SCWC 6. Please... Don't!

1748 Words
"Tunggu saja di sini. Biarkan aku keluar dan menyelesaikannya sendiri. Tapi jika keadaan memburuk, bantu aku," Ucap pria yang duduk di kursi penumpang mobil yang tadi hampir saja menabrak Emily itu, sebelum akhirnya dia keluar dari dalam mobil di sana. Dan tentu saja, melihat bagaimana sikap kasar pria yang tiba-tiba datang dan seperti ingin menyeret dan membawa paksa Emily di sana, membuat pria itu langsung bertindak melerai dan menanyai apa maksud pria itu berbuat seperti itu kepada Emily. "Kau tuli, ya? Kubilang apa yang kau lakukan padanya? Lepaskan dia! Lepas, kubilang! Dia kesakitan dan enggan pergi bersmamau! Jangan memaksanya seperti itu!!" ucap Pria itu terlihat membela Emily, dan karenanya takut, Emily langsung bersembunyi dibalik tubuh pria itu karena ya, hanya pria itu satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya dari Austin saat ini. "Jangan ikut campur urusanku dengannya. Kau hanya orang asing di sini. Kemarilah, Em. Ayo kita pergi," ucap Austin yang masih tidak menyerah untuk mengganggu Emily di sana. Ketakutan Emily semakin menjadi-jadi. Dia tidak mau ikut bersama dengan Austin. Dia berharap pria itu bisa membawanya pergi dari sana agar Austin tidak bisa macam-macam lagi kepadanya. Tapi bagaimana cara menjelaskannya kepada pria itu. Emily yang bingung langsung mencengkeram kuat jas bagian belakang pria itu, berharap hanya dengan kode itu saja pria itu bisa mengerti situasinya yang sedang terjepit saat ini. Dan ya, nampaknya pria itu mengerti karena terlihat dia melirik ke belakang sebentar, sebelum akhirnya membuka suara lagi. "Kau tidak bisa membawa korban kecelakaan dengan kasar seperti itu. Maaf tapi, aku harus membawanya ke rumah sakit dulu mengingat kakinya terluka seperti itu. Aku tidak mau dianggap pelaku kejahatan di sini. Apalagi lihatlah ke sekeliling, banyak saksi mata yang melihat kejadian ini. Kau mengerti maksudku, 'kan? Lagi pula aku juga bukan orang asing di sini. Aku mengenalnya. Dia Emily, 'kan?" ucap pria itu yang nampaknya sudah mengerti benar apa yang terjadi antara Austin dan Emily, karenanya dia berniat membantu. Austin terlihat terkejut begitu juga Emily sendiri. Dan ya, benar, pria yang hampir saja menabrak Emily itu adalah Giorgio. Pria yang sama dengan yang sudah menolongnya keluar dari nasib buruk kemarin. Tapi sepertinya Emily belum menyadarinya. Mengingat pakaian dan gaya rambut Giorgio di sana sedikit berubah dan lebih terlihat rapi dari pada kemarin. Austin sendiri kemudian terlihat melihat sekelilingnya dan benar saja mereka menjadi pusat perhatian. Apalagi karena kejadian tadi, lalu lintas juga sedikit tersendat karenanya. Austin terlihat ketakutan dan perlahan melangkah mundur di sana. "Urusan kita belum selesai, Em. Kau mungkin lolos kali ini tapi lain kali, kupastikan tidak akan ada orang yang bisa membantumu lagi," ucap Austin kemudian berjalan menjauh dan pergi dari sana. Emily sungguh merasa sangat lega karena akhirnya dia bebas dari cengkeraman Austin untuk kali ini. Ya, dia berharap tidak akan ada kesempatan lain kali untuk pria itu bisa berlaku kasar seperti itu lagi kepadanya. Ya, Semoga saja. Akhirnya Emily bisa merasa lega juga karena sudah terlepas dari ketegangan yang tercipta antara dirinya dan Austin tadi tapi, entah mengapa rasanya tubuhnya seketika merasa lemas dan pandangannya terlihat berunang-kunang di sana. Emily mencoba menahan tubuhnya agar tidak jatuh dengan bertumpu pada mobil tapi, "Astaga?!!! Hei!! Bangun?!! Ron! Bantu aku!!" Skip... Emily perlahan membuka matanya dan terasa pusing sekali rasanya di sana. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi terakhir kali dan ya, dia ingat jika dia pingsan dan setelahnya, dia tidak tahu apa yang terjadi. "Berbaringlah saja. Dokter bilang kau butuh cairan, karenanya kau tidak boleh ke mana-mana sampai infus itu habis," ucap Giorgio membuat Emily akhirnya mau tidak mau menurut saja dengan terus berbaring sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing itu. "Oh ya, tadi ada telepon masuk di dalam ponselmu dan ternyata dia kakakmu. Sebentar lagi dia pasti datang ke sini dan_____" "Apa? Kakakku? Jadi kau memberitahunya jika aku di sini? Oh tidak! Dia sedang hamil. Jika dia panik dan khawatir, itu tidak bagus untuknya," ucap Emily kemudian bangun dan langsung berusaha mencabut selang infus yang menancap pada punggung tangannya itu tapi, "Apa yang kau lakukan? Kau khawatir mengenai kakakmu, 'kan? Pikirkan bagaimana reaksinya saat melihatmu lemas karena tidak menerima pengobatan dengan benar? Bukankah akan lebih baik jika kakakmu nanti datang dan melihatmu sudah dalam keadaan baik-baik saja? Sudahlah. Tidur dan beristirahat saja. Lagi pula kakakmu sudah terlanjur mau ke sini juga. Tidak ada gunanya menyembunyikan kondisimu yang memang sedang tidak baik-baik saja ini. Jika kau tidak bisa menjelaskannya, biar aku yang menjelaskan segalanya padanya nanti. Tenang saja," ucap Giorgio memperingatkan, membuat Emily terlihat menurut karena ya, dia merasa tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik. Tubuhnya lemas dan kepalanya pusing. Ditambah kakinya terasa sedikit nyeri, sepertinya karena dia sempat terjatuh tadi. "Kenapa kau melihatku begitu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Atau kau sedang merasa kesal padaku?" ucap Giorgio saat merasa ada yang aneh dengan tatapan Emily di sana kepadanya. "Kurasa aku memang mengenalmu. Karena kau tadi menyebut namaku di depan Austin dan mengatakan jika kita bukan orang asing, itu berarti kita sudah pernah bertemu sebelumnya, 'kan? Aku juga merasa pernah melihatmu memang, tapi dimana ya? Aku sedang berusaha untuk______" Seketika Emily langsung terdiam saat setelah bisa mengingat siapa dan di mana dia bertemu dengan pria itu. "Kau pria sama dengan yang kemarin menolongku, 'kan? Astaga, aku merasa malu sekali. Tapi kuucapkan terima kasih untuk bantuannya lagi kali ini. Terima kasih banyak sudah menolongku lagi hari ini. Entah apa yang akan terjadi jika pria itu tadi berhasil menangkapku. Dialah pria yang menjebakku untuk bertemu dengan Alex di hotel kemarin. Dia pria gila yang aku sendiri merasa bingung kenapa aku bisa sempat menyukai dan mencintainya sebanyak itu kemarin. Aku sangat-sangat bodoh, 'kan?" ucap Emily dengan terlihat mengalihkan pandangannya ke arah lain, karena malu mengakui semua itu. "Semua orang memang harus mengalami masa pahit di dalam hidup, untuk bisa mendapatkan pelajaran berharga darinya. Ya, anggap saja kau sedang tidak beruntung karena dipertemukan dengan orang seperti Alex dan mantan kekasihmu tadi, tapi lihat sisi baiknya. Kau menjadi tahu jika wajah lugu dan tampang luar yang terlihat baik, tidak selalu memiliki sifat baik juga dalam diri mereka. Jadi mulai sekarang lebih berhati-hatilah lagi. Karena tidak semua orang asing juga mau membantu. Terlihat sekali dengan bagaimana cara kau berlari melarikan diri ditengah kerumunan banyak orang tadi. Beruntung kau jatuh tepat di depan mobilku," ucap Giorgio yang ya, penuh dengan peringatan kepada Emily. "Ya, baiklah. Kurasa aku juga tidak akan keluar rumah dulu untuk sementara ini. Aku takut pria itu melakukan hal jahat lagi seperti tadi. Sekali lagi terima kasih, ya. Jika boleh tahu, siapa namamu?" ucap Emily yang memang belum sempat mengetahui nama Giorgio kemarin. "Aku Giorgio," ucap pria itu dengan nada suara datarnya dan tanpa ekspresi seperti yang biasa dilakukannya. "Baiklah. Salam kenal, ya. Tapi kurasa, lebih baik kau pulang sebelum kakakku datang ke sini. Atau dia bisa salah paham dan menyalahkanmu nanti," ucap Emily membuat Giorgio menggeleng pelan di sana. "Karena dia sudah mendengar suaraku dan menyuruhku untuk menungguimu di sini sampai dia sampai, jadi aku akan bertahan disini sampai kakakmu itu datang. Lagi pula, kau pasti tidak bisa menjelaskan semua yang terjadi padanya, 'kan? Jadi biar aku saja yang____" "Tolong jangan memberitahu kakakku tentang masalah ini. Kumohon. Biarkan dia tidak