“Mana gadis itu?” Pertanyaan Abraham mengiris keheningan di ruangan itu. Sorot matanya yang tegas dan penuh selidik tak lepas dari Gavin yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan langkah lunglai. Gavin terdiam, memandang lantai, seolah mencari jawabannya di sana. Namun, akhirnya, ia mengangkat kepala dan menatap ayahnya, mengumpulkan keberanian yang tersisa. “Pah… aku rasa, Papah sudah tahu siapa gadis itu,” Gavin berujar pelan namun mantap. Abraham meletakkan cangkir porselen di meja, menciptakan dentingan lembut yang mengiringi keheningan berikutnya. “Siapa memangnya? Apa ayah mengenalnya?” tanyanya, sambil menuangkan teh hijau hangat dari poci tanah kesayangannya. Ia memutar poci itu sebentar, membiarkan uapnya menari lembut di udara. “Iya, Pah. Dia Maudy. Dia sekretarisnya Romeo,”