Kondisi Qamela semakin membaik dan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Manika sama sekali tidak membenci adiknya, justru ia sangat mencintai dan menyayangi adik semata wayangnya itu. Apapun akan dia lakukan untuk kebahagiaan Qamela, meskipun dirinya sendiri harus tersakiti batinnya.
Untuk menyambut kepulangan Qamela ke rumah, Manika rela izin tidak masuk kerja hari ini hanya untuk membuatkan makanan kesukaan adiknya. Dengan wajah bahagia ia mengaduk sop iga yang hampir saja matang. Jam di dinding sudah pukul sebelas siang, sangat pas sekali sop buatannya akan matang untuk makan siang.
Tidak berselang lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumahnya, buru-buru Manika membukakan pintu karena ia yakin yang baru saja datang adalah mama, papa, dan adik kesayangannya. Senyum Manika muncul saat melihat orang tersayangnya keluar dari dalam mobil, ia pun langsung membantu membawakan barang-barang yang ada di bagasi mobil.
“Manika, kamu angkat koper yang paling besar itu ke dalam ya. Itu isinya baju-baju punya adik kamu,” ujar Tobias, lalu lelaki itu membantu sang istri memapah anaknya untuk dibawa masuk ke dalam rumah.
“Iya Pah.” Lalu Manika mengeluarkan koper yang ada di dalam bagasi mobil. Rasanya berat sekali entah apa yang ada di dalam sana padahal Qamela hanya beberapa hari saja di rumah sakit.
“MANIKA!” dari dalam rumah terdengar suara teriakan Gina membuat Manika buru-buru mengangkat koper yang sangat berat itu masuk ke dalam rumah.
“Iya Mah.” Manika memasuki rumahnya sembari mendorong koper milik adiknya.
Manika berhenti melangkah saat ia melihat sang mama sudah berdiri di depannya dengan tangan bersidekap.
“Gitu aja lama banget sih kamu. Siapin makan siang buat Mama, Papa, dan Qamela sekarang juga!” perintah Gina.
Wanita itu seolah tidak mau tahu dengan kondisi Manika yang lelah. Padahal sejak saat pertama kali membuka mata Manika sudah membersihkan rumah, menyapu dan mengepel lantai, tidak lupa pula menyetrika pakaian sang adik, dan masih banyak lagi. Namun, Gina tidak peduli.
“Iya Mah, Nika mau taruh koper ini ke dalam dulu,” ucap Manika, gadis itu ingin pergi, tetapi Gina langsung menahannya.
“Tidak perlu! Biar Mama aja yang bawa koper ini ke kamar adikmu. Sekarang kamu ke dapur siapin makan siang untuk kita.” Lalu Gina mengambil koper yang ada di tangan Manika secara kasar.
Manika menghela napasnya kasar, mencoba bersabar dengan sikap keluarganya yang tidak pernah baik kepadanya.
Manika pun kembali ke dapur menyiapkan makan siang untuk mama, papa, dan adiknya. Sekilas yang terlihat dari raut wajahnya ia sangat baik-baik saja, padahal di dalam hatinya menyimpan segudang luka yang diciptakan oleh keluarganya. Sampai detik ini Manika tidak tahu apa penyebab utama yang membuat mama, papa, dan adiknya sangat membenci dirinya. Manika menyadari dirinya gemuk, selalu berpakaian seadanya, tidak suka berhias, bahkan di setiap harinya membawa cemilan kemanapun ia pergi. Akan tetapi, seharusnya tidak membuat ia diasingkan dari keluarganya sendiri bukan?
“Cuma ini makan siang hari ini?” tanya Qamela dari belakang tubuh sang kakak.
Manika yang mendengar suara adiknya pun langsung menoleh ke belakang dan ia pun melemparkan senyuman, tetapi balasan Qamela malah sebaliknya.
“Seadanya dulu ya, nanti Kakak akan belanja bulanan,” ujar Manika, berharap ucapannya bisa membuat suasana hati sang adik tenang, tetapi respon Qamela malah semakin membuat hatinya sakit.
