Manika bersiap untuk pergi ke kantor, pakaian yang ia gunakan sangat sederhana celana panjang dan blouse jumbo berwarna merah. Kali ini gadis itu ingin berpenampilan berbeda terlihat di bibirnya diberi sedikit warna yang senada dengan baju yang ia pakai agar tidak terlihat pucat. Manika pun senang dengan penampilannya kali ini. Buru-buru wanita itu bersiap untuk sarapan pagi bersama dengan keluarganya.
Saat Manika sampai di meja makan semua mata tertuju padanya dan masing-masing memiliki pertanyaan di dalam hati. Siapa yang tidak heran melihat penampilan Manika yang berubah pagi ini, biasanya juga Manika hanya memakai bedak dan pelembab bibir saja, bukan lipstick.
“Mau jadi badut ondel-ondel lo? Merah banget itu bibir,” cibir Qamela, diiringi kekehan pelan di akhir kalimatnya.
Manika hanya bisa tersenyum, senyum yang selalu menguatkan dirinya di saat orang-orang di sekitarnya mengejeknya tanpa ampun. Manika tidak menanggapi ucapan sang adik, dia lebih memilih duduk dan menikmati sarapan paginya dengan tenang.
“Kamu yakin pakai lipstik merah seperti itu? Bukannya terlihat cantik malah terlihat seperti ondel-ondel,” ucap Gina, yang ikut mengomentari penampilan baru Manika.
Lagi-lagi hanya senyum yang bisa Manika pancarkan saat sang mama ikut mengejeknya. Di dalam sana sudah terasa sangat sesak, tetapi Manika mencoba untuk bertahan agar air matanya tidak jatuh di depan orang tuanya karena jika air mata itu jatuh pasti mereka akan semakin mengejeknya.
“Di internet banyak kali cara dandan dengan baik dan benar. Bukan apa-apa ya, kalo lo cantik kan gue nggak malu buat ngakuin lo sebagai Kakak gue,” ujar Qamela, tidak berhenti mengejek sang kakak.
“Setidaknya aku sudah berani mencoba,” ucap Manika, mencoba terlihat tenang meskipun di dalam hatinya terasa ditusuk ribuan jarum dan ribuan tombak. Apakah di mata semua orang dirinya ini tidak pantas untuk berhias seperti perempuan pada umumnya? Apakah selamanya penampilannya dikritik pedas oleh orang-orang di sekitarnya? Mengapa tidak ada yang mau mendukungnya selama ini, salah apakah dirinya sampai-sampai semua orang memandangnya jijik? Itu lah rentetan pertanyaan yang ada di dalam pikiran Manika.
“Tapi tidak setebal itu juga, Nika. Sebaiknya kamu dengarkan apa kata Qamela dan Mama-mau. Apa kamu tidak mau dilihat tetangga dengan penampilan seperti itu?” kali ini Tobias yang angkat bicara, lelaki itu juga tidak terlalu suka dengan penampilan Manika yang terlalu berlebihan menurutnya.
Manika langsung mengambil tisu yang ada di depannya, ia langsung menghapus lipstik di bibirnya secara kasar rasanya sudah tidak peduli lagi jika bibirnya akan terluka yang jelas hatinya jauh lebih sakit. sekuat tenaga Manika menahan tangisnya agar tidak pecah di tempat, benar-benar keterlaluan mulut keluarganya yang begitu pedas dan tajam.
“Manika berangkat dulu.” ia beranjak dari duduknya padahal belum ada satu suap pun makanan yang masuk ke dalam perutnya. Akan tetapi, Manika lebih memilih untuk pergi dari sana dari pada batinnya harus kembali tersakiti.
“Ya sudah, hati-hati di jalan,” ucap Gina, tidak ada niatan untuk mencegah Manika, padahal putrinya itu belum sarapan sedikit pun.
“Gitu aja lo baper.” Qamela kembali mencibir sang kakak dan mengatai sang kakak terlalu sensitif.
Manika diam, ia lebih memilih mempercepat langkahnya agar tidak lagi berada di dalam rumah bagaikan neraka baginya. Manika langsung masuk ke dalam mobil, diam sejenak untuk mengatur napasnya agar di dalam sana tidak terlalu sakit dan sesak. Manika melihat dirinya di layar ponsel miliknya yang mati, di detik itu juga air matanya tumpah saat melihat dirinya sendiri di pantulan ponsel. Apakah dirinya tidak pantas untuk bahagia dan merasakan kasih sayang dari orang-orang sekitar? Sakit rasanya terus mendapatkan perlakuan tidak adil dari semua orang.
Setelah puas menumpahkan sakit dan kecewanya melalui air mata Manika pun memutuskan untuk menyalakan mesin mobil dan menancapkan gas menuju tempatnya bekerja. Di sepanjang perjalanan yang Manika lalui, ia terus berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia adalah orang hebat yang bisa menjalani ketidak adilan ini seorang diri. Manika berusaha untuk tetap bahagia agar semua pekerjaan yang dia lakukan selesai dengan sempurna.
***
Sesampainya di kantor, Manika harus memasang kembali topeng penuh kepalsuannya, kesedihan itu dia bungkus rapi dengan senyuman yang membuat semua orang menjadi terkecoh dengan suasana hatinya yang sesungguhnya.
Dari kejauhan Jovial melihat Manika yang ingin memasuki lift, buru-buru lelaki itu berlari untuk bisa mencegah pintu lift itu tertutup dengan sempurna. Hanya berjarak beberapa senti saja pintu lift itu akan tertutup untung lah Jovial masih bisa mengejarnya.
“Selamat pagi Manika,” sapa Jovial, ramah. Lelaki itu tersenyum manis menatap Mika.
“Selamat pagi juga Jovial.” Manika pun melakukan hal yang sama. Jovial memang terkenal ramah dan banyak senyum kepada karyawan kantor.
“Kemarin kenapa lo nggak masuk kerja?” tanya Jovial, karena sejak kemarin ponsel Manika tidak bisa dihubungi. Wajar saja, karena memang Manika ingin menghilang terlebih dahulu dari dunia sosial media. Selama berada di rumah kemarin, dirinya menghabiskan waktu untuk membaca buku dan mendengarkan musik.
“Iya, kemarin aku izin tidak berangkat karena adikku baru saja pulang dari rumah sakit,” jelas Manika, tidak lupa melemparkan senyum manis.
“Hari ini lo keliatan cantik pake blus merah itu,” ucap Jovian, memuji.
Tentu mendengar pujian itu membuat ke dua pipi Manika menjadi merah, sangat jarang sekali Jovial memujinya seperti ini.
“Jangan melebih-lebihkan,” ucap Manika, menundukkan kepalanya karena tersipu malu.
Ting! Suara pintu lift terbuka, Manika dan Jovial melangkah keluar secara bersamaan. Ke duanya langsung masuk ke dalam ruangan untuk segera mengerjakan pekerjaan yang pastinya sudah menunggu di atas meja. Apa lagi Manika sempat cuti kemarin, pasti pekerjaanya sangat banyak hari ini.
“Selamat pagi Ika.” Lewis menyapa dengan suara ramah. Lelaki itu sudah terlihat duduk di mejanya dengan komputer yang sudah menyala.
“Selamat pagi juga Lewis.” Manika pun melemparkan senyum manisnya.
“Sebagian berkas kamu sudah aku kerjakan kemarin, jadi sekarang kamu tinggal mengerjakan sisanya,” ucap Lewis, menghampiri meja Manika. Lelaki itu memang selalu berlaku baik kepada Manika, bahkan seringkali pekerjaan Manika yang mengerjakan Lewis.
“Ihh kan aku udah bilang sama kamu, tugas aku biar aku yang mengerjakan. Kamu juga pasti banyak pekerjaan juga kan?”
Lewis terkekeh pelan mendengar ocehan Manika. Padahal baru kemarin manika tidak berangkat ke kantor, tetapi bagi Lewis itu sangat lama sekali.
“Emang kenapa sih? Lagian kemarin itu tugas aku udah selesai, jadi dari pada aku bingung nggak tau mau ngapain ya udah deh aku kerjain aja tugas kamu. Nggak terlalu susah-susah banget kok,” jelas Lewis.
“Dasar kamu itu bandel sekali. Lain kali tugas aku nggak usah dikerjain, kalau kamu tetap ngeyel aku pasti akan marah besar sama kamu,” ancam Manika. Ia tidak marah karena tugasnya dikerjakan oleh Lewis, hanya saja Manika tidak enak hati karena sudah membuat tugas Lewis bertambah.
“Iya-iya, dasar bawel. Ya udah, aku mau lanjut ngerjain tugas. Selamat mengerjakan dokumen yang terbengkalai.” Lalu Lewis pergi diiringi kekehan pelan.
Manika menggelengkan kepalanya, ia heran dengan tingkah Lewis yang selalu bisa menghiburnya di setiap waktu. Ya, hanya lelaki itu yang bisa mengerti keadaanya dari awal Manika bekerja sampai sekarang lelaki itu tetap sama.