tahu tentang masalahku dan Austin. Katakan saja jika tadi aku menyeberang jalan dengan ceroboh, karenanya aku bisa berakhir seperti ini," ucap Emily dengan wajah memelas di sana membuat Giorgio sebenarnya tidak bisa melakukannya karena dia tidak suka sebuah kebohongan seperti itu tapi, "Kebenaran tidak akan hilang hanya karena kita menutupinya dengan sebuah kebohongan. Cepat atau lambat nantinya kakakmu pasti tahu sendiri nanti. Kau yakin ingin berbohong padanya sekarang? Kau tidak takut jika nantinya dia tahu sendiri semuanya dan malah merasa kecewa karena adiknya tidak mau berbagi masalah dengannya?" ucap Giorgio yang sukses membuat Emily merasa bimbang dan bingung tapi tetap saja, dia tidak mau kakaknya itu tahu masalahnya sekarang. Mungkin nanti Emily sendiri yang akan menceritakan semuanya. Dia kan menunggu waktu yang tepat lebih dulu. "Sudahlah. Katakan saja seperti yang kuminta tadi. Soal kakak, biar aku yang_____" Cklek "Emily!! Kau baik-baik saja, 'kan? Apa yang terjadi? Astaga! Lihatlah wajah pucatmu itu," ucap Vivian setelah tadi menerobos masuk dan langsung berlari cepat mendekati ranjang rawat adiknya itu. "Tenanglah, Kak. Aku baik-baik saja. Sebenarnya juga kau tidak perlu sampai ke sini. Ini hanya luka kecil," ucap Emily mencoba membuat kekhawatiran kakaknya itu mereda di sana. "Tetap saja kau sampai masuk rumah sakit seperti ini, 'kan? Bukankah tadi pagi saat kita bertemu di restoran, kau masih baik-baik saja? Tapi kenapa sekarang bisa begini?" ucap Vivian dengan kekhawatiran yang sepertinya belum mereda di sana. "Tenang saja. Dia akan baik-baik saja dan bisa pulang setelah infusnya habis. Jangan terlalu cemas dan khawatir seperti itu. Tenanglah, Vi," ucap Giorgio yang tentu saja langsung membuat Vivian terlihat membalikkan badannya untuk melihat pemilik suara itu dan ternyata, "Boss? Jadi Anda yang sudah menolongnya? Astaga, terima kasih banyak kuucapkan, ya. Tapi tunggu, itu artinya kau melewatkan meetingmu tadi ya? Bagaimana bisa kau melakukan itu? Jika nanti mereka marah dengan ketidakhadiranmu maka_____" "Vi... tolong tenanglah. Aku sudah meminta mereka dengan baik-baik untuk mengganti jadwal pertemuannya. Sekretarisnya akan menghubungimu nanti. Jadi, sudah jangan dipikirkan lagi. Okey?" ucap Giorgio membuat Vivian terlihat menghembuskan nafas panjangnya merasa lega. "Tunggu sebentar, jadi kalian berdua ini saling mengenal?" tanya Emily merasa bingung dan tidak percaya di sana. "Katakan dulu, sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berakhir di rumah sakit begini?" ucap Vivian pada adiknya itu mengharapkan jawaban tapi Emily malah memalingkan wajahnya terlihat enggan menjawab. "Dia tadi hanya menyeberang jalan sembarangan saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Vi. Setelah apa yang terjadi hari ini, dia pasti akan lebih berhati-hati lagi lain kali. Benar 'kan, Em?" ucap Giorgio membuat Vivian terlihat menatap adiknya itu penuh harap. "Ya ya... aku akan lebih berhati-hati lain kali," ucap Emily yang ya, agar kakaknya itu merasa lebih baikan saja setelah mendengarnya. Dan benar saja, Vivian terlihat langsung menampilkan senyum manisnya di sana. "Karena kebetulan kalian bertemu di sini, maka sekalian kuperkenalkan saja ya. Em, dia adalah Boss kakak yang nanti akan kau jaga selama cuti dan Mr. Giorgio, ini adikku Emily. Dia adalah kandidat yang kucalonkan menjadi sekretaris pengganti dirirku selama cuti beberapa bulan ke depan," ucap Vivian membuat Giorgio dan Emily saling menatap satu sama lainnya seolah sedang bertukar pikiran satu sama lainnya tanpa berucap sepatah katapun. 'Oh tidak, jadi wanita ceroboh, pemaksa dan pembohong ini yang akan menjadi sekretaris sementara untukku nantinya? Itu adalah kabar buruk,' 'Ah, sial. Dia pasti sudah meragukan kemampuanku sekarang karena sejak kemarin aku terus menerus terlibat dalam masalah. Sudahlah, biarkan dia mau menganggapku seperti apa nantinya. Aku tidak peduli,' Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD