SCWC 4. So? Are We Making Up?

1525 Words
Setelah mendengar pertanyaan beruntun kakaknya itu, Emily terlihat tertawa mengejek, seolah semua yang dikatakan kakaknya itu adalah lelucon anak-anak yang mengundang tawa. Apalagi saat suara kakaknya terdengar bergetar tanda khawatir. "Kenapa kakak terdengar khawatir begitu? Bukankah seharusnya kakak senang akhirnya aku berpisah dengannya? Ya... sekali lagi kakak benar. Dia bukanlah pria yang baik. Karenanya aku memutuskan berpisah dengannya. Sudah. Hanya itu. Dan ya, aku sudah baik-baik saja sekarang. Bahkan aku berencana menjual apartemenku karena aku tidak mau bayang-bayang pria tidak tahu malu itu membayangiku seumur hidup. Bagaimana? Langkah yang kuambil ini sudah dewasa, 'kan? Perlahan aku akan belajar untuk tidak merepotkan kalian lagi. Karena ya, akan ada waktunya di mana nanti aku akan pergi dari rumah ini dan harus menghadapi kehidupan keras ini sendiri, 'kan?" ucap Emily yang masih terdengar sinis, namun ya, ada yang berbeda dengan caranya bicaranya kali ini. Meski terdengar sinis, suara Emily juga terdengar sangat tenang sekali. Sepertinya wanita itu menjadi lebih dewasa setelah kejadian kemarin. Saat Austin ternyata bermain licik kepadanya. Dan ya, mungkin juga, secara tidak sadar, sikapnya ikut menjadi berubah sebagai bentuk perlindungan terhadap diri sendiri, agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi. "Baiklah, ya. Kakak memang merasa lega akhirnya kau lepas dari pria jahat itu tapi, kakak sama sekali tidak senang melihatmu penuh kesedihan seperti ini. Kau tahu kenapa selama ini kakak membiarkanmu tetap bersama Austin walaupun kakak tidak suka padanya? Itu karena kakak melihat kau bahagia bersamanya. Selama kau bahagia dan bisa terus tertawa bersamanya, maka kakak akan rela mengesampingkan perasaan lainnya. Kakak memang terus menerus menunjukkan ketidak sukaan kakak pada Austin tapi, tidak ada maksud lainnya selain hanya agar kau bisa sadar dan mengerti bagaimana sifat dari pria itu yang sebenarnya. Dan ya, syukurlah kau sudah tahu sekarang, disaat semuanya belum terlambat. Setidaknya kekecewaan yang kau rasakan ini akan bisa sembuh dengan cepat juga nantinya. Ya, semoga saja," ucap Vivian membuat Emily yang sejak tadi fokus menatap layar laptopnya, kemudian terlihat mendongak sedikit untuk melirik kakaknya itu. Ada perasaan sedikit tidak enak di dalam hati Emily saat melihat bagaimana pancaran mata tulus kakaknya di sana. Dia merasa sudah bersikap berlebihan padanya tadi. Apakah lagi-lagi dia hilang kendali? Oh... astaga. "Maafkan aku. Maaf karena sudah berkata sinis dan kasar pada kakak seperti tadi. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk_____" "Tidak. Kakak yang meminta maaf karena terlalu menekanmu selama ini. Seharusnya kakak bisa mengerti perasaanmu. Kakak terlalu terobsesi untuk menjadikanmu seperti cerminan diri kakak. Kakak sadar sudah terlalu mengatur banyak hal dalam hidupmu. Seharusnya yang kakak lakukan hanya membantu dan membiarkanmu yang meminta saran sendiri pada kakak. Maafkan kakak, ya," ucap Vivian yang membuat Emily langsung melempar laptopnya ke samping dan langsung berhambur memeluk kakaknya di sana, dengan sangat erat sekali. "Entah dibutakan oleh apa akal sehatku selama ini, hingga dengan bodohnya lebih memilih percaya dengan orang luar dari pada keluargaku sendiri. Kumohon, jika bisa, maafkanlah aku. Dan ya, jangan salahkan dirimu sendiri karena terlalu mengaturku selama ini. Jika aku jadi dirimu dan memiliki adik yang sangat sulit diatur seperti ini, aku pasti