Pagi-pagi sekali, Almira menjelajah permukiman puncak, berkeliling di kebun teh sambil menyapa orang-orang yang terlihat bersemangat menjalani aktivitas meski dalam cuaca yang sangat dingin kali ini. Karena Jakarta panas, respons tubuh Almira lumayan kaget. Dia menggigil, alhasil mengenakan jaket tebal dua lapis dan syal. Bukan hanya jalan-jalan saja, Almira juga berniat mencari sayuran di pasar. Dia ingin belajar memasak. Sedang berusaha tidak takut dengan minyak panas, tidak takut teriris pisau, atau tidak lagi merasa jijik dengan amisnya ikan mentah.
"Weh, Zehan." Senyum Almira seketika mengembang lebar, matanya berbinar terang. Kakinya melangkah cepat, mendatangi Zehan yang sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya. "Selamat pagi, Pak ustadz!" Melambaikan tangan ceria. Kemudian menyapa pria di hadapan Zehan dengan membungkukkan sedikit badannya, berusaha sok akrab.
Andai tahu bakal ketemu Zehan di sekitaran kebun teh, Almira berpikir dua kali akan keluar tanpa hijab. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Almira sudah berkeliling jauh, membiarkan rambutnya tergerai indah.
"Nanti kita bicarakan lagi di rumah bersama Abi ya, Pak. Terima kasih sebelumnya, maaf sudah merepotkan." Zehan menaruh tangan kanannya di depan dadaa, menunduk sopan kepada pria yang dia panggil Bapak tersebut.
Pria paruh baya itu tersenyum hangat. "Tidak masalah, Nak Zehan. Bapak sama sekali tidak merasa direpotkan. Kalau begitu Bapak pergi dulu ya, insyaallah nanti sore kita ketemu lagi. Assalamu'alaikum." Dia juga tak lupa melempar senyum ramah kepada Almira, sebelum akhirnya melenggang pergi.
"Astaghfirullah." Zehan memejamkan matanya, langsung mengalihkan pandangan. "Kenapa di mana-mana selalu ada kamu? Saya sampai nggak habis pikir. Kamu sengaja mengikuti saya? Satu lagi ... biasakan kalau saya sedang bicara dengan orang lain, jangan asal datang dan memotong pembicaraan. Itu nggak sopan." Ini sudah dua kali Almira datang tanpa diduga, memutus begitu saja obrolan Zehan dengan lawan bicaranya.
Almira menghela napas, masih dengan posisi yang sama--memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket tebalnya. Kulit putih Almira terlihat pucat di cuaca dingin kali ini. Bibirnya beberapa kali mengeluarkan asap. "Aku tadi keliling sambil menghirup segarnya embun di sekitar sini. Habis jalan-jalan niatnya mau ke pasar juga, aku lagi belajar memasak loh. Kan lumayan buat persiapan jadi istrinya kamu."
Zehan tersedak, kembali mengingat Allah ketika merasa omongan Almira tidak benar sama sekali. "Jangan asal bicara, saya nggak senang mendengarnya!"
"Kita udah dua kali ketemu tanpa sengaja. Kejadian malam itu, terus pagi ini. Kata orang kalau sampai tiga kali, artinya kita berjodoh." Menaikkan bahunya santai, mengulum senyum jenaka. Senang bersikap konyol, menutup telinga jika Zehan juga akan merasa risih dengan kelakuannya. "Mau banget berjodoh sama Pak Ustadz. Aku suka. Kamu nggak keberatan kalau jodohnya aku kan? Aku cantik dan seksi, enak dipandangi."
"Astaghfirullah, omongan kamu sama sekali nggak ada remnya. Saya pergi dulu. Assalamu'alaikum." Lantas melenggang pergi tanpa berlama-lama, menghindari Almira yang sering membuatnya kehabisan kata-kata.
Almira mengikuti langkahan Zehan dengan setengah berlarian kecil. "Pak Ustadz tunggu. Kita belum selesai bicara. Aku ... eh, astaga!" pekiknya saat tidak sengaja tersandung batu. Refleks Zehan menarik tangan Almira, menahan gadis itu sebelum mencium bebatuan tajam. "Aduh, sakitnya." Dia mendesah kesal, mengecek kondisi kakinya yang memerah, lecet terkena batu. Akibat tidak bisa diam, akhirnya terkilir.
"Ada-ada saja!" Zehan geleng-geleng kepala keheranan. Almira terlalu aktif. "Jalan yang bener."
