berambut coklat sudah berpakaian rapi. Melia melihat cermin sekali lagi, memastikan pakaiannya pantas untuk menjemput Kevin di lingkungan sekolah. Setelah yakin dia pun berangkat bersama ojek online.
Dari kejauhan terlihat gedung sekolah tujuan. Ojek berhenti dekat gerbang. Melia segera melompat turun dan mengembalikan helm kepada si pengemudi ojek. Setelah itu semua berlangsung begitu cepat.
Suara decit ban menggesek aspal memekakkan telinga, ditambah jeritan dan teriakan panik orang-orang. Melia tidak sempat melihat apa atau siapa yang menabraknya. Tahu-tahu pandangan berputar disertai rasa sakit di kepala, setelah itu semua menjadi gelap.
Entah berapa lama kemudian Melia membuka mata. Dia hanya melihat cahaya neon melintasinya seperti bintang jatuh, juga ada wajah-wajah bermasker di sekeliling ... tempat tidur bergerak? Bagaimana dia bisa bergerak begitu cepat? Belum sempat mengenali suara siapa yang memanggil namanya, Melia sudah kembali tidak sadarkan diri.
"Pak, dilarang masuk ruang operasi!"
"Anak kecil juga dilarang masuk!"
"Mama! Mama!" Kevin meronta dalam pelukan Matteo, ingin menyusul sang ibu ke dalam ruang operasi.
"Kita tunggu mamamu selesai dioperasi. Oke? Om temani di sini," bujuk Matteo.
"Nggak mau! Pergi!" Anak kecil itu terus meronta.
"Kevin, kalau tidak tenang dokter tidak bisa menolong mamamu."
Bukannya tidak memahami perkataan tersebut, tapi Kevin masih shock melihat kondisi Melia yang terluka. Masih bagus dia bisa mencari handphone sang ibu dan menelepon Marta juga Matteo.
"Hei, anak lelaki tidak menangis," timpal Marco—yang ikut karena kebetulan sedang ke kantor Matteo saat Kevin menelepon.
"Orang tua nggak boleh bully anak kecil!" balas Kevin galak.
"Wow, easy, boy." Marco tertawa kecil.
Belum selesai ketegangan di antara ketiga lelaki itu, dari tikungan terdengar suara ribut. Wajah cemas Marta dan Yudha muncul dari balik tembok. Sekejap mereka terkejut melihat Matteo dan Marco yang begitu mirip.
"Di mana Melia?? Apa yang terjadi??" tanya Yudha penuh emosi.
"Dokter sedang menangani cederanya. Tidak ada yang mengancam nyawa," jelas Matteo.
"Apa yang terjadi pada Melia? Kalian melihatnya?" Marta memeluk Kevin. Tidak terelakkan wanita paruh baya itu terpikirkan bagaimana kalau cucunya menjadi yatim piatu.
"Menurut saksi mata ada mobil yang memang sengaja menabrak. Aku akan menyelidiki siapa orang tersebut." Matteo tetap bersikap tenang.
"Melia nggak pernah punya masalah dengan siapa pun. Keluar rumah saja jarang, hanya ke kantor dan urusan sekolah." Marta terlihat menegarkan diri.
"Beri tahu kami hasil penyelidikannya." Kedua tangan Yudha terkepal di sisi tubuh. Ya, dia akan memberi pelajaran pada orang yang menyakiti putri semata wayangnya.
Matteo hanya mengangguk.
"Oma, mama nggak apa-apa, 'kan?" Kevin menatap sang nenek dengan mata berkaca-kaca.
"Nggak apa-apa, Sayang. Mamamu kuat. Doa untuk dia, ya?" Marta membelai rambut Kevin lembut.
Adegan mengharukan tersebut membuat Marco mengalihkan pandangan. Dia tidak suka menonton drama tanpa ditemani minuman beralkohol dan wanita. Well, pada intinya dia tidak suka drama.
"Aku keluar sebentar. Kabari kalau mereka sudah selesai." Marco menepuk bahu saudaranya dan berlalu.
"Sial ... selalu melarikan diri saat ada hal serius," gerutu Matteo.
Beberapa waktu berlalu. Semua orang menanti gelisah karena Melia adalah sosok penting dalam hati masing-masing. Ketika akhirnya dokter keluar dari ruang operasi semua orang segera mengerubungi. Si dokter sampai merasa menjadi selebriti.
"Tenang, Bapak, Ibu. Kondisi saudari Melia stabil. Tidak ada gegar otak, hanya terbentur agak keras," kata si dokter.
"Sudah siuman, Dok?" tanya Yudha tidak sabar.
"Mungkin sebentar lagi. Bapak Ibu bisa menunggu di bangsal VVIP." Setelah berkata demikian dokter pun berlalu.
Yudha dan Marta saling pandang.
Matteo berdeham, "Biaya rumah sakit tidak perlu dipikirkan."
"Terima kasih, tapi nggak perlu sampai begini. Kamu menemani Kevin saja sudah sangat baik," ucap Marta.
"Tidak apa, Tante." Matteo tersenyum.
