Keesokan harinya...
"Selamat pagi, apakah Anda adalah Nona Emily?"
Mendengar suara seorang pria menyapanya dari arah sebelah kiri, Emily terlihat langsung menoleh untuk melihat siapa orang itu.
"Ya? Benar saya sendiri. Apakah Anda adalah Tuan Giorgio? Silahkan, mari duduk," ucap Emily terlihat sopan dan mempersilahkan tamunya itu duduk di sana.
Ya, sebenarnya urusan penjualan apartemen ini masih berlanjut sampai sekarang. Setelah semalam akhirnya Emily bisa terhubung dengan calon pembeli apartemennya, pagi ini juga dia langsung mengajak pembeli apartemennya itu untuk bertemu agar semua transaksi ini berjalan dengan tepat dan cepat. Emily benar-benar menunjukkan kesungguhannya untuk lepas dari semua kenangan yang berhubungan dengan Austin. Itu merupakan sebuah awalan dan langkah yang bagus.
"Maaf sebelumnya tapi, saya bukan Tuan Giorgio. Nama saya William dan saya datang ke sini untuk mewakilinya menemui Anda. Ini perihal transaksi pembelian apartemen, 'kan? Berhubung beliau sibuk, jadi Tuan Giorgio mengirimkan saya sebagai wakilnya kemari. Beliau bilang jika harga sudah disepakati kedua belah pihak jadi, silahkan tanda tangan di sini. Anda bisa membacanya lebih dulu jika mau dan uang pembayarannya akan langsung ditransfer ke rekening Anda tidak lama setelahnya. Sebenarnya juga Tuan Giorgio menitipkan pesan singkat untuk disampaikan kepada Anda. Apakah saya bisa mengatakannya?" ucap Tuan William nampak sopan sekali pada Emily di sana.
"Ya, katakan saja. Apa pesan itu?" ucap Emily sambil terlihat mulai membaca berkas kesepatakan jual beli apartemen itu dengan teliti. Meski ya, sebenarnya Emily sendiri tahu benar jika pasti berkas itu aman dan tidak akan mengandung unsur penipuan sedikitpun karena ya, yang Emily tahu adalah pembeli apartemennya ini seorang milyarder kaya raya. Pasti sejumlah uang yang sedikit itu tidak akan keberatan dikeluarkannya.
"Jika kau ingin mengambil kembali apartemen ini suatu hari nanti, kau bisa datang kapan saja kepadanya," ucap William, membuat Emily kemudian terlihat langsung menatapnya sebentar untuk beberapa waktu dan,
"Kurasa tidak akan pernah ada keinginan seperti itu di dalam diriku jadi, katakan pada Tuan Giorgio, jika dia mau melakukan apapun pada apartemen ini, aku tidak peduli. Terserah padanya saja," ucap Emily kemudian dengan cepat langsung menandatangi dokumen itu karena, dia ingin segera pulang.
"Baiklah. Akan kusampaikan padanya, nanti. Dan ya, tunggu sebentar ya. Aku akan melihat berkas inì dulu sebentar dan baru setelah itu aku akan melakukan laporan pada Tuan Giorgio," ucap William setelah menerima kembali berkas yang kini sudah ditanda tangani Emily itu dan melakukan pengecekan sebentar di sana.
"Baiklah. Kurasa tentang dokumen sudah beres, sekarang tinggal uangnya, 'kan? Tunggu ya," ucap William lagi kemudian terlihat mengeluarkan ponselnya dan sepertinya tengah mengirimkan pesan kepada seseorang di sana.
"Nah, selesai sudah. Silahkan cek rekening Anda. Apakah uangnya sudah dikirimkan dalam jumlah yang benar atau tidak?" ucap William, membuat Emily langsung mengecek apakah benar uangnya memang sudah dikirim dan benar saja. Ternyata sudah. Wow... cepat sekali. Cara kerja orang kaya memang beda.
"Tunggu? Ini terlalu banyak. Kesepakatannya tidak sejumlah ini," ucap Emily yang menyuarakan keberatannya saat William terlihat sudah berdiri dari duduknya dan hendak pergi.
"Anggap saja itu tip darinya, karena mungkin, kau adalah orang baik. Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu, sekarang. Semoga harimu menyenangkan," ucap William kemudian bergi dari sana, meninggalkan Emily yang masih tidak percaya saat melihat jumlah angka baru yang masuk ke dalam rekeningnya itu.
Bagaimana ya, Emily mau menganggap itu tip tapi, itu terlalu banyak. Karenanya Emily langsung berinisiatif mengembalikan selisih uang itu kembali kepada pengirimnya.
'Ya... uangnya memang lumayan, tapi rasanya tidak benar menerima uang yang bukan milik kita. Jadi, yasudah. Kukembalikan saja,' batin Emily dalam hari.
"Hai, Em? Kau di sini juga? Sedang apa?"
Emily lagi-lagi dibuat terkejut dnegan seseorang yang tiba-tiba menyapanya dari arah belakangnya di sana. Dan kali ini ternyata orang yang menyapanya itu adalah,
"Kakak? Kau yang sedang apa di sini? Aku tadi hanya sedang bertemu dengan pembeli apartemenku saja. Akhirnya semua urusan itu selesai. Kini apartemen itu sudah bukan milikku lagi. Aku sudah benar-benar bebas, sekarang. Tapi apa yang kakak lakukan di sini pagi-pagi begini?" ucap Emily terlihat penasaran karena ya, bukankah itu masih jam kantor?
"Kakak ke sini untuk membelikan sarapan Boss kakak. Dan ya, baguslah jika kau sudah menyelesaikan urusanmu. Kakak ikut senang karenanya," ucap Vivian kemudian duduk di dekat adiknya itu di sana.
"Ya, sepertinya resign adalah hal yang menyenangkan, mengingat kakak ternyata melakukan pekerjaan merepotkan seperti ini. Pasti melelahkan rasanya," ucap Emily membuat Vivian tertawa karena ya, sebenarnya definisi merepotkan yang dibayangkan adiknya sebenarnya tidak benar sama sekali.
"Tidak. Sebenarnya dia Boss yang baik. Dia menyuruh kakak membeli sarapan karena dia tahu kakak belum sarapan. Dia pasti akan memberikan makanan ini pada kakak nanti. Dan ya, seingat kakak juga kemarin ada beberapa pekerjaan yang menumpuk di meja kakak tapi, pagi ini berkas-berkas itu sudah tidak ada lagi. Pasti dia menyuruh orang lain untuk mengerjakannya. Dia adalah orang yang tegas tapi juga perhatian disaat yang bersamaan. Kau tidak akan menyesal menerima pengalaman kerja pertamamu bersamanya. Hari ini kakak akan berbicara padanya mengenai pergantian sekretaris itu. Berdoalah agar dia setuju. Tapi mengingat jadwalnya yang padat hari ini, kakak juga tidak yakin dia ada waktu luang untuk membicarakan ini, tapi semoga saja nanti sempat, ya," ucap Vivian membuat Emily tersenyum kecil sambil mengangguk di sana.
"Apakah bos kakak itu pria tua yang kolot atau mungkin pria dengan perut buncit dan kumis yang tebal? Maksudku, dia tidak begitu menyeramkan, 'kan?" ucap Emily berusaha menggali informasi mengenai calon bosnya itu.
"Kau bercanda, ya? Kau sungguh tidak tahu Boss kakak? Padahal dia terkenal sekali. Jangan bayangkan Boss kakak seperti itu karena dia itu masih muda dan tampan. Usianya mungkin masih seumuran dengan kakak. Atau ya, sedikit diatas kakak. Tapi dia masih single diusianya sekarang ini. Karenanya, dia menjadi incaran partner bisnisnya yang terus berusaha mengenalkan dan menjodohkannya pada putri mereka. Ya, siapa yang tidak mau memiliki pria tampan dan hebat seperti Boss kakak itu. Saat kau nanti bekerja padanya, jangan pernah sekalipun lengah dengan ketampanannya itu, ya. Atau dia akan marah nanti karena kau tidak bisa fokus," ucap Vivian membuat Emily terlihat tertawa kecil dan,
"Aku tahu sekarang. Kenapa kakak betah bekerja di sana dan kenapa juga boss kakak itu membiarkan kakak bekerja meski tengah hamil besar seperti ini. Karena kakak adalah satu-satunya yang tidak pernah terpesona sekalipun kepadanya, 'kan? Maksudku, jika wanita lain ingin bekerja dengannya karena ingin dekat dengannya, kakak disini murni hanya bekerja dengannya. Benar, 'kan?" ucap Emily membuat kakaknya tertawa kecil dan mengangguk cepat di sana, bersamaan dengan pesanan makanannya yang juga datang.
"Ya, soal pekerjaan dia perfeksionis dan sangat profesional. Dia tidak mau ada hal lain yang masuk ke dalamnya lingkungan kerjanya. Entah itu perasaan ataupun hal pribadi lainnya. Tapi ya, bukan berarti dia tidak normal. Dia masih menyukai wanita tapi, dalam pekerjaan, tidak boleh ada kata cinta dan wanita. Sudahlah. Kakak mau kembali sekarang. Kau berhati-hatilah saat pulang. Bye...," ucap Vivian kemudian bangun dari duduknya dan mengambil bungkus makanannya untuk dibawa bersamanya.
"Kakak juga berhati-hatilah. Dan semoga berhasil dengan pembicaraannya, ya," ucap Emily menyemangati kakaknya itu, sebelum akhirnya dia sendiri kemudian juga pergi dari sana.
"Apalagi yang akan kulakukan hari ini, ya? Oh... ya, aku ingin pergi ke suatu tempat,"
• • • • •
"Apalagi jadwalku setelah ini, Vi?" ucap pria yang saat ini tengah serius mengecek berkas-berkas miliknya di meja kebesarannya itu.
"Sebenarnya ada satu meeting terakhir yang harus Anda hadiri pukul 4 setelah ini. Meeting bersama Mr. Hendrik. Dan itu berarti masih 20 menit lagi. Tempatnya di Paradise Resort. Dan perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Jadi kalau tidak keberatan, bisakah saya meminta sisa 10 menitnya untuk membicarakan sesuatu dengan Anda? Sebentar saja," ucap Vivian terlihat mencoba membuat kesepakatan dengan Boss nya itu dan ya, dia rasa usahanya berhasil karena terlihat, Boss nya itu menutup berkasnya kemudian beralih menatapnya.
"Kurasa ini adalah masalah penting. Ada apa?" ucap Boss nya terlihat siap mendengarkan, membuat Vivian menarik nafas panjangnya sebelum mulai berbicara di sana.
"Begini, saya berencana resign dari perusahaan tapi, orang tua saya menyarankan agar saya hanya mengambil cuti saja selama beberapa bulan ke depan. Dan ya, saya sudah menyiapkan pengganti saya untuk menjadi sekretaris sementara Anda ke depannya. Saya yakin dan berani menjamin, dia tidak akan berbuat macam-macam atau bertingkah memalukan. Dia adalah adik saya. Dia sangat dingin dan juga cuek sekali soal pria. Saya yakin Anda tidak akan pernah mengeluh tentang perilakunya," ucap Vivian mencoba meyakinkan Boss nya itu mengenai Emily.
Bosnya terlihat tidak langsung menjawab di sana. Boss nya itu nampak menimbang-nimbang keputusannya sebentar dan,
"Baiklah. Sejauh yang kutahu, keputusan yang kau buat tidak pernah mengecewakan, Vi. Lakukan saja apa yang kau inginkan. Dan soal sekretaris pengganti itu, bawa dia padaku kapanpun kau siap dan jika bisa, secepatnya saja, ya. Tapi ingat ini, meski dia adikmu, aku tidak akan memperlakukannya secara spesial. Jika dia tidak bisa bekerja, maka aku akan memecatnya saat itu juga. Baiklah, aku akan pergi untuk meeting dulu sekarang. Berhati-hatilah saat pulang kantor nanti. Terima kasih untuk hari ini. Sampai jumpa besok," ucap Boss nya ramah dan perhatian seperti biasa, membuat Vivian terlihat mengangguk cepat, sebelum akhirnya Boss nya pergi keluar dari ruangan itu.
"Yesss! Ternyata dia setuju dengan usulan ini. Tapi tumben sekali dia langsung sepakat seperti ini. Sudahlah. Jika dia merasa penasaran dengan Emily, dia pasti mencari tahunya sendiri nanti. Dia selalu seperti itu," ucap Vivian kemudian terlihat menyusul keluar dari ruangan itu dan bersiap pulang ke rumah.
Sementara itu di tempat Emily berada saat ini...
"Ya... apartemen ini bagus, tapi kurasa harganya sedikit lebih mahal dari apartemen suite milikku sebelumnya. Apakah tidak ada lagi unit lainnya? Atau mungkin tolong turunkan harganya sedikit," ucap Emily pada sales properti yang sedari tadi sudah menemaninya berkeliling melihat-lihat apartemen baru yang ingin dibelinya itu.
Ya, bukannya Emily tidak mampu membeli unit apartemen itu, hanya saja, dia merasa harganya sedikit tidak masuk akal. Dan lagi pula, ukuran apartemen itu sepertinya lebih kecil dari pada miliknya sebelumnya.
"Maaf, Nona. Saya hanya perantara saja, jadi saya tidak berani dan tidak bisa melakukan itu," ucap sales itu sopan, membuat Emily akhirnya harus bisa menelan kekecewaannya karena ya, untuk yang ke-3 kalinya, dia akhirnya harus melepaskan apartemen yang lagi-lagi sudah menarik hatinya itu.
"Baiklah. Kalau begitu aku akan memikirkannya dulu, ya. Aku akan menghubungimu lagi nanti jika aku deal dengan harganya. Baiklah, selamat siang dan selamat kembali bekerja, ya," ucap Emily sopan kemudian bergegas pergi dari sana dan melupakan saja niatnya hari ini untuk membeli apartemen baru sebagai pengganti apartemennya yang lama.
Ya, mungkin saja, hari ini dia masih belum beruntung. Dia akan mencobanya lagi lain kali.
"Sebaiknya aku beli buku saja. Ada satu buku yang kata kakak bagus untuk reset skripsi jurusanku, 'kan? Lebih baik aku membelinya sendiri dari pada merepotkannya lagi," ucap Emily kemudian terlihat bersiap untuk keluar dari lift yang sudah mengantarkannya sampai di lobby itu.
Emily berjalan santai keluar dari dalam lift dan berjalan cepat menuju pintu keluar gedung apartemen itu tapi, baru saja dia akan menggapai gagang pintunya, tiba-tiba tangan seseorang terlihat mencekal kuat pergelangan tangannya di sana.
"Akhirnya kita bertemu lagi setelah kau menghinaku habis-habisan marin. Akan kupastikan hari ini kau mendapat penghinaan yang sama seperti yang kau lakukan padaku kemarin Emily. Ayo ikut aku," ucap Austin yang kemudian menyeret Emily untuk ikut pergi bersamanya di sana.
"Austin? Bagaimana kau bisa ada di sini? Lepaskan aku!!!" ucap Emily meronta meminta untuk dilepaskan karena ya, entah Austin ingin ke mana menyeretnya kasar seperti itu dihadapan banyak orang yang tengah berlalu lalang dipinggir jalan di sana. Hal itu sangat memalukan. Sungguh.
"Kau bisa saja minta berpisah dengan baik-baik padaku kemarin, tapi kenapa kau menghinaku seperti itu? Harga diriku terluka Emily, dan aku ingin kau juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan agar dikemudian hari, kau akan berpikir dua kali untuk melakukan hal seperti itu lagi," ucap Austin membuat Emily langsung saja tertawa mengejek setelah mendengar ucapan pria itu meski ya, sebenarnya ketakutan itu masih ada dan belum hilang.
"Harga diri kau bilang? Harga dirimu terluka? Kaulah yang sudah melakukan hal gila dengan merencanakan semua itu kemarin? Kau hampir membuat hidupku hancur. Bagaimana bisa kau menjual tubuhku kepada Alex? Kau pikir kau siapa bisa melakukan itu? Kau orang paling sakit, Austin. Dan kurasa aku sudah gila karena menyukaimu," ucap Emily dengan tegas dan juga volume suara yang keras, berharap orang-orang yang ada disekitarnya mengerti kondisinya yang terdesak saat itu dan mau menolongnya untuk bebas dari Austin, tapi nihil. Orang-orang terlihat acuh dan tidak peduli sama sekali.
Karenanya Emily memutar otaknya. Dia tidak bisa pasrah saja dibawah kendali Austin seperti itu. Jika dia kalah hari ini, sampai kedepannya nanti Austin pasti akan terus bertindak semena-mena kepadanya.
"Tidak. Sebenarnya kau tidak gila. Hanya aku saja yang terlalu mempesona dan_____ Awwww!!!!!"
Emily langsung menggigit tangan Austin yang mencekalnya itu sebelum akhirnya dia lari dan kabur menjauh dari pria itu.
Emily tidak peduli jika semua orang tengah memandangnya aneh di sana. Yang jelas pergi dan terbebas dari Austin adalah hal yang utama saat ini.
"Em!!! Jangan lari!!! Tunggu!!!"
Emily tidak peduli saat mendengar seruan-seruan Austin dibelakangnya yang terus mengejarnya itu.
Dan ya, karena merasa panik, tanpa pikir panjang Emily langsung berlari menuju jalanan yang ramai lalu lalang mobil itu, berniat menyeberang tapi, dia tidak menyadari dari arah berlawanan ada sebuah mobil dengan kecepatan yang sebenarnya rata-rata saja tapi, ya, karena melihat Emily yang menyeberang tiba-tiba, akhirnya mobil itu juga mengerem mendadak hingga menimbulkan suara berdecit yang menarik perhatian, dan Emily sendiri yang terkejut karena hampir tertabrak, langsung jatuh tersungkur ke jalanan aspal itu.
"Akhirnya. Kau berhasil kutangkap juga. Ayo! Sekarang ikut bersamaku!!!" ucap Austin yang kemudian menarik paksa tangan Emily agar bangun dari tapi, tentu saja Emily meronta ingin dilepaskan sambil memukul kap mobil orang yang hampir menabraknya itu, sambil berteriak meminta tolong.
"Lepaskan aku Austin!!!! Kau membuat kuta jadi pusat perhatian!!! Kakiku juga terluka!!! Lepaskan!!!!" ucap Emily masih terus berusaha melepaskan cekalan tangan Austin dengan susah payah dan,
"Ada apa ini? Apa yang kau lakukan pada wanita itu?"
Bersambung...