"Kaki aku terkilir. Gendong kek gitu Pak Ustadz. Rumah aku jauh, nggak sanggup jalan sendirian. Kasih perhatian, aku kan calon istri dan ibu dari anak-anak kamu."
"Nggak bisa. Kamu pikir permintaan itu baik diucapkan kepada saya yang statusnya bukan siapa-siapa kamu? Kita bukan mahram, jangan bersikap berlebihan, jaga etika kamu sebagai perempuan."
"Kan aku calon menantu keluarga Razzaq. Wajar dong kalau aku kelihatan ngelunjak. Kamu tenang aja, aku kayak gini cuman sama kamu. Ibaratnya itu kayak martabak, spesial."
"Pulang sendiri, saya nggak mau tahu." Zehan bersiap pergi lagi, hanya saja Almira menahan lengannya. "Jangan pegang-pegang saya, nanti jadi fitnah dan dosa. Harusnya kamu tahu batasan antara perempuan dan laki-laki. Malu diliat banyak orang."
"Jadi kamu maunya yang sembunyi-sembunyi biar nggak ketahuan? Aduh, mesumm ih Pak Ustadz. Tapi boleh juga berduaan sama kamu, apalagi sambil gelap-gelapan. Cuman jangan salahin aku kalau kita pulangnya jadi bertiga ya. Aku, kamu, dan dedek bayi--anak kita." Almira mengulum senyum, terkikik sendiri seolah apa yang baru saja dia ucapkan lucu.
"Saya nggak bercanda, jangan keseringan bersikap semau kamu. Nggak baik. Jaga ucapan juga, karena nggak semua orang bisa menerima kalimat kamu yang nggak jelas itu."
Almira memajukan bibir. "Oke, bakal diinget. Makasih udah perhatian banget, makin suka deh. Tapi ngomong-ngomong kaki aku sakit nih. Gendong dong. Janji deh nggak bakal bilang siapa-siapa, cuman kita berdua yang tahu."
"Astaghfirullah." Napas Zehan tercekat, memejamkan matanya menahan marah. Puluhan kali dia mengucap, agar tidak kelepasan bicara yang tidak-tidak.
"Seneng kan kamu deket aku, jadinya ingat Allah terus. Masyaallah calon suami." Dengan wajah datarnya, Zehan kembali berniat beranjak, hanya saja Almira mencegah.
"Aku aduin Umi ya nanti!" Ancaman paling ampuh untuk membungkam Zehan. Almira memang benar-benar bertingkah.
Zehan menghela napasnya kasar. "Ikuti saya. Jalan sendiri dan jangan dekat-dekat sama saya. Tolong hargai saya sebagai laki-laki, " Melangkah duluan ke rumah sepupunya.
Sesampainya di rumah sepupu Zehan, Almira langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menaikkan kaki ke atas sambil meringis kesakitan. "Ngilu banget. Lihat kaki aku, bengkak!" Memang benar adanya, kaki Almira sudah sedikit membengkak kemerahan. Apalagi mengingat jarak dari tempat dia terkilir tadi ke rumah sepupu Zehan cukup jauh. Naik ke daratan tinggi. Almira rasanya sudah tidak kuat berjalan lagi jika rumahnya lebih jauh dari pada ini.
"Ih, ada Bibi nakal!" Sadam menatap tidak senang, memicingkan matanya waspada. Dia melangkah pelan mendekati Zehan, kemudian berusaha berlindung. "Ngapain Bibi ke sini. Jangan kasih tau Mama." Dia geleng-geleng cemas. Takut jika sampai Mamanya tahu kejahilannya, nanti tidak dibolehkan lagi main ke kediaman Zehan untuk sementara waktu.
"Kamu mau jahilin aku lagi ya?!" Almira menatap horor. "Aku aduin Mama kamu, biar dimarahi!" Mengancam adalah senjata Almira. Dia senang sekali melakukannya untuk menakuti anak-anak seusia Sadam, terlebih lagi anak kecil mudah dibohongi untuk memancing rasa takutnya.
"Jangan!" Menggeleng tegas, wajahnya nampak was-was.
Zehan menegur Almira, menyuru dia diam agar tidak membuat keributan. "Kok sepi, Sayang. Mamanya ke mana?"
"Sholat."
"Kok sholat, bangun subuhnya kesiangan ya?" celetuk Almira asal.
"Huts, astaghfirullah, Almira. Bisa diam?" Almira langsung mengangguk, merapatkan bibirnya dengan polos.
"Bibi takut Paman ya?" Kemudian menertawakan Almira, memeletkan lidah dengan decakan sebal karena sebelumnya sudah terpancing dengan ancaman Almira menakutinya. "Marahi Bibi ini, Paman. Dia kan nakal, nggak usah temenan."
Almira mengangkat tangan yang terkepal, bersiap ingin memukul Sadam.
"Sekali kamu mukul ponakan saya, nggak usah lagi bicara dengan saya." Almira langsung kalah telak, kembali mengurungkan niatnya. "Kok kasar banget sama anak kecil, heran!"
"Dia jahil, aku nggak suka bocah kayak dia. Ribet, nguji kesabaran terus."
Zehan tidak menanggapi Almira lagi, menggendong Sadam menuju dapur untuk membuat minuman hangat. Sadar sangat ceria, dia bercerita banyak hal tentang permainan kudanya yang baru. "Mama ... itu Mama." Sadar menunjuk ke arah Mamanya yang sudah selesai sholat, kemudian tersenyum lebar senang.
"Zehan, kapan datang? Maaf jadi bikin teh sendiri, mbak baru beres sholat di kamar. Tumben mampir pagi-pagi. Nggak ngajak di pondok?"
"Enggak, Mbak. Lagi nggak ada kelas. Gimana kabar Mbak, udah baikan?" Shafea adalah sepupu Zehan, usianya lebih tua dua tahun. Dia adalah salah satu ustadzah di pondok pesantren juga. Hanya saja sudah sejak kemarin libur ngajar, keadaan Shafea kurang sehat. Mungkin kelelahan, kurang istirahat.
"Udah, Han. Tadi malam udah diurut juga, panggil Budhe Ajay ke sini. Enak banget kalau diurut, cepat baikan daripada cuman minum obat. Mbak kelelahan karena beberes lantai atas kemarin, angkat barang ke sana ke mari. Terus paginya lanjut ngajar dan sorenya bawa Sadam ke pengajian. Hampir nggak ada istirahat banget tiga hari itu, makanya demam."
"Habis ini nggak usah terlalu lelah lagi, Mbak. Apalagi kita tahu kondisi Mbak habis keguguran juga, kata dokter emang nggak boleh lelah dan angkat yang berat-berat dulu untuk sementara waktu."
Shafea mengangguk paham. "Kamu ajak siapa di luar, Han? Tumben sama perempuan, Mbak nggak salah lihat kan?"
Zehan menaikkan bahu. "Nggak jelas, ngeselin anaknya, Mbak. Tadi kakinya terkilir, makanya aku bawa ke sini. Bisa minta tolong diobatin, Mbak? Kesian juga soalnya. Memar kakinya."
"Bisa. Nanti Mbak obatin."
"Terima kasih, Mbak. Aku ke teras samping dulu. Ayo Sadam, kita latihan menghafal surah pendek bareng. Nanti Paman kasih permen kalau bisa menambah hafalan lagi."
Sadam mengangguk, bersorak ceria. "Aku udah pinter, hafalannya banyak!" Memberi tahu jika hafalannya seluas gunung yang dia bentuk menggunakan kedua tangannya. Setinggi kepala, lalu tertawa cekikikan.
****
"Pagi-pagi udah buat heboh di rumah orang. Malu-maluin, Al!" Sepanjang jalan habis menjemput Almira di rumah sepupu Zehan tadi, Hana merajuk dan terus mengomel. Dia tidak habis pikir dengan kelakuan Almira, padahal baru semalam mereka membicarakan soal bagaimana caranya bersikap yang baik agar semua orang yang ketemu Almira tidak merasa risih--ini tidak hanya berlaku pada Zehan. Tapi lihat pagi ini, semua pembahasan mereka semalam tidak berarti apa pun. Semacam masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
"Gue nggak tau kalau bakal ketemu Zehan di kebun teh. Gue kan niatnya mau jalan-jalan sekitar sana, sekalian nanti pulangnya mampir ke pasar. Lo sih dibangunin nggak mau, jadi gue pergi sendiri. Andai lo ada di tempat pas kaki gue terkilir, pasti iyain kalau gue emang nggak salah. Gue nggak niat ngikutin Zehan."
"Ada-ada aja. Kenapa pakai acara terkilir segala? Apa yang udah lo lakuin pas sama Zehan? Pasti ganjen, lo kan gatal!" Hana mendengkus sebal, ingin rasanya mencubit Almira sampai gadis itu mengaduh dan meminta ampun.
"Nggak ada, gue jadi anak baik kok. Kan terkilir bukan kemauan gue, nasib aja lagi apes ini mah. Udah-udah, nggak usah ngomel mulu. Gue laper, pengen makan. Bibi udah siapin sarapan nggak ya."
Hana menghela napas panjang. "Lain kali jangan keluyuran nggak jelas, lo belum terbiasa dengan tempat ini."
"Iya, iya, Na. Nanti diingat."
"Biasanya ngeyelan. Iya aja terus, tapi apa yang gue omongin nggak dipake. Jangan terlalu keras kepala, nggak baik."
"Bakal gue ingat, Na. Udah ya ngomelnya, telinga gue panas nih. Berasa ada suara nging-nging gitu."
Hana mencubit lengan Almira, membuat gadis itu kesakitan. "Tadi Sadam bilang kalau lo mengganggu Zehan. Ayolah, Al, cara deketinnya diubah lagi. Jangan agresif."
"Terus lo percaya sama bocah ingusan itu? Hebat banget, punya indera keenam lo?" Mencebikkan bibir, tersulut juga akhirnya karena sejak tadi Hana selalu menyalahkan. "Itu anak nakalnya nggak ketolongan, pengen gue jitak kepalanya."
"Huts, Al. Tadi ada Mamanya, yang sopan!"
"Untung Mamanya baik. Gue tadi sempat ngobrol beberapa hal."
Hana memicingkan matanya. "Lo nggak bilang kalau lo calon istrinya Zehan kan?"
"Bilanglah. Kali aja kabul. Lo harus ingat ... ucapan adalah doa. Jadi kita harus ucapkan yang baik-baik." Almira mengulum senyum, terkikik geli saat mengingat ekspresi kaget Shafea saat mendengar Almira berkata dia calon istrinya Zehan. "Tapi dia kayak langsung kaku gitu, kayak ada sembunyiin sesuatu. Menurut lo ... mungkin nggak sih Zehan udah punya calon istri? Kan biasanya kalau pria tahu agama kayak dia--agamis, suka dijodohin sama orangtua."
"Mungkin aja. Apa sih yang nggak mungkin kalau Allah sudah berkehendak?"
Almira balas mencubit Hana. "Reseknya! Harusnya lo bilang kalau itu nggak mungkin, biar gue terlihat masih punya kesempatan buat dapetin Zehan. Gimana sih, nggak seru lo!"
"Nggak usah terlalu banyak berharap sama yang nggak pasti, nyakitin hati. Percaya aja sama gue, ustadz modelan Zehan banyak yang naksir. Mungkin Abi Kiai udah punya calon, banyak kan ustadzah di pondok juga?"
"Jangan gitu, gue nggak rela. Apa gue harus masuk pondok biar ketemu Zehan setiap hari? Bakal gue larang tuh ustadzah ganjen yang coba-coba deketin calon suami gue!"
"Elo yang ganjen, anjirr! Nggak sadar diri banget."
Almira menopang dagu, wajahnya ditekuk masam. "Masa gue mondok sih, nggak enak banget terkurung di sana. Gue juga lemah menghafal. Apalagi yang dihafal itu ayat-ayat Al-Qur'an, bisa botak kepala gue, Na."
"Belajar makanya. Bayangin mulu, padahal ngejalaninnya belum."
"Ais, nanti deh gue pikirin lagi."
"Nggak usah kepikiran masuk pondok cuman gara-gara pengin ngejar Zehan. Niat awal lo udah nggak bener, Allah nggak bakal ngerestuin lo!"
"Ya sudah, nggak jadi. Apa susahnya?" Almira mencebikkan bibir, memutar bola mata malas. "Riweh, nanti gue tikung di sepertiga malam aja deh."
"Sok-sokan lo. Sholat subuh aja sering kesiangan!" Hana melempar bantal sofa tepat mengenai kepala Almira, membuat gadis itu mengaduh.
Almira tidak marah, dia malah tertawa. "Ngantuk euy!" Menaikkan bahu, menghela napas sambil memikirkan sikapnya. Kapan dia bisa mendapat hidayah?
Jangankan mau menikung Zehan di sepertiga malam, sholat wajib saja masih sering lupa dan keteteran. Almira, Almira!