Rombongan kecil itu kemudian bergerak mengikuti brankar pasien yang didorong oleh dua perawat. Melia masih di bawah pengaruh anestesi. Perban melilit kepala dan selang infus menjuntai ke lengan. Hati Matteo saja sedih melihat kondisi wanita itu, bagaimana hati kedua orangtuanya dan Kevin?
Kedua perawat memindahkan Melia ke tempat tidur di kamar pasien berfasilitas serupa hotel bintang lima. Setelah memastikan kondisi Melia stabil, kedua perawat meninggalkan kamar. Kevin segera memanjat naik ke tempat tidur untuk berada dekat sang ibunda.
"Hati-hati infusnya copot, Kev," ujar Yudha.
Matteo berinisiatif memindahkan lengan Melia agar tidak tersenggol oleh Kevin.
"Aku nggak habis pikir, kenapa hal seperti ini bisa menimpa Melia. Ada salah apa sebenarnya," keluh Yudha. Wajah tuanya terlihat lelah karena baru saja melalui ketegangan.
"Nggak perlu dipikirkan sampai sejauh itu, Pa. Ini kecelakaan." Marta menyentuh lengan suaminya.
Melihat keberadaannya tidak dibutuhkan, Matteo pamit ke teras. Kedua orang tua itu pasti butuh ruang untuk mengobrol dengan leluasa.
"Hei, kenapa tidak memberi kabar kalau Melia sudah dipindahkan?" cetus Marco yang ternyata berada di teras.
Matteo mengerang kesal, "Siapa menginginkan sesuatu selayaknya berusaha."
"Cih! Lagakmu."
Tidak ada balasan karena Matteo lelah.
"Dia sudah bangun?" tanya Marco.
"Lihat saja sendiri."
"Oke. Apa susahnya?" Marco pun bangkit dan masuk ke kamar.
Marta dan Yudha menatap heran karena lelaki muda yang baru saja pergi sekarang masuk lagi ke kamar pasien, dengan pakaian yang berbeda pula. Mungkin mereka berpikir, cepat sekali Matteo berganti pakaian?
"Om, Tante," sapa Marco.
"Oh, kamu ... saudara kembar Matteo?" Marta cepat tanggap.
Marco tersenyum lebar, "Iya, Tante. Tadi saya ada urusan sedikit jadi tidak bisa menunggui. Bagaimana kondisi Melia?"
"Nggak apa-apa. Emm ... siapa nama kamu?"
"Marco."
"Melia stabil. Dalam pemulihan," ujar Yudha.
"Syukurlah. Kalau tidak malam ini, mungkin besok pagi dia akan sadar." Penampakan Melia yang menyedihkan membuat rasa iba terbit di hati Marco. Wajah cantik yang pucat itu menggelitik naluri kelelakiannya untuk melindungi.
"Kami akan menginap malam ini. Kevin pasti juga nggak mau pergi jauh dari mamanya. Untung besok sekolah libur." Marta membelai rambut Kevin yang sudah terlelap di d**a Melia.
"Kalau perlu sesuatu jangan sungkan. Om dan Tante beri tahu aku, atau Matt." Marco tersenyum manis.
"Ya. Terima kasih, tapi kami bisa menjaga putri kami." Perkataan Yudha menyiratkan sikap melindungi. Dia merasa sudah cukup melihat kedua lelaki muda ini memiliki maksud mendekati putrinya.
Marco mengangguk paham.
Ketika pagi tiba dan hampir semua orang tumbang tertidur ...
Perawat datang untuk memeriksa keadaan, kemudian pergi setelah yakin semuanya normal. Tinggallah Matteo berdiri mengamati Melia di sisi tempat tidur. Rona di wajah cantik itu mulai terlihat, seolah sang putri tidur tengah menunggu pangeran tampan membangunkannya dengan ciuman.
"Wake up, Mel ... I think I miss you," bisik Matteo. Tangannya menggenggam tangan si wanita.
Memberanikan diri sedikit, lelaki itu membelai wajah Melia. Sentuhannya sangat lembut hingga nyaris tidak terasa. Matteo menghela nafas. Seandainya tidak ada seorang pun mungkin dia akan mencium bibir merah muda Melia yang sedikit merekah.
Matteo terkesiap melihat kelopak mata si wanita bergerak-gerak. Perlahan sepasang mata indah itu terbuka, mengejap, dan menemukan fokus di wajah Matteo.
"Mel?"
Wanita itu mengernyit, "Ini di mana ...?"
Tanpa sadar Matteo membelai rambut Melia, "Kamu di rumah sakit."
"Ugh ... apa yang terjadi? Kepalaku sakit sekali?"
Dalam hati Matteo bertanya-tanya apakah harus memanggil perawat, sekaligus berpikir bahwa sayang sekali dia tidak menciumnya lebih cepat sebelum Melia sadar.
"A–apa? Kamu bilang apa?"
"Bilang apa?" Matteo keheranan melihat wajah Melia memerah. Dia menempelkan punggung tangan di dahi si wanita dan membatin apakah terjadi infeksi yang menyebabkan demam.
Mulut Melia terbuka. Pandangannya jatuh ke bibir Matteo. Apa yang terjadi?? Lelaki ini tidak bicara! Lalu suara siapa barusan?? Halusinasi?? Hantu??
"Mel? Melia? Kenapa pingsan lagi?" Matteo panik.