akan merasa cemas setiap harinya. Yang kau lakukan itu sebenarnya sudah benar dan seharusnya aku berterima kasih atas semua perhatian yang kau curahkan padaku. Tapi yang kulakukan selama ini justru malah______" "Sudah. Hentikan. Kau juga jangan menyalahkan dirimu sendiri seperti ini. Bagaimana jika mulai sekarang kita memulai hubungan kakak beradik ini dengan cara dan peraturan baru? Di mana tidak akan ada hal apapun yang akan membuat kita bertengkar ataupun berselisih paham lagi kedepannya. Seperti aku yang tidak boleh ikut campur dengan urusanmu sebelum kau menceritakan semuanya sendiri kepadaku, ataupun juga hal-hal kecil lainnya yang mungkin terdengar remeh tapi sebenarnya itulah hal yang kita perlukan, agar hubungan kakak beradik ini bisa terjalin lebih baik lagi nantinya," ucap Vivian membuat Emily terlihat mengangguk cepat tanda jika dia setuju dengan usulan kakaknya itu. Ya, sebenarnya yang keduanya perlukan adalah komunikasi yang baik saja. Hanya itu. Karena komunikasi yang baik adalah obat dari segala perselisihan dan masalah yang terjadi dikedua belah pihak. Dan ya, ditambah lagi dengan pikiran yang tenang dan juga dingin, pikiran yang tidak mudah untuk membuat kesimpulan juga keputusan, tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. "Ya, Kak. Aku setuju. Jika ada hal yang mengganggu kita satu sama lainnya, katakan saja dengan jujur mulai sekarang. Aku juga akan mencoba belajar untuk menerima masukan baik dari kakak mulai sekarang, meski ya, terkadang ucapan kakak terdengar menyakitkan hati tapi ya, sebenarnya hanya cara penyampaiannya saja yang buruk, apa yang coba disampaikan kakak sebenarnya tuh baik dan juga untuk kebaikanku juga. So? Are we making up?" ucap Emily kemudian mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan kakaknya sebagi bentuk peresmian jika mereka berdua sudah berbaikan sekarang. "Ya. Tentu saja kita berbaikan sekarang. Kenapa tidak?" ucap Vivian kemudian menjabat tangan adiknya dengan pasti dan penuh keyakinan di sana. "Sebenarnya kakak ke sini bukan untuk bertemu denganmu awalnya. Kakak ke sini karena ingin membagi sebuah cerita saja pada Mommy dan Daddy. Tapi saat ingat kalau kita juga masih dalam ketegangan, jadi kakak mencoba sekalian memperbaiki hubungan kita juga sekarang. Sebaiknya kakak pulang saja sekarang. Sudah sore dan kakak juga letih sekali. Sepertinya resign memang keputusan yang tepat. Sebaiknya kakak juga tidak perlu mendengarkan usulan Mommy dan Daddy tadi. Kakak tidak mau membuatmu kesulitan. Kalau begitu kakak pulang dulu, ya," ucap Vivian kemudian mengusap pelan pipi adiknya sebelum akhirnya bangun dari duduknya dan berniat pergi tapi, "Apakah aku boleh tahu usulan tentang apa itu? Jika itu memang menyangkut denganku, bolehkah aku mendengarnya?" ucap Emily membuat Vivian terlihat menatap adiknya itu lama dan, "Jadi begini, kau lihat sendiri bagaimana kondisi kakak saat ini. Hamil besar seperti ini, terasa membuat ruang gerak kakak semakin terbatas. Selain beresiko, kakak juga menjadi sering lelah jika terus dipaksakan untuk bekerja. Karenanya, kakak berencana untuk resign. Suami kakak bilang untuk membicarakannya kepada Mommy dan Daddy lebih dulu agar mereka tahu dan ya, ternyata mereka berdua juga setuju tadi. Jika kakak keluar dari kantor. Tapi mereka memberikan ide lainnya, jika kakak tidak perlu resign karena menurut mereka, tidak mudah mendapatkan pekerjaan dengan posisi itu dijaman sekarang ini. Dan mereka bilang agar jika, kakak mengambil cuti saja selama beberapa waktu ke depan dan......" ucap Emily terlihat sengaja menggantungkan ucapannya di sana sambil terlihat menatap cemas ke arah Emily, karena takut adiknya itu akan kembali marah setelah mendengar hal yang akan dikatakan selanjutnya. "Dan?" tanya Emily terlihat penasaran dengan kelanjutan cerita kakaknya itu. "Dan mereka mengusulkan agar, sementara kakak cuti, kau menggantikan kakak bekerja di kantor, agar juga selama itu kau bisa belajar dan berbaur dalam dunia kerja lebih cepat. Mereka bilang, itu adalah rencana yang cukup baik dari pada melihatmu bermalas-malasan saja di rumah. Tapi tidak. Sudahlah, jangan ambil hati hal itu. Kakak akan resign saja. Meski hanya suami kakak yang bekerja, sebenarnya itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Kakak bekerja selama ini hanya karena senang saja saat berhasil sebuah pencapaian. Seperti memenangkan proyek dan tender bersama bos, itu adalah hal yang luar biasa menurut kakak. Sudahlah ya, kakak pulang saja dulu, sekarang," ucap Vivian kemudian mengelus kepala adiknya itu sebentar sebelum akhirnya dia berniat pergi dari sana tapi, lagi-lagi Emily menghentikannya. "Bekerja ya? Kira-kira, jika aku memang jadi menggantikan kakak, harus berapa lama kira-kira aku akan bekerja di sana?" ucap Emily yang sungguh mengejutkan Vivian di sana karena, sama sekali dia tidak menyangka jika adiknya itu akan berbicara seperti itu. "Kira-kira 4-5 bulan. Hingga kakak bisa mengatur semuanya untuk anak kakak ini. Kau tahu sendiri. Baby yang baru lahir sangat bergantung minum s**u ibu, 'kan? Tapi ya, ku akan berusaha untuk sedikit lebih cepat juga nantinya. Tapi sungguh, Em, kakak tidak mau membuatmu merasa terpaksa dan tertekan karena permintaan ini. Sudahlah. Biarkan saja kakak resign. Kakak akan mendedikasikan hidup kakak kepada keluarga saja kedepannya. Bukankah itu bagus. Kakak bisa sering-sering bertemu denganmu juga nanti," ucap Vivian yang ya, mencoba membuat adiknya itu tidak gegabah dan memutuskan untik memikirkan kembali keinginannya itu tapi, "Aku tahu betapa kakak mencintai pekerjaan sekretaris ini meski aku tidak tahu jenis pekerjaan macam apa dan bos macam apa yang kakak tangani selama ini. Tapi ya, jika aku bisa membantu maka baiklah, aku akan menggantikan kakak sementara waktu di sana. Tapi tentu saja kakak tahu sendiri aku bagaimana, 'kan? Mudah saja aku mengatakan sanggup menggantikan kakak tapi, aku yang tidak kompeten, pemalas, dan sama sekali tidak pernah serius ini pasti bukannya bekerja di sana, malah nantinya bisa merepotkan saja. Jadi, bagaimana sebaiknya ya?" ucap Emily membuat Vivian juga terlihat berpikir karena ya, memang benar semua yang diakui adiknya tadi tentang dirinya sendiri namun, Vivian tiba-tiba mendapatkan ide gila yang entah berasal dari mana. Karena pasalnya idenya kali ini terdengar sangat tidak mungkin. "Tenang saja. Kakak akan membantumu. Kakak akan melakukan pelatihan khusus untukmu dan dalam beberapa hari, kakak pastikan kau akan menjadi seorang sekretaris yang memenuhi kualifikasi. Jadi, kita deal?" ucap Vivian kemudian terlihat mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Emily di sana, sedangkan Emily sendiri terlihat menelan ludahnya susah, karena dia yakin, pelatihan khusus yang dimaksud kakaknya itu pasti akan penuh penyiksaan dan tekanan nantinya. Membayangkannya saja sudah membuat Emily merasa takut karenanya. Tapi disisi lain, Emily ingin membuktikan pada Mommy dan Daddynya jika dia bisa melakukannya. Jika dia bisa menjadi seperti kakaknya. "Baiklah, deal," Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD