Menunggu Apa?

1579 Words
Sesuai perjanjian, seusai makan siang Matteo langsung mengantar Melia pulang. Sepanjang perjalanan wanita berambut coklat itu membisu seribu bahasa. Matteo juga tidak berusaha mencari topik obrolan. Dalam hati dia berpikir apakah reaksi impulsifnya mengatakan mereka sedang merencanakan pernikahan terlalu berlebihan. "Kevin sudah pulang sekolah? Mau sekalian kita jemput?" tanya Matteo. "Tidak usah. Omanya yang menjemput," sahut Melia datar. "Sekalian pulang sama-sama? Aku tinggal belok sedikit dari sini." Matteo tahu lokasi sekolah Kevin karena si sekretaris pernah menceritakannya. Melia melihat jam tangan. Dia menimbang-nimbang, apa yang dikatakan Matteo memang benar. Dari tempat mereka berada menuju sekolah Kevin sudah sangat dekat. "Kamu terlalu lama berpikir." Matteo membelokkan mobil. "Kalau begitu untuk apa tanya, Pak?" gerutunya. "Karena aku menghargai pendapatmu." "Lah, kelihatannya tidak begitu?" Matteo menoleh, "Hei. Kamu ngambek? Besok jangan bolos kerja, oke?" Melia membalas sengit, "Kapan saya pernah ngambek sampai bolos kerja?" "Perlu aku perlihatkan absensimu?" "Tidak usah!" Wanita itu melengos. Menang satu poin. Matteo tersenyum geli melihat sekretarisnya cemberut. Yah, setidaknya siang ini dia bisa bertemu Kevin dan—lebih bagus lagi—ibunda Melia. Siapa tahu melalui mereka bisa terbuka jalan pendekatan. Bubar sekolah membuat jalanan penuh dengan manusia dan kendaraan. Matteo tidak dapat maju sampai ke depan gerbang sekolah, maka dia memarkir mobil beberapa meter setelahnya. Dia melepas jas dengan maksud ikut turun menjemput. "Pak, mau apa?" Melia menyadari gestur tersebut. "Menemani kamu." Matteo sudah membuka pintu mobil. Cepat-cepat Melia menarik lengan bosnya sampai terduduk lagi, "Tidak usah! Saya saja yang turun!" Matteo menatap sepasang tangan mungil yang menariknya, "Tenagamu kuat juga ya?" "Tunggu di mobil saja sih? Lihat tuh, Pak. Ramai banget, 'kan? Nanti malah ribet. Anda 'kan belum pernah jemput anak sekolah?" "Hei, aku bukan sopirmu. Memang apa ribetnya menjemput anak sekolah? Tinggal tunggu di depan gerbang, bukan?" "Aduh, Pak. Bandel banget sih." "Mel? Aku bosmu loh?" Melia meringis, "Iya. Sorry. Habisnya ...." Matteo geleng-geleng kepala. Selembut mungkin dia melepaskan lengannya dari cengkeraman si wanita dan turun dari mobil. Dengan sangat terpaksa Melia ikut turun. Dalam hati dia berharap semoga Marta dan Kevin tidak melihat mereka. Perhatian para ibu muda yang menjemput anak-anak langsung terbetot melihat seorang lelaki tampan, tinggi, berpenampilan keren, dan turun dari mobil yang pastinya mahal. Bisik-bisik menyambar bak api dalam sekam. Seketika ibu-ibu muda itu lupa akan tujuan mereka di depan gerbang sekolah. "Itu mamamu dan Kevin." Matteo yang bertubuh tinggi tidak memiliki kesulitan menemukan target. "Salah lihat kali?" "Lihat dulu di sana." Melia harus berjinjit untuk bisa melihat melewati kerumunan, "Mana?" "Tidak kelihatan? Kamu lebih pendek dari yang kukira." Matteo tersenyum geli. "Pak! Jangan main fisik," gerutu Melia. "Kubantu sedikit." Terdengar pekikan tertahan saat Matteo mengangkat tubuh Melia. Lengan kuat lelaki itu melingkar di pinggang si wanita sehingga membuat mata mereka sejajar. Ibu-ibu muda di sekitar sontak menatap iri. Tidak sedikit yang berharap berada di posisi Melia. "Sudah kelihatan?" Matteo tersenyum senang melihat wajah sekretarisnya merah padam. "Tolong turunkan saya," lirih Melia yang tidak tahan menjadi pusat perhatian. Tidak sampai hati melihat sepasang mata indah si wanita berkaca-kaca, perlahan Matteo menurunkan Melia. Begitu kakinya menjejak tanah wanita itu bergegas pergi. Matteo terkejut dan menyusul. Rupanya Melia kembali ke mobil. "Kamu mau pergi? Tidak menunggu Kevin?" tanya Matteo. "Tidak perlu. Tolong buka pintunya." Melia berdiri tertunduk. Matteo pun melakukan permintaan tersebut. Segera setelah masuk ke mobil mereka melaju pergi. Sesekali Matteo melirik dari kaca spion untuk menebak bagaimana perasaan Melia saat ini. Namun, wanita itu duduk memunggunginya menatap ke luar jendela sehingga wajahnya tidak terlihat. "Langsung ke rumah?" "Tidak." "Mau ke mana?" Tidak disangka Melia menoleh sengit, "Entahlah! Anda tidak mau mengatur ke mana saya pergi?" Matteo terhenyak dengan kegalakan sekretarisnya, "Kenapa kamu?" Melia mengatur nafas untuk meredakan emosi yang meluap akibat perlakuan Matteo barusan, "Saya tidak suka Anda melakukan sesuatu yang membuat saya merasa tidak nyaman, tanpa seijin saya. Apa Anda lupa hubungan kita hanya sebatas bos dan karyawan?" "Aku melihatmu kesulitan dan memberi sedikit bantuan," kilah Matteo. "Saya merasa itu tidak pantas!" Matteo tidak mendebat lagi karena hati kecilnya juga menyadari bahwa apa yang dilakukan secara impulsif memang salah. Ditambah lagi dia mengambil keuntungan dengan menikmati kedekatan fisik mereka. "Okay, I'm sorry. That's all?" Melia mengulum bibir. Sebenarnya tidak menyangka kalau si bos kepala batu akan minta maaf secepat itu. "Mohon hargai ruang pribadi saya. Jangan karena saya wanita yang sudah tidak bersuami lantas semua orang berpikir dapat mendekat sesuka hati," ujar Melia, lembut namun tegas. "Okay. Will do." Matteo melirik dari kaca spion, "Kamu tidak akan resign, 'kan?" "Tidak. Belum." Melia menatap ke luar jendela. "Jangan resign, Mel. Sudah dua tahun kita bersama. Akan sulit mencari penggantimu." "Pak, tolong penggunaan kalimatnya jangan ambigu. Seharusnya, sudah dua tahun kita bekerja di kantor yang sama," omel Melia. "Begitu ya? Oke. Anggap saja sudah dikoreksi." Ada sedikit kekecewaan dalam hati Matteo karena pendekatannya ditolak. Catat! Ditolak, bukan diabaikan! Apakah dia harus menyerah? Setelah dua tahun memendam perasaan dan akhirnya memutuskan untuk bertindak, haruskah dia menyerah sekarang? "Melia," panggil Matteo saat lampu lalu lintas menyala merah. "Apa, Pak?" "Benar-benar tidak ada kesempatan untukku?" Melia menoleh. Hatinya menciut melihat ekspresi Matteo yang ... sedih? Keheningan yang tercipta membuat rasa dingin menyusup dalam hati Matteo. Kelihatannya wanita ini tidak akan memberi kesempatan pada seorang pun untuk menjangkau hatinya. "Baiklah. Lupakan saja." Matteo kembali menatap ke depan. Melia berdeham, "Mohon dimengerti, Pak. Saya baru dua tahun kehilangan suami. Mungkin ada orang yang beranggapan waktu dua tahun sudah cukup untuk move on. Tapi bagi saya belum." Hening sesaat. Lampu lalu lintas berubah hijau. Mobil kembali melaju dengan tenang. Tangan Melia terangkat menyentuh bagian tengah dadanya, "Akan tidak adil bagi siapa pun jika saya menjalin hubungan sementara hati saya masih milik Samuel." Saat ini Matteo merasa seperti lelaki b******k yang egois. Dia memang tidak akan dapat memahami apa yang diungkapkan Melia karena dirinya belum pernah merasakan kehilangan. "Lagipula banyak wanita yang lebih qualified untuk Anda di luar sana," lanjut Melia. "Aku mengerti, Mel. Aku akan menunggu." Jawaban tak terduga itu membuat mata Melia membulat. Bagian mana dari kata-katanya yang tidak dimengerti si bos?? Melia berpikir keras menelaah kembali perkataannya barusan, mencari-cari apakah ada celah yang memberi harapan. Sepertinya tidak ada! Lalu, kenapa Matteo masih bersikeras?? "Pak! Saya tidak memberi jangka waktu, 'kan?? Ini tidak ada masa kadaluarsanya loh!" Entah kenapa Melia semakin keki. "Memang tidak." "Terus?? Kenapa Anda bilang akan menunggu? Menunggu apa?" "Menunggu hatimu siap menerimaku." Matteo tersenyum menawan. Putus asa, Melia mendekap wajah. Suara erangan keluar dari mulutnya. "Hei, kamu kenapa? Sakit perut?" Matteo melirik cemas. Melia tidak menjawab. Malas meladeni bos kepala batu. Sungguh absurd, tidak bisa diterima. Dua tahun melalui kedamaian di kantor, kenapa sekarang harus berubah? Tidak cukupkah hanya saling mengagumi dari jarak jauh? "Kalau kamu tidak menjawab, aku akan belok ke dokter." "Pulang, Pak. Jangan bawa anak orang kelayapan," gerutu Melia. Beberapa saat kemudian mobil Matteo tiba di tempat tujuan. Melia segera turun. Tidak disangka lelaki itu menyusul. Belum sempat mengomel, sebuah mobil berhenti di belakang mobil Matteo. "Oh, s**t ...!" Melia panik ketika menyadari itu adalah taksi online yang ditumpangi Marta dan Kevin. Matteo sudah menyadari sejak beberapa waktu lalu dan sengaja turun dari mobil untuk menyambut calon mertua. "Mel? Ada tamu kok bukannya diajak masuk malah didorong pergi?" Marta tampak berbinar melihat ada lelaki pulang bersama putrinya. "Tante, apa kabar? Saya Matteo." Sebelum sempat dihentikan Matteo sudah maju menyalami Marta. "Hai. Melia nggak pernah cerita ada teman akrab di ... kalian teman sekantor, bukan?" "Dia sudah mau pulang, Ma," sambar Melia. "Hush, kamu ini." Matteo meringis, "Tidak apa-apa, Tante. Dia memang selalu segalak ini di kantor." "Pak! Besok saya tidak masuk loh!" ancam Melia. Namun, Marta sudah menggamit Matteo, mengundangnya masuk ke pekarangan rumah. "Itu siapa, Ma?" Kevin berdiri merapat sambil menatap heran. "Bos Mama. Ayo, masuk, ganti baju, bikin PR. Ada PR nggak?" Melia memaksa tersenyum. Kevin menggeleng. Tatapannya tidak berpindah dari jalur yang dilalui Matteo. Anak kecil itu menarik tangan Melia agar segera ikut masuk. "Ngapain buru-buru?" Melia tahu Kevin penasaran pada bosnya. "Ayo, Mama." Kevin menarik semakin kuat. "Kev, jangan jahilin uncle itu ya. Dia yang kasih gaji Mama loh." Pegangan tangan Kevin mengendur, "Nggak kok." Masuk ke dalam rumah Melia melihat Matteo sedang mengobrol dengan Marta. Lelaki itu duduk di sofa. Gayanya santai, tapi masih bersikap sopan karena di hadapan orang yang lebih tua. "Kevin masuk kamar, ganti baju dulu sana. Mama mau temani Oma," kata Melia. Kevin melirik sekilas ke ruang tamu kemudian masuk ke kamarnya sendiri. Terlihat sekali dia tidak rela pergi begitu saja. "Mel! Bikinkan minuman," seru Marta. Sambil merengut Melia beranjak ke dapur. Dia membuat seteko teh panas. Tawar saja, tanpa gula. Harapannya adalah supaya Matteo bisa cepat pergi. "Silakan." Melia meletakkan nampan berisi teko dan cangkir di tengah meja, menuangkan teh untuk mereka bertiga. "Thank you." Matteo melempar senyuman. Gestur kecil tersebut tidak luput dari perhatian Marta. Diam-diam dia senang karena lelaki tampan dan sopan ini menyukai putrinya. "Jadi kalian sering bertemu di kantor?" tanya Marta. "Dia bosku, Ma." "Oh, benaran?" Marta menatap Matteo. "Iya, benar, Tante." "Kalau begitu Mama salah bicara dong? Mama pikir kalian sedang dekat, malah hampir jadi pacar." Melia mendekap wajah. "Sebenarnya saya juga ingin seperti itu, Tante. Cuma Melia masih butuh banyak waktu untuk berpikir." Lagi-lagi Matteo menebar senyum. Kalau tidak duduk terlalu jauh ingin rasanya Melia menendang tulang kering Matteo kuat-kuat. Seenaknya saja bicara begitu di depan ibunya! "Oh, begitu? Mel?" Marta melirik putrinya. "Nggak seperti itu, Ma." Belum sempat ada yang berbicara Kevin berlari keluar dari kamar dan menghambur ke pelukan Melia. Matanya menatap Matteo seperti menatap musuh. "Nggak boleh! Mama punya Kevin!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD