Pagi hari telah tiba, sinar matahari nampak malu-malu untuk menampakkan sinarnya karena terhalang oleh awan hitam yang menggumpal di atas sana. Gerimis mengguyur kota itu sejak beberapa menit yang lalu.
Manika membereskan kamarnya setelah selesai merias dirinya untuk pergi ke kantor. Pagi ini dia harus berangkat lebih awal karena ada karyawan baru yang harus dia bimbing. Mikko sendiri yang meminta Manika untuk menjadi pembimbing siapapun yang menjadi karyawan baru.
Manika sudah mengendarai mobil sejak beberapa menit yang lalu setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya termasuk memasak. Karena Tobias—papanya—memberi tahu bahwa akan pulang hari ini.
Jalanan begitu padat, karena rintik gerimis itu sudah berganti menjadi hujan deras disertai angin. Gadis itu begitu sabar mengendarai mobilnya, sesekali terdengar klakson mbil dari arah belakang dibunyikan oleh seseorang yang tidak sabar dengan kemacetan yang terjadi.
Setelah melalui beberapa kemacetan yang terjadi di jalanan kota, akhirnya Manika telah sampai di kantor. Seperti biasa dia memamerkan sebuah senyuman untuk para pekerja yang sudah lalang.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Manika kepada Mikko. Ke duanya tidak sengaja bertemu di lobi kantor saat Mikko ingin masuk ke dalam lift.
“Pagi Manika, karyawan baru sudah datang dan langsung saya minta ke ruangan kamu,” ucap Mikko dengan senyum di wajahnya.
Manika mengangguk paham, “Baik Pak, saya akan memberikan yang terbaik untuk perusahaan ini.”
“Kamu sangat bisa saya andal kan, Manika.” Lalu pintu lift itu tertutup bergerak naik menuju ruangan tempat mereka bekerja.
Manika langsung masuk ke ruangannya. Lewis yang biasanya sudah hadir kini lelaki itu harus merasakan keterlambatan karena terjebak macet.
“Selamat pagi,” ucap Manika ketika melihat seorang lelaki lengkap dengan pakaian kantornya sedang duduk di sofa yang terletak di sudut ruang kerja Manika.
“Selamat pagi , Bu … Manika.”
Lelaki itu berdiri menatap Manika terkejut. Jovial Baim Erlangga, itulah namanya. Teman semasa kuliah Manika yang selalu saja membuat onar di kampus. Lelaki tampan dengan segudang uang, tetapi mengapa sekarang Jovial menjadi karyawan biasa?
“Nanti gua jelasin,” ucap Jovial mencoba membaca keterkejutan Manika.
“Lo nggak pernah berubah ya dari dulu. Makin gendut aja.”
Ucapan Jovial hanya dihadiahi dengan senyuman oleh Manika. Mulut lelaki itu juga sangat pedas tidak kalah pedas seperti mulut teman-temannya.
“Di sini saya menjadi mentor kamu untuk satu bulan ke depan. Mohon patuhi segala peraturan yang saya buat. Jangan pernah terlambat.”
Jovial menganggukkan kepalanya. Bahkan lelaki itu tidak menyangka yang akan menjadi mentornya untuk satu bulan ke depan adalah Manika, gadis yang dulunya menjadi bahan ejekan teman-temannya.
“Jangan susah-susah ya Mik, lo kan tau gua anaknya gimana,” ucap Jovial mencoba bernegosiasi dengan gadis itu.
Manika mendongak menatap Jovial yang juga sedang menatapnya juga. “Ini kantor, bukan tempat pusat perbelanjaan. Kamu di sini akan digaji. Besar atau kecilnya gaji kamu nanti tergantung kinerja kamu yang akan kamu berikan untuk perusahaan ini.” Manika berucap tegas membuat Jovial diam tidak berkutik.
Adakalanya Manika bersikap tegas, jabatannya di kantor itu sangat berpengaruh untuk para karyawan lainnya. Pantas atau tidaknya pelamar kerja semua keputusan ada di tangan Manika. Termasuk keberadaan Jovial, meskipun lelaki itu memiliki keluarga yang terpandang, tetapi itu tidak berarti di mata Manika.
“Lo nggak nanya kenapa gua bisa ada di sini sekarang?” tanya Jovial memecahkan keheningan yang terjadi.
“Bukan tugas saya juga untuk mengorek semua informasi tentang kamu,” jawab Manika lalu kembali sibuk memeriksa data diri Jovial.
“Ya setidaknya basa-basi gitu. Dari dulu lo anaknya kaku, kapan mau berubah?” segala ucapan Jovial mengandung unsur ejekan. Manika tahu itu, tetapi dia memilih diam.
“Tugas kamu pagi ini saya akan melihat seberapa jagonya kamu mengoprasikan computer beserta isi-isinya. Mulai dari Microsoft word, excel, dan powerpoint. Tapi saya akan lebih terfokus pada excel saja,” jelas Manika mampu membuat wajah Jovial memucat.
Jovial adalah salah satu mahasiswa yang susah sekali untuk diatur pada masanya. Jadi, wajar saja jika dia tidak tahu apa-apa dan tidak berpengalaman apa-apa setelah lulus dari kuliah.
“Lo kan tahu gua nggak bisa semua yang lo sebutin itu, bahkan gua nggak tau bentuk ‘mereka’ itu seperti apa,” protes Jovail membuat Manika menatap lelaki itu tajam.
“Di sini saya hanya sebagai mentor kamu, di mana tugasnya mengarahkan sesuatu yang akan kamu kerjakan suatu hari nanti!” tegas Manika membuat Jovial kembali terdiam.
“Kamu akan ditempatkan Pak Mikko bersama dengan Lewis, dia berada di bagian keuangan, kamu bukan sebagai inti melainkan hanya untuk membantu Lewis memeriksa dokumen. Di sini kamu penting sekali untuk mempelajari Microsoft exel.”
Jovial menghela napasnya kasar, “Iya deh, gua nurut apa kata lo aja.”
Manika mulai memperkenalkan Microsoft exel, bagaimana cara mengoperasikannya dan beberapa rumus yang biasanya digunakan Lewis untuk mengerjakan pekerjaanya.
Tidak terasa waktu telah berputar begitu cepat dan jam istirahat pun telah tiba. Manika menghentikan pembelajaran hari ini dan mengizinkan Jovial untuk istirahat.
“Manika, gua boleh ikut lo makan ‘kan?” Jovial menatap Manika penuh harap.
Manika ingin membuka bibirnya, tetapi pintunya sudah terlebih dahulu diketuk. Gadis itu berjalan ke arah pintu.
“Lewis,” sapa Manika dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Kamu mau makan siang bareng nggak?” tanya Lewis.
“Boleh, kita kamu makan di mana?”
“Nggak bisa gitu dong, kan gua yang ngajakin Manika makan siang duluan,” ucap Jovial menyela ucapan Manika cepat.
Lewis menatap Jovial dengan padangan yang heran.
“Siapa dia?” tanya Lewis kepada Manika.
“Dia Jovial yang bakal jadi karyawan baru di sini. Dia juga temen aku waktu kuliah,” jelas Manika. “Oh iya Jovial, ini Lewis yang sempat aku ceritakan tadi.”
Lewis dan Jovial saling berjabat tangan. Meskipun dari aura yang ke duanya pancarkan saling tidak menyukai. Akan tetapi, Manika harus setia menjadi penengah ke duanya. Karena yang dia tahu Lewis dan Jovial sama-sama memiliki emosi yang tinggi.
Akhirnya mereka bertiga pun makan siang bersama. Manika harus menahan dirinya agar tidak meledak emosinya lantaran Lewis dan Jovial sesekali beradu mulut.
***
Jam makan siang telah usai, tetapi Manika tidak kembali ke ruang kerjanya melainkan pulang karena dia mendapat kabar yang begitu mendadak.
Saat jam makan siang sedang berlangsung, Tobias menelepon Manika untuk segera datang ke rumah sakit karena Qamela mengalami kecelakaan dan mengalami pendarahan yang cukup parah di bagian kepalanya.
Manika mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, berkali-kali gawianya berdering membuatnya semakin khawatir. Dia mencoba untuk memfokuskan dirinya agar tidak menabrak pengguna jalan lainnya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mobil Manika telah terparkir di rumah sakit yang telah Tobias berikan alamatnya. Manika langsung berlari menuju meja resepsionis untuk menanyakan di mana ruangan Qamela berada.
“Kamu kenapa lama sekali, Nika!” sentak Gina yang mengetahui kedatangan putrinya.
“Maaf Mah, tadi …”
“Halah, tidak usah banyak bicara kamu! Sekarang cepat temui dokter dan donorkan darah kamu untuk Qamela!” perintah Tobias dengan suara yang keras.
“Sesekali kamu memang harus menjadi orang yang berguna di keluarga kamu sendiri,” sambung Gina.
Hati Manika kembali tersayat. “Mah, Pah, apa kalian menganggap Nika ada setiap dibutuhkan saja? Nika juga ingin seperti Qamela yang mendapatkan kasih sayang berlebih dari kalian berdua,” ucap Manika di dalam hati seraya berjalan ke ruangan dokter.
Manika dan Qamela memang dua gadis yang berbeda, tetapi mereka terlahir dari rahim yang sama dan memiliki golongan darah yang sama pula. Entah mengapa Gina dan Tobias begitu membenci Manika hanya karena tubuh gadis itu tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan dulu.