“Halah, dasarnya lo itu pelit, makanya buat makan sehari-hari aja lo males keluar uang banyak-banyak. Padahal uang Mama sama Papa lebih dulu habis sama lo buat beli makanan lo itu. Tau diri dong, badan udah gemuk kaya gitu masih aja nggak mau diet. Emang dasarnya pemalas. Liat dong gue, badan bagus, cantik, putih, terawat, banyak laki-laki yang antri di belakang. Emangnya lo, umur udah tua tapi nggak ada satu laki-laki pun yang mau deketin lo!” sarkasme itu keluar dari mulut Qamela tanpa memikirkan hati sang kakak akan sakit hati. Akan tetapi, Manika tetap diam tidak ingin membalas hal serupa.
“Ada apa sih ini ribut-ribut?” tanya Gina, baru saja datang setelah meletakkan koper milik sang anak kesayangan.
“Ini loh Mah, masa Kakak Cuma masak ini doang. Padahal kan Qamela mau makanan yang enak,” adu Qamela kepada sang mama.
Sorot mata Gina langsung tajam mengarah Manika dan gadis itu hanya bisa menunduk diam di tempatnya tidak ingin berucap dengan nada yang tinggi kepada sang mama karena dia takut durhaka kepada orang tua.
“Kamu pelit banget sih jadi Kakak! Udah tau Adiknya baru keluar dari rumah sakit bukannya perhatian malah kaya gini.” Gina mengomeli Manika habis-habisan, tetapi Manika tetap sabar menghadapi semua ketidak adilan ini.
“Kurang apa sih Mah? Manika udah masakin makanan kesukaan Qamela,” ucap Manika, akhirnya angkat bicara setelah lama diam.
“Tapi adikmu tidak suka dengan makanan yang kamu masak.”
“Ada apa sih ini ribut-ribut?” tiba-tiba saja Tobias datang karena mendengar suara bising dari arah dapur.
“Ini loh Pah, Qamela nggak mau sama makanan yang dimasak Manika, tapi Manikanya tetap memaksa Qamela untuk memakannya,” jelas Gina, melebih-lebihkan cerita.
Setelah mendengar cerita dari istrinya sontak Tobias juga menjadi kesal kepada Manika. Lelaki itu melemparkan tatapan tajamnya dan membuat Manika hanya bisa diam di tempatnya.
“Kamu kan tahu Qamela baru saja keluar dari rumah sakit? Tega sekali kamu meminta adikmu untuk memakan makanan yang tidak dia mau!”
“Tapi, bukannya sop iga itu kesukaan Qamela?” tanya Manika, memberanikan diri untuk menatap sang papa.
“Tapi gue nggak mau makan!” Qamela membuka suara dengan keras. Benar-benar gadis itu ingin membuat sang kakak dimarahi habis-habisan oleh ke dua orang tuanya.
“Kenapa? Bukannya kamu suka sama sop itu?” Manika menatap sang adik, tidak ada sorot kebencian di matanya yang ada hanyalah tatapan sayu memohon kepada sang adik agar tidak memperpanjang masalah.
“Pokoknya gue nggak mau makan makanan yang lo masak ini!” Qamela tetap bertahan dengan egonya tanpa memikirkan sang kakak.
“Sudah, jangan berdebat lagi. Qamela, kamu masuk ke kamar sekarang sebentar lagi makanan yang kamu mau akan segera sampai. Untuk kamu Manika, bereskan semua ini dan habiskan semua makanan yang kamu makan. Papa tidak mau ada makanan yang dibuang ke tong sampah,” ujar Tobias, dengan tegas.
Manika menatap makanan yang dia masak dengan tatapan sedih. Makanan sebanyak itu siapa yang akan menghabiskan? Dirinya pun tidak sanggup menampung semua makanan yang ada di atas meja. Sementara mama, papa, dan adiknya pergi begitu saja.
Hancur, itu lah yang Manika rasakan, tetapi dirinya harus tetap terlihat tegar di mata semua orang. Kesedihan yang dia tampakkan juga tidak akan membuat orang di sekitarnya menganggapnya ada.
Karena Manika tidak mungkin menghabiskan semua makanan di atas meja, akhirnya gadis itu memutuskan untuk membungkusnya sebagian untuk dibagikan kepada orang yang membutuhkan karena menurutnya itu akan lebih berguna untuk orang lain dari pada harus dirinya sendiri yang menghabiskan.