Seperti dejavu Matteo harus memendam kekesalan melihat Marco tertawa terbahak-bahak di depan wajahnya. Seketika dia menyesal menceritakan apa yang terjadi semalam ketika Melia lagi-lagi bersikap abai terhadap perhatiannya.
"Ternyata sekretarismu benar-benar dingin. Aku tidak menyangka." Marco menyeringai.
Matteo menekan pangkal hidung.
"Atau kau yang kurang hangat? Kurang eksplisit?" ejek Marco.
"Dengar kau, b******k! Manusia kurang kerjaan! Tidak ada pekerjaan lain selain mengejekku? Pergi sebelum Melia mendengar suaramu yang merusak telinga itu!"
"Kau takut? Kalau begitu tidak usah mengejarnya lagi, Bro. Biar aku saja." Marco menyeringai.
"Jangan coba-coba!"
"Atau apa?"
Matteo menatap kesal, "Kupotong barangmu agar tidak dapat menikmati hidup!"
Marco melotot, "Hei, jangan bawa-bawa barangku, Sialan! Urus sendiri barangmu! Jangan-jangan dia sudah berkarat di bawah sana!"
Pintu ruangan terbuka tepat saat Matteo sedang mencekik Marco. Wanita yang sedang menjadi topik pembicaraan berdiri terbengong melihat bos dan saudaranya sedang bergulat di meja. Tubuh mungilnya tersembunyi di balik parcel besar.
"Ada apa, Mel? Apa itu?" Matteo segera melepas Marco dan kembali bersikap cool.
"Ehm ... ada kiriman parcel dan undangan makan siang dari Pak Wawan Bintoro," lapor Melia.
"Wawan Bintoro? Dia pemilik usaha perkebunan sawit dan pertambangan?" timpal Marco.
"Tidak ada yang bertanya padamu!" sergah Matteo yang belum puas bergulat.
"Saya taruh di sini, Pak." Melia meletakkan parcel yang berukuran besar tersebut di meja dekat sofa. Dia tidak ingin menyaksikan pertengkaran Wilson bersaudara karena khawatir tidak bisa menahan tawa.
"Oke. Thank you," ucap Matteo.
Tanpa berucap apa pun Melia berjalan keluar dari ruangan Presiden Direktur. Pandangannya lurus dan ekspresinya datar.
Diam-diam Marco memperhatikan ekspresi saudaranya yang menatap ke arah pintu seperti seekor anak kucing, "Oh, wow. Kau benar-benar jatuh cinta. Bagaimana kau bisa bertahan selama dua tahun di dekat wanita yang kau sukai? Aku benar-benar kasihan pada barang—"
"Diam, b******k!"
Marco tersenyum geli, "Come on, Brother. Tidak seburuk itu, 'kan? Kau tinggal cari wanita lain yang lebih cantik darinya. Putri Wawan Bintoro misalnya."
Matteo mengusap wajah, "Sial. Jangan sebut si Bintoro. Lelaki tua itu tidak berhenti menawarkan putrinya. Dia pikir sedang berdagang atau apa?"
"Kau pernah bertemu putrinya?"
"Tidak."
Hening sejenak.
"Apa?" Marco mengangkat alis karena Matteo mendadak menatapnya seperti melihat harta karun.
"Gantikan aku makan siang dengan mereka!" Matteo menyuarakan ide yang baru saja terlintas.
"Kau berani bayar berapa? Oh, tunggu, berikan saja sekretarismu untukku. Aku pasti bisa membuatnya menjadi wanita paling bahagia di dunia." Marco tersenyum licik.
"What ...?? Lupakan saja! Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Melia!"
Marco mendongak tertawa, "Astaga, belum jadi pacar saja sudah posesif! Dia akan sesak nafas kalau benaran jadi pacarmu, Bro!"
"Pokoknya aku tidak akan membiarkanmu merusak Melia!"
"Hei, b******k! Bicara seolah dirimu orang suci!"
"Setidaknya aku akan bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu."
Marco mencibir, "Simpan kata-katamu, Brother. Suatu saat kau akan menyesal kalau karet pengaman yang kau pakai bocor."
"Kata-kata yang keluar dari mulutmu tidak pernah mengenakkan! Kenapa aku bisa berbagi rahim denganmu, heh??"
"Itu juga yang menjadi pertanyaanku selama ini! Kenapa kau harus lahir lima menit lebih dulu dariku?"
Dering telepon membuyarkan konsentrasi Melia mendengarkan sayup suara perdebatan di dalam ruangan Presiden Direktur. Lampu berkedip di ekstension HRD.
"Selamat siang."
"Siang, Bu Mel. Apakah Pak Matteo sedang sibuk?" Terdengar suara Steven dari ujung sana.
"Sekarang masih ada tamu sih. Ada apa?" Nada bicara Melia menjadi sedikit ramah karena staff HRD yang menelepon, bukan si Usman genit.
"Oh, kira-kira Pak Matteo ada waktu jam berapa ya? Pak Usman mau melaporkan sesuatu."
Dalam hati Melia memaki-maki Usman, tapi mulutnya berucap datar, "Saya belum bisa memastikan karena ada undangan makan siang dari rekan bisnis. Kamu mengerti deh ya kalau makan siang seperti itu bisa memakan waktu agak lama."
"Begitu ya, Bu."
"Nanti kalau Pak Matteo sudah kembali saya kabari, bagaimana?" Melia menawarkan solusi.
"Boleh, boleh. Terima kasih, Bu."
"Oke. Sama-sama."
Setelah meletakkan gagang telepon pada tempatnya Melia melihat jam dinding. Masih satu jam menuju makan siang. Kalau Matteo sudah pergi, dia bisa membongkar parcel. Tadi Melia sempat melihat sekotak coklat bourbon mahal dan sangat berminat untuk membawanya pulang.
Tahu-tahu pintu ruangan Matteo terbuka. Kedua bersaudara Wilson berjalan keluar dengan sisa-sisa pertengkaran di wajah mereka.
"Hai, Cantik," ucap Marco saat berjalan melewati ruang sekretaris.
Melia tersenyum miring. Baru kali ini Marco Wilson menggodanya. Penuh kewaspadaan dia mengikuti pergerakan si playboy, eh ... maksudnya Marco sampai menghilang dalam lift.
"Melia, bawa tasmu. Kamu ikut makan siang," titah Matteo dengan nada yang tidak dapat diganggu gugat.
"Tapi itu bukan makan siang bisnis, Pak," elak Melia.
Matteo menatap keki, "Memang bukan. Kamu ikut sebagai pasangan saya."
Melia melotot, "Emm ... Pak?? Tidak salah??"
"Tidak. Cepat bereskan mejamu atau saya tinggal." Matteo berlagak hendak pergi.
"Tinggal saja deh, Pak. Saya tidak mau jadi tameng." Wanita berambut coklat itu merengut.
Hawa di dalam ruang sekretaris menjadi dingin. Melia segera menguatkan hati kala melihat sepasang mata biru bosnya menatap sendu.
Satu helaan nafas panjang mendahului kata-kata Matteo, "Oke. Anggaplah aku minta tolong padamu. Boleh seperti itu?"
Kedua alis Melia bertaut, "Saya perlu tahu duduk perkara sebenarnya dong, Pak. Kenapa saya harus berpura-pura jadi pasangan Anda?"
Matteo berjalan mendekat ke meja Melia yang sangat rapi dan bersih, "Sudah enam bulan terakhir Wawan Bintoro menawarkan putrinya kepadaku padahal tahu jelas aku tidak berminat. Sekarang masih saja lelaki tua itu mencoba memasangkan kami. Dia pikir sedang mengatur perkawinan anjing ras?"
Perumpamaan tersebut membuat Melia mengulum bibir agar tidak tertawa. Sayangnya gestur tersebut malah terlihat menggoda di mata Matteo. Tatapannya tidak berpindah dari bibir merah muda si sekretaris. Betapa ranum ... pasti menyenangkan untuk digigit.
"Pak? Pak??"
"Uhm ... ya, apa?" Matteo terbetot keluar dari fantasinya.
"Ih, omongan saya tidak didengar. Tadi saya bilang oke, tapi sesudah itu saya boleh langsung pulang ya?"
"Ya. Boleh," kata Matteo cepat-cepat sebelum Melia berubah pikiran.
Maka jadilah, tepat tengah hari Melia duduk manis di samping Matteo yang menyetir sendiri mobilnya. Diam-diam lelaki itu memperhatikan dari kaca spion, mengalihkan pandangan ketika Melia kebetulan melirik.
"Pak, tolong lihat ke depan. Saya tidak punya asuransi loh." Melia mengingatkan ketika Matteo lupa diri dan terlalu lama memandangi kaca spion sampai melewatkan lampu lalu lintas yang sudah berubah hijau.
Sambil menggerutu pelan Matteo menginjak pedal gas. Aneh memang, sejak menetapkan hati untuk melakukan pendekatan terhadap si sekretaris, dirinya malah terlihat seperti anak muda yang sedang salah tingkah. Masih pantaskah bersikap seperti ini sedangkan usianya sudah lewat kepala tiga?
Sekali lagi melirik lewat kaca spion dan Matteo membantah pikirannya sendiri. Kenapa tidak? Mungkin pada diri Melia-lah dia menemukan sosok wanita yang benar-benar diinginkan.
"Pak! Itu lampu hijau sudah nyala!" Lagi-lagi Melia mengingatkan.
Bangunan hotel bintang lima menjulang angkuh di antara gedung perkantoran di pusat ibukota. Meskipun tergolong kawasan elit, tapi mobil Eropa milik Matteo tetap mencuri perhatian orang-orang. Mobil itu diarahkan ke blok khusus di parkiran untuk mobil mewah berharga satu miliar ke atas.
"Oke, kita sepakati dulu. Sebagai pasangan kita harus memperlihatkan keakraban yang wajar. Jangan tiba-tiba menampar atau protes kalau aku menggandengmu," kata Matteo sebelum mereka turun dari mobil.
"Atau anggap saja kita pasangan yang sedang bertengkar, jadi ada jarak tiga puluh sampai lima puluh senti di antara kita," cetus Melia.
Matteo menoleh, "Kamu bercanda?"
"Tidak."
Ingin rasanya membenturkan kepala ke setir kalau tidak ingat berapa uang yang harus dikeluarkan untuk biaya servis mobil. Matteo menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan pikiran.
"Baiklah. Tidak bergandengan. Tapi kamu harus berada dekat denganku," tawarnya.
Melia mengernyit, "Seberapa dekat?"
"Kamu serius bertanya? Dulu bagaimana kamu pacaran sih?" Matteo mulai keki.
Sambil menahan tawa Melia menjawab, "Sudah lupa, Pak."
Matteo pun mendengkus, "Perlu kuingatkan??"
Mata Melia membulat, "Tidak perlu!"
Kedua manusia itu pun turun dari mobil untuk menuju ke restoran hotel tempat Wawan Bintoro dan Cynthia—putri bungsunya—menunggu. Sepanjang perjalanan teramat singkat dari basement ke lantai dua Matteo memikirkan berbagai cara yang tepat untuk memperlihatkan bahwa Melia adalah pasangannya.
Pintu lift terbuka dan nyaris tanpa berpikir Matteo meraih tangan Melia. Dia merasakan sedikit perlawanan, tapi bersikap seolah tidak tahu. Dengan santai Matteo menggandeng sekretarisnya menuju restoran.
"Pak," desis Melia.
"Play along, Mel ... Just holding hands, not kissing ...," bisik Matteo.
Melia melotot.
Tampak dua orang duduk di sebuah meja. Wawan Bintoro pasti lelaki paruh baya yang mengenakan stelan jas biru muda. Ya iya lah! Tidak mungkin yang bernama Wawan Bintoro itu seorang wanita muda bergaun kuning cerah!
Karena diperhatikan secara intens dengan ekspresi tidak sedap Melia merasa wajib bekerja sama dengan Matteo untuk menunjukkan kedekatan sebagai pasangan. Dia pun memindahkan tangannya ke lengan lelaki itu dan memangkas jarak di antara mereka. Matteo tersenyum senang.
"Hello, Matteo." Wawan berdiri untuk menyalami.
"Hello." Matteo tidak menyambut tangan Wawan yang terulur karena tidak ingin tangan mungil Melia terlepas darinya.
Senyum di wajah Wawan tidak berubah meskipun hatinya mendongkol. Dia dan Cynthia hanya bisa menonton Matteo menarik kursi bagi si wanita berambut coklat.
"Siapa dia, Matt?" tanya Cynthia dengan senyum semanis ular berbisa.
"Ini pacarku," balas Matteo.
Melia tersenyum sopan.
"Oh ya? Siapa namamu?" ketus Cynthia.
"Kenapa? Sepertinya kamu ada masalah denganku?" balas Melia yang sifat defensifnya terpicu oleh nada bicara tersebut.
Cynthia tertawa mengejek, "Sekali lihat saja aku bisa tahu kamu bukan pacar Matteo. Dasar wanita penipu."
Melia juga tertawa, "Dan sekali lihat saja aku tahu kamu ingin merebut pacarku. Dasar wanita kesepian."
Matteo kagum melihat Melia berdiri tegak di hadapan lawan. Dia semakin yakin tidak salah jatuh cinta.
"Matt! Dia benar pacarmu??" Cynthia menatap Matteo untuk mendapatkan penjelasan.
"Ya, benar. Dan kami sedang merencanakan pernikahan."
Semua orang shock.
"Pak! Tidak boleh sembarangan bicara tentang pernikahan!" protes Melia setelah mereka selesai makan siang dan telah berada di dalam mobil.
"Memangnya kenapa? Mereka percaya, 'kan?" Matteo menyeringai.
"Tapi tidak usah sampai sejauh itu! Bagaimana kalau mereka menagih undangan?"
Matteo melirik, "Kita buatkan saja."
"Pak!"
"Apa?"
"Saya resign!"