9. penyesalan

1353 Words
Mendengar ucapan Nyonya Citra, air mata sakit hati dan sedih seketika meluncur mulus membasahi kedua pipi Arum. Mengapa Nyonya Citra dengan mudah mengatakan agar ia melupakan hal itu? Hal menjijikkan sekaligus hal yang sangat menyakitkan untuk Arum sebagai seorang ibu, dan hal yang sangat-sangat mengenaskan untuk anaknya Ela. Sekali lagi, Citra menyuruh dirinya melupakan hal itu dengan mudah? Demi Tuhan, melihat bagaimana Tuan Malik laknat menggarap habis anaknya yang masih umur sangat muda 6 tahun yang lalu, sampai saat ini, bahkan hingga detik ini, bayangan itu masih berputar dalam otaknya, membuat Arum kadang menangis sendiri dan merasa menyasal melihatnya. Menyesal kenapa ia bisa bekerja di rumah ini 10 tahun yang lalu, menyesal kenapa ia tidak membawa serta anaknya Ela pulang kampung untuk melihat Bapaknya yang kritis 6 tahun yang lalu. "Sekali lagi, aku katakan padamu, Arum. Lupakan lah hal itu, jangan pancing anakku Malik maupun Ela anakmu untuk mengingat hal itu, lupakan lah." Ucap Citra dengan geraman tertahannya. Membuat lamunan panjang Arum buyar, tapi Arum bagai orang bisu, tidak membalas ucapan kejam Citra barusan. Citra kejam! Bahkan Citra sangat-sangat kejam. Bagaimana bisa, dengan tega, Citra yang merupakan seorang perempuan mengatakan agar ia melupakan saja hal laknat yang menimpa anaknya 6 tahun yang lalu oleh Tuan Malik laknat. Masa depan anaknya hancur. Bahkan anaknya Ela harus putus sekolah karena kejadian laknat 6 tahun yang lalu. Arum trauma, Arum tidak bisa membiarkan anaknya Ela sendirian dan jauh darinya. Arum tidak bisa, karena ia meninggalkan anaknya untuk ke kampung selama 3 hari, dan setelah Arum pulang dari kampung, Arum lah yang memergoki Tuan Malik laknat yang sudah ia urusi dan layani segala kebutuhannya, makanannya, semuanya, dalam keadaan mabuk sedang memperk*o*a anaknya. Mungkin, andai Arum tidak datang saat itu, pasti Tuan Malik laknat masih menyiksa dan menghancurkan anaknya Ela. "6 tahun yang lalu, salah kamu sendiri, Arum. Kamu sok-sok menolak uang pertanggung jawaban yang aku kasih, uang itu bisa kamu gunakan untuk hidupmu dan anakmu, untuk operasi kembali keperawanan anakmu juga." "Kamu sendiri yang membuat hidupmu menderita. Kamu menolak uang pemberianku dan suamiku yang bahkan nominalnya sangat banyak, sampai kamu mati, aku yakin, uang itu tidak akan habis...." "Anak saya bukan p*****r! Anak saya bukan p*****r Nyonya Citra. Hanya p*****r yang menerima uang setelah kehormatannnya di renggut!"Ucap Arum tajam memotong ucapan Citra yang terlihat membeku kaku di depannya saat ini. Bahkan Citra, mama Malik terlihat menarik nafas panjang lalu di hembuskan dengan perlahan oleh perempuan itu. "Aku tahu, aku sangat tahu, Arum. "Ucap Citra pelan. "Terima saja nasib kalian, ini sudah garis takdir, kalian saja yang sok suci. Malik tidak sengaja menodai anakmu itu sudah garis takdir. Anakku Malik mabuk." "Andai dia sadar, dia nggak akan sudi sentuh anak kamu. Dia nggak akan sudi. " "Kamu mengusik lagi tentang kesalahan yang tidak sengaja anakku lakukan pada anakmu 6 tahun yang lalu, sampai anak aku ingat tentang kesalahan yang sudah aku paksa hapus dari ingatannya..." "Aku tidak main-main, Arum. Kamu akan menyesal. Kalau kamu berani mengungkit hal itu. Dan andai aku adalah manusia kejam dengan suamiku, dan andai aku mau. Dengan uang aku bisa membalikkan semuanya. Ela anakmu lah yang kegatalan, dan menjebak anakku sehingga anakku tidak sengaja menidurinya 6 tahun yang lalu. Anakmu kegatalan karena anakku Malik adalah pewaris tinggal, dan setelah itu, dengan uangku, kamu dan anakmu bisa membusuk di penjara..." "Dan maaf, sampai mati untuk bertanggung jawab pada anakmu, Malik tidak bisa! Sekali lagi, sampai mati, aku tidak merestui dan tidak sudi anakku menikahi anakmu, kasta sosial kita sangat jauh berbeda bahkan bagai langit dan bumi, Arum.... Tutup mulutmu, camkan ucapan, Arum..." **** Mendengar erangan seorang laki-laki, membuat gerakan tangan Ela yang menggosok atau sedang menyetrika baju saat ini terhenti, dan dengan takut-takut, Ela menoleh keasal suara. Tubuh Ela menegang kaku, melihat... melihat Tuan Malik yang ada di atas ranjangnya yang besar di depan sana sudah bangun, dan tatapan tajam dan dalam Tuan Malik ada pada dirinya saat ini, membuat Ela cepat-cepat kembali menatap kearah pakaian yang sedang ia setrika. Ela tidak berani menatap wajah Tuan Malik yang terlihat agak sembab karena baru bangun tidur, terlebih Ela tidak berani menatap kedua mata Tuan Malik yang berwarna sangat merah juga saat ini. "Apakah masih banyak baju yang harus kamu setrika?"Tanya suara itu dengan nada yang sangat berat, dan mau tak mau dengan berat hati, Ela dengan takut-takut menoleh kearah Tuan Malik yang saat ini ternyata sudah duduk di pinggiran ranjang, dan sial! Tuan Malik dalam keadaan telanjang d**a saat ini, membuat Ela merasa malu sekaligus takut melihatnya. "Jawab pertanyaanku, aku tidak suka mengulang ucapan yang sama, dan tidak suka di abaikan!"Desis Malik tajam, membuat Ela yang ada di atas lantai. Duduk bersila di lantai seketika gelagapan. "Sisa... sisa 3 pasang baju yang belum di setrika, Tuan.."Ucap Ela terbata. Takut juga. Pasalnya sudah 2 jam berlalu, Total dari 15 pasang baju yang harus Ela setrika baru 12 pasang baju beserta celananya. Ela merasa pekerjaannya sangat lama dan lelet, karena jujur saja, untuk menyetrika Ela tidak mahir, karena pekerjaan Ela selama ini hanya sebagai tukang kebun, mentok membantu ibunya dan atau pembantu yang lain untuk cuci piring atau menjemur pakaian. Dan 2 jam berlalu, Ela duduk di atas lantai, di atas permadani tebal, menyetrika baju-baju Tuan Malik. Yang Tuan Malik pilih untuk di bawah bekerja dengan dirinya entah di kota mana. Ela menyetrika beralasakan seprei tebal, padahal sebelumnya Ela dengan takut-takut mengatakan pada Tuan Malik, kalau tempat menyetrika ada di lantai 1, tapi ucapan Ela malah di bantah oleh Tuan Malik, dan menitah agar Ela menyetrika di dalam kamarnya saja. Rasa takut, dan gugup juga membuat lama pekerjaan Ela. "Simpan pekerjaanmu, dan mendekatlah kearahku..."Ucap suara itu parau, jelas itu suara milik Tuan Malik. Tuan Malik yang saat ini terlihat sedang memijat keningnya dengan kedua mata terpejam erat. Dan di saat kedua mata Tuan Malik terbuka, Ela terlihat kembali gelapan. "Apa yang kau pikirkan sialan! Simpan pekerjaanmu dan mendekat lah kearahku, fu*k!"Teriak Malik tertahan, membuat Ela terlonjak kaget dan bangun dari dudukannya. Dan dengan kedua mata yang terasa panas, perih, dan berkaca-kaca. Hati yang terasa sangat sesak dan sakit di dalam sana, Ela melangkah lebar menuju Tuan Malik yang kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. "Kepalaku agak pusing, pijat kepalaku, Ela...."Ucap Malik parau, dan memberi ruang dan tempat pada Ela di atas ranjangnya. Ela yang masih terpaku, dan takut-takut menatap kearah tempat kosong yang ada tepat di atas kepala Tuan Malik. Dan karena Ela lelet, Ela terkejut bukan main di saat pergelangan tangannya di tarik dengan sangat kasar oleh Tuan Malik. Dan kedua mata Ela melebar dan melotot kaget sekaligus takut melihat posisinya. Posisi tubuhnya saat ini berada di atas tubuh Tuan Malik atau lebih tepatnya, Ela sedang menindih Tuan Malik saat ini dan kedua bibir Ela hampir bersentuhan dan menempel dengan kedua bibir Tuan Malik. Tapi, untung saja, Tuan Malik dengan cepat mendorong tubuh Ela, dan Ela dengan posisi tengkurap sudah berbaring tepat di samping kanan Tuan Malik. Tuan Malik yang saat ini terlihat sedang memejamkan kedua matanya kuat dan erat, Tuan Malik juga yang terlihat sedang memijat keningnya bahkan terlihat menjambak rambutnya. Kepalanya juga terasa semakin pusing saat ini. Dan jantungnya di dalam sana, rasanya ingin meledak di saat kedua tangan Ela berada tepat di atas kedua sus*nya. Rasanya... rasanya sangat familiar, dan sial! Di saat Malik mencoba ingin mengingat lebih dalam, rasa sakit semakin dasyat menghantam kepalanya, dan hanya Ela yang tahu jawabannya, sehingga dengan agak kasar... Malik... Malik kembali menarik tubuh Ela yang terlihat ngos-ngosan dan tidak berdaya saat ini. Kembali Ela berada di atas tubuh Malik, kali ini, Malik... sudah merangkum agak kuat dan kasar dagu Ela. Agar Ela, mau menatap kearahnya. Dan Malik... "Jawab pertanyaanku dengan jujur, Sialan. Aku... Aku merasa familiar dengan posisi kita yang seperti ini, apa iya dalam keadaan aku yang mabuk, kamu pernah menjebakku, dan kita tidur bersama? Kamu pernah menjebakku di saat aku mabuk? Kamu menjebakku he agar aku bertanggung jawab tapi semuanya gagal karena aku hilang kesadaran sebelum kita melakukan hal itu sebelum aku ke luar negeri dulu? Kamu menjebbakku karena tergiur dengan kekayaan dan kekuasaan yang aku miliki? Jawab dengan jujur jalang pertanyaannku, dan jangan diam bagai orang yang cacat mental dengan ekspresi bodohmu saat ini!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD