Bab 1
“MANIKA, MAU SAMPAI KAMU BERADA DI DALAM SANA?!”
Suara teriakan itu begitu lantang terdengar sampai ke penjuru ruangan rumah minimalis bergaya modern itu.
Seorang gadis yang sedang bergelut dengan mimpinya sendiri pun sampai terbangun. Dia mencoba beranjak dari kasurnya, tetapi tubuhnya enggan untuk berpisah dengan barang berbentuk persegi panjang dan empuk itu.
Manika Fandehlla, dialah namanya. Seorang gadis yang bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berada di Jakarta. Dia cantik, tapi sering kali diejek oleh rekan kerja dan teman-temannya karena berat badan yang berlebih.
“MANIKA!”
Suara itu kembali terdengar membuat Manika terpaksa harus meninggalkan tempat ternyamannya di mana dia tidak mendengar kata-kata menyakitkan dari semua orang.
“Iya Mah, Nika bangun kok,” ucapnya dari dalam kamarnya. Matanya masih setengah tertutup padahal sinar matahari sudah mulai menghangat.
Manika menyambar handuknya lalu masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhnya untuk bersiap pergi ke kantor.
“Kakak mana, Mah?” tanya Qamela sembari menyantap roti panggangnya sebagai sarapan pagi sebelum berangkat kuliah.
“Baru bangun tuh. Gimana badannya nggak semakin melar, kalo kerjaanya cuma tidur, makan, terus tidur lagi,” omel Gina.
Qamela terus saja memasukkan potongan roti panggang itu ke dalam mulutnya. Dia tidak peduli dengan omelan Gina yang setiap pagi selalu dia dengar.
Gina semakin geram ketika melihat penampilan Manika yang selalu saja berantakan. Pagi ini Manika tidak sempat berdandan karena waktunya tidak akan cukup untuk sampai ke kantor tepat waktu. Gadis itu hanya memakai celana jeans dan blazer berwarna navy.
“Nika, mau sampai kapan kamu seperti ini? badan kamu semakin membesar. Apa kamu tidak kasihan Mama, Papa, dan Adikmu harus menanggung malu karena tetangga yang selalu mengolok keluarga kita!”
Ucapan Gina selalu saja menusuk perasaan Manika. Bagaimana tidak, Manika selalu saja dibedakan, dia dikucilkan seolah badannya adalah salah satu hal yang wajib untuk dijauhi.
Manika mencoba untuk tersenyum, tangannya yang sudah terulur untuk mengambil roti bakar itu kembali dia urungkan.
“Kalau begitu Nika pergi ke kantor dulu ya, Mah,” ucap Maika sembari tersenyum ke arah Gina lalu beralih menatap adik semata wayangnya yang sedang asyik menyantap sarapan paginya.
“Kamu mau bareng sama Kakak nggak, Dek?” tanyanya masih dengan senyum yang sama. Meskipun hati Manika sedang hancur, gadis itu selalu pandai untuk menutupi kesedihannya.
“Enggak ah, yang ada nanti akau dijauhi sama temen-temen karena punya Kakak gendut kaya kamu!”
Setiap hari Manika harus merasakan hatinya bagai tertancap besi panas. Ucapan orang-orang sungguh membuatnya sadar dengan arti kehidupan yang sesungguhnya.
“Ya sudah kalau begitu. Kakak beragkat duluan ya. Mah, Nika berangkat ke kantor dulu ya. Titip salam buat Papa.” Gadis itu ingin mencium punggung tangan Gina, tetapi wanita itu mengacuhkan keberadaannya.
Manika menghela napasnya pelan, seperti itulah perlakuan semua keluarga kepadanya. Manika bukan seorang anak yang menyusahkan orang tuanya.
Mempunayi bobot tubuh berlebih memanglah bukan mimpinya sejak dulu. dia juga ingin seperti Qamela dan wanita pada umumnya yang mempunyai tubuh idel dan cantik.
Manika kembali pergi ke kantor dalam keadaan hati yang tidak baik-baik saja. Namun, topeng yang dia kenakan sungguh memanipulasi siapapun yang melihatnya. Wajah yang selalu terpancar dengan senyuman itu membuat semua orang beranggapan bahwa hidup Manika selalu baik-baik saja.
Manika berangkat ke kantor menggunakan mobil yang dia beli dari hasil jeri payahnya sendiri. Berkali-kali dia memberhentikan mobilnya karena jalan raya yang begitu padat dengan kendaraan.
Tiba-tiab saja gawai Manika berdering.
“Ada apa Lewis?” tanya Manika.
Danial Isaac Lewis lelaki berusia 27 tahun adalah salah satu lelaki yang bisa menerima kekurangan Manika. Meskipun Lewis terlihat seperti lelaki cuek dan acuh, tetapi dia merupakan lelaki yang perhatian. Manika sangat suka berteman dengan Lewis karena orangnya sangat bisa dipercaya.
“Kamu lagi ada di mana? Semua orang sudah menunggu untuk rapat Bu Bos,” ucapnya datar. Akan tetapi, ucapan datar itu bagaikan lelucon untuk Manika.
“Sabar-sabar, ini masih di jalan kok. Biasa lah aku kesiangan lagi, semalem kan lembur buat ngerjain presentasi pagi ini,” jelasnya.
“Rasanya aku lelah menasehatimu, Ika.”
Manika kembali terbahak. “Iya deh maaf. Lain kali akan aku kerjakan lebih awal. Kalau begitu sudah ya, lagi macet ini.”
“Hati-hati,” ucap Lewis masih dengan nada yang datar.
Sambungan telepon sudah terputus. Manika kembali fokus pada kemudinya untuk membelah jalanan kota agar lebih cepat sampai ke kantor.
***
Sesampainya di kantor, Manika langsung disambut baik oleh satpam yang sedang berjaga dipintu utama. Seperti biasa Manika selalu saja memperlihatkan senyum manisnya untuk semua orang. Meskipun tidak semuanya bisa menerima senyumannya itu.
Manika sedang berdiri di pintu left, menunggu pintu itu terbuka. Dia kembali tersenyum kepada semua karyawan yang sedang berlalu lalang dan mereka pun membalas dengan senyuman pula.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya puntu left itu pun terbuka. Manika langsung masuk lalu disusul oleh seorang wanita yang tidak dia kenal.
“Aduh, bisa geser sedikit tidak? Left ini terlihat sangat besar, tapi kenapa sangat sempit sekali,” gerutu seorang wanita berpakaian serba mewah tepat berdiri di samping Manika.
Manika tersenyum tipis, lalu mundur beberap langkah dengan begitu wanita yang berada di dalam satu left bersamanya merasa nyaman.
“Maaf, Nyonya. Silahkan anda maju,” ucap Manika dengan suara yang begitu lembut.
Wanita itu mengeluarkan kipas dari dalam tasnya. Ke dua matanya melirik Manika tajam. Sedangkan Manika, dia hanya tersenyum ramah.
Hatinya kembali nelangsa, selalu saja mendapat gunjingan karena berat badannya yang berlebih. Stress yang selalu dialaminya membuat pola makannya menjadi tidak teratur. Maka dari itu Manika tidak bisa menurunkan berat badannya.
Pintu left telah terbuka tepat dilantai paling atas gedung 30 lantai di mana ruangannya berada. Wanita yang menghina Manika tetap saja diam dengan wajah yang sangat sinis. Manika sudah biasa mendapatkan tatapan itu sampai membuat Manika sudah tidak mempedulikannya.
“Akhirnya kamu dateng juga,” ucap Lewis yang sudah duduk di kursi milik Manika.
Manika tersenyum, lalu meletakkan tasnya di atas menja. “Memangnya kenapa sih? Jadwal presentasi kan masih satu jam lagi.”
Lewis mengusap wajahnya frustasi. Pasalnya sedari dia datang ke kantor, atasannya selalu saja meneroronya.
“Bos selalu nanyain kamu,” ucap Lewis.
“Nyariin aku?” tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri. Dia melongo tidak percaya.
“Iya lah. Kamu kan anggota penting juga di sini. Sama kaya aku.”
Manika terkekeh. Dia beranjak dari duduknya lalu mengambil coklat yang selalu tersedia di dalam laci kerjanya.
Lewis yang melihat coklat yang berada di genggaman Manika hanya bisa berdecak kesal. Rasanya bibir lelaki itu hampir saja berbusa karena segala nasehatnya selalu saja tidak didengarkan oleh Manika.
“Coklat lagi?” tanyanya setelah Manika kembali duduk.
Manika tersenyum, “Berpikir keras itu juga butuh cemilan.”
“Tapi …” ucapan Lewis terhenti saat Manika melemparkan tatapan tajamnya.
“Aku tahu badanku semakin besar, tapi sesekali juga nggak pa-pa lah makan coklat,” proesnya lalu memasukkan potongan coklat itu ke dalam mulutnya.
“Manika, bisa ke ruangan saya sekarang?” Mikko—pimpinan perusahaan itu membuka pintu ruangan Manika lebar-lebar.
Manika yang sedang mengunyah coklatnya pun menjadi terhenti. Dia kembali meletakkan bungkus coklat itu di atas meja.
“Baik Pak.” Lalu dia beranjak dari duduknya.
Setelah Manika keluar dari ruangannya, buru-buru Lewis membuang coklat itu beserta dengan coklat-coklat lainnya yang sengaja gadis itu simpan di laci kerjanya ke dalam kotak sampah. Dengan begitu, Manika bisa kembali melakukan dietnya.