Matteo menatap heran pada anak lelaki kecil yang sejak satu jam lalu menempel pada Melia. Dulu sewaktu wanita itu baru bekerja di kantornya Matteo pernah ikut menjemput Kevin pulang sekolah karena Marta sedang tidak enak badan. Sepertinya anak itu tidak ingat sama sekali karena menunjukkan sikap defensif terhadapnya.
"Emm ... Pak, kalau ada keperluan lain tinggal saja. Terima kasih sudah antar pulang." Melia meringis kegerahan karena Kevin menempel seperti gurita. Untung Marta sudah istirahat di kamar, kalau tidak dia pasti akan mencegahnya menyuruh si bos pergi.
"Aku tidak ada keperluan lain," sahut Matteo yang seolah tidak memahami situasi.
Kevin memicingkan mata seperti menatap musuh bebuyutan. Ya, dia tidak akan menyerahkan ibunda tercinta pada lelaki mana pun yang bukan Samuel. Ayah sudah tiada, dia tidak akan membiarkan ibunya dibawa pergi!
"Kev, katanya ada PR? Mana, ambil bukunya," pinta Melia.
"Hmph!" Kevin bersikeras menempel.
"Kevin. Ambil buku PR kamu." Intonasi Melia berubah lebih tegas.
Akhirnya, setelah bertahan sesaat, anak kecil itu beranjak pergi ke kamar. Beberapa detik kemudian Kevin berlari kembali membawa tas ransel kecilnya.
"Ini, Ma!"
"Keluarin bukunya dong." Melia tidak menyentuh ransel itu. Ini adalah salah satu latihan agar putranya mandiri.
Bergegas, Kevin membuka tas dan mengeluarkan dua buah buku. Dia juga mengeluarkan tempat pensil. Untung anak itu menurut disuruh mengerjakan PR di meja pendek. Matteo tersenyum geli melihat Kevin menulis sambil melirik-lirik ke arahnya.
"Hei, kalau mengerjakan PR yang fokus biar cepat selesai," celetuk Melia.
"Hmm ...," gumam Kevin.
"Santai saja, Mel. Kita tidak mengejar waktu, 'kan?" timpal Matteo.
Segera saja dua pasang mata—Melia dan Kevin—menatap keki.
"PR apa? Matematika?" Matteo memanjangkan leher untuk melihat.
Kevin langsung menutupi buku dengan tubuhnya.
Melia mengeluh dalam hati. Bukan sekali dua kali Kevin memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap lelaki yang berani mendekatinya. Sedikit banyak dia bisa memahami sikap posesif sang buah hati. Senang juga sih, karena membuat para lelaki enggan mendekat.
Kecuali Matteo Wilson.
Diam-diam Melia melirik ke arah lelaki bermata biru itu. Ketika pandangan mereka bertemu dia segera melengos.
"Something you want to say?" Matteo tersenyum manis.
"When will you leave?"
"Later. Anything else?" Matteo ingin tertawa melihat ekspresi Melia yang keruh.
"Hmmhh ... apa mau sekalian makan malam di sini, Pak?" sinis Melia.
"Karena kamu menawarkan, dengan senang hati."
Mimpi buruk. Melia membayangkan pekerjaannya terlantar akibat harus menemani Matteo, atau lebih tepatnya duduk di antara Matteo dan Kevin agar kedua bocah itu tidak bertengkar.
"Kalau ada hal lain yang perlu kamu lakukan, silakan saja. Aku bisa mengobrol dengan mamamu," kata si bos anteng.
Melia menatap ngeri. Meninggalkan Matteo berdua dengan Marta adalah ide buruk. Bisa-bisa keduanya mencapai kesepakatan, bekerja sama mendekatkan dirinya dengan Matteo!
"Pak, sudah sore. Sebaiknya pulang dan istirahat," bujuk Melia.
Matteo menatap heran, "Kenapa kamu begitu ingin aku pergi? Kehadiranku tidak mengganggu kalian, 'kan?"
"Masih ingat yang saya katakan di mobil tadi?"
"Masih."
"Dan? Bagian mana yang tidak Anda pahami?"
"Aku paham semuanya, Mel. Hatimu butuh waktu dan aku bersedia menunggu. Sementara itu aku akan menjagamu baik-baik, sebagai sekretaris maupun seseorang yang—"
"Tidak bisa!" potong Melia.
"Dekat? Seorang teman?" lanjut Matteo.
"Kita bukan siapa-siapa. Anda tidak berhak menjagaku. Anda hanya bersikap egois. Persis Kevin," desis Melia yang mulai kehilangan kesabaran.
Aneh memang, dua hari terakhir ini Melia merasakan perubahan drastis Matteo. Lelaki itu menunjukkan ... oh, bukan! Meluapkan keinginannya untuk menjalin hubungan istimewa! Sudah diabaikan dan ditolak kok tidak mempan ya?
Matteo berdeham, "Aku menjaga kamu sebagai sekretarisku. Oke?"
"Masa?"
"Dari orang-orang seperti Usman."
Melia mengejapkan mata, penasaran berapa banyak yang diketahui Matteo tentang kegenitan manager HRD itu. Mendadak dia teringat sesuatu ...
"Pak, kamera tersembunyi sudah dibuang, 'kan??" sergahnya.
"Ruanganmu sudah aman."
Melia memicingkan mata.
"Kamu tidak percaya? Besok kita periksa bersama."
Tahu-tahu Kevin menoleh ke arah Matteo, "Om, jangan ganggu Mama! Berisik tahu! Aku lagi bikin PR!"
Matteo mengangkat alis, "Oke. Sorry."
Suasana pun kembali hening damai. Matteo dan Melia tidak lagi bicara, hanya memandangi Kevin yang kembali menekuni bukunya. Sesekali lelaki bermata biru itu melirik ke arah Melia. Diperhatikan si sekretaris memejamkan mata. Mungkin lelah.
"Kamu istirahatlah, Mel. Aku bisa menemani Kevin."
Melia menoleh perlahan, "Serius?"
"Serius."
Setelah berpikir sesaat Melia pun memutuskan tidak ada salahnya mencoba. Dia pun beranjak dari sofa, "Oke. Kev, Mama ke kamar sebentar. Biar Om Matteo yang temani kamu, ya?"
Kevin menyeringai nakal, "Oke, Ma."
Mengabaikan firasat buruk yang melintas—karena Matteo sendiri yang menjerumuskan diri—Melia berjalan ke kamar dan menutup pintu. Penasaran, dia menempelkan telinga di daun pintu. Tidak ada suara. Mungkin dia hanya terlalu khawatir?
"Ya sudahlah ... tidur sebentar ah."
Beberapa menit berlalu. Matteo dan Kevin tidak bergerak dari posisi semula, seperti dua jenderal perang yang sedang menyusun strategi. Matteo menoleh ke arah Melia menghilang, kemudian kembali memperhatikan anak kecil yang nakal ini.
"PR-mu banyak?" tanya Matteo.
"Hmm." Kevin hanya menggumam.
"Kalau sudah selesai bikin PR mau makan di luar sama Om?"
Kevin menegakkan tubuh, "Di mana? Berdua saja?"
"Ajak mamamu." Matteo tersenyum tipis karena berhasil memulai komunikasi.
"Nggak mau."
Jawaban ketus tersebut membuat Matteo mati gaya. Dia memutar otak dan berkata lagi, "Ajak oma dan opa?"
"Hmm ... Opa belum pulang. Oma saja deh."
"Oke. Beri tahu mama dan omamu."
"PR-ku belum selesai." Kevin kembali menunduk di atas buku.
Matteo menekan pelipis. Dia memang belum pernah menghadapi anak kecil, tapi dia sudah bisa memutuskan bahwa Kevin adalah anak yang tidak penurut. Tipe anak lelaki yang posesif.
"Om. Kenal papaku nggak?" tanya Kevin mendadak.
"Tidak. Kenapa?" Matteo sedikit tertarik.
"Mama masih sayang papa."
"Aku tahu. Dia pernah cerita."
Kevin memiringkan kepala, "Om nggak bisa gantiin papa."
Matteo tersenyum geli, "Aku tidak mau menggantikan papamu, Kev."
"Iya, tapi kalau Om dekat mama, nanti aku harus panggil 'papa', 'kan? Nggak mau!" ketus anak kecil itu.
Hening sesaat sebelum Matteo menjawab, "Tidak akan semudah itu. Aku juga tidak mau kamu panggil 'papa'. Kamu bukan anakku."
Kevin menatap lawan bicaranya, "Oke. Deal."
"Tapi masih mau makan malam sama Om?"
"Hmm ... Mama nggak suka aku makan es krim setelah makan malam," rajuk Kevin dengan maksud terselubung.
Matteo ingin tertawa melihat aksi pasif-agresif tersebut, "Nanti Om minta supaya mamamu memberi ijin."
Wajah Kevin pun berbinar, "Om bisa?"
"Om coba ya? Kalau bisa bagaimana? Om boleh main ke sini lagi?"
Berpikir sejenak, Kevin menjawab, "Itu tergantung mama."
Matteo mengakui anak lelaki kecil berusia enam tahun ini memang pintar. Pandai bernegosiasi. Menyebalkan memang, tapi Matteo bersedia menurut demi mengambil hati Melia dan Kevin sekaligus.
Satu jam berselang ...
Kesadaran menarik Melia keluar dari alam mimpi. Sejenak dia rebah di tempat tidur memandangi langit-langit. Perlahan ingatannya terkumpul kembali dan dia melompat turun dari tempat tidur. Dia bersiap menyaksikan pertengkaran Matteo dan Kevin, tapi yang terlihat justru kedua bocah itu duduk bersebelahan di sofa.
"Bukan begitu, Om! Pakai tools ini!" Terdengar Kevin berkata gemas.
"Yang ini? Dari mana kamu tahu?" Matteo terlihat kagum.
Melia mendekat perlahan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dia melongok dari belakang Matteo. Rupanya kedua manusia itu sedang asyik bermain game. Melia mengenali handphone Matteo di tangan Kevin.
"Astaga, Kevin!"
Kedua bocah di sofa terlompat kaget.
"Kenapa main game di handphone orang? Kembalikan!" sergah Melia.
Kevin segera mengembalikan handphone kepada Matteo.
"PR-mu sudah selesai? Mana? Mama periksa dulu." Melia mengambil dua buku tulis dan duduk di lantai.
"Sudah dong, Ma." Kevin menyeringai.
Matteo berdeham, "Mel, beri tahu mamamu kita makan malam bersama."
Melia menoleh sengit. Kalau dia ikut makan malam pekerjaannya bisa tertunda lagi, alamat bergadang lagi! Maka dia menyahut, "Aku tidak bisa, Pak. Kami biasa makan malam di rumah."
"Kevin mau?" tanya Matteo.
"Iya, mau. Ma?" Kevin menatap sang ibunda penuh harap.
Merasa ada yang aneh Melia bertanya, "Kamu disogok apa? Nggak biasanya kamu mau ikut keluar sama teman Mama?"
Kevin merajuk, "Ayolah, Ma. Kevin bosan di rumah. Pingin main keluar."
Tatapan Melia beralih pada Matteo, "Pak, Anda janjikan apa untuk anak saya?"
Matteo mengangkat alis, "Kamu curiga sekali? Aku hanya mengajaknya makan di luar bersama kamu dan mamamu. Kalau papamu sudah pulang kita ajak juga."
"Boleh, Ma?" Kevin menarik lengan kaos Melia.
Tidak sampai hati melihat putranya penuh harap akhirnya Melia menyetujui. Dia memberitahu Marta akan rencana mereka, tapi wanita paruh baya itu lebih memilih untuk tinggal di rumah. Maka jadilah Melia dan Kevin duduk manis di mobil Matteo.
Terbayang dong betapa senangnya Matteo karena mereka bertiga terlihat seperti keluarga kecil bahagia. Waiter di restoran bahkan menyapa Melia sebagai 'nyonya'. Untung wanita itu tidak protes keras.
Hal yang membuat Melia sedikit senang adalah Matteo membiarkan Kevin memesan sendiri, tidak memaksa memesankan yang tidak sesuai dengan selera putranya. Dia hanya terkejut melihat waiter mengeluarkan seporsi besar banana split untuk Kevin.
"Om Matteo bilang aku boleh makan es krim, Ma," ucap Kevin melihat perubahan ekspresi ibunya.
"Pak?" Melia melontarkan tatapan tajam.
"Ya, aku menjanjikannya es krim. Sekali ini saja tidak apa, Mel." Matteo tersenyum.
Melia menghela nafas, "Cuma kali ini saja. Lain kali tidak boleh. Oke, Kev?"
"Tuh, Om. Maksudnya lain kali kita makan bersama lagi, aku nggak boleh es krim," ucap Kevin.
"Apa?? Maksud Mama bukan begitu!"
Matteo tersenyum geli, "Besok Om dan Mamamu yang jemput ke sekolah, bagaimana? Setelah itu kita—"
"Pak! Jangan cari kesempatan!"