Ditemani Nyonya Wilson, Almira akhirnya melakukan perjalanan menuju Bogor. Dia nampak senang, wajahnya tidak berhenti mengulas senyum. Keluarga Wilson memenuhi permintaan Almira, dia ingin tinggal di kota hujan untuk sementara waktu. Sudah berjanji pada Papanya agar tidak membuat masalah, jangan sampai bikin malu apalagi masuk media. Bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi, Tuan Wilson hanya takut masa depan putrinya dipertaruhkan, Almira harapan satu-satunya.
Tidak hanya bersama Nyonya Wilson, hari ini Hana pun ikut bersama mereka. Demi mengantarkan Almira, Hana akhirnya mengambil libur bekerja selama dua hari. Dia akan menginap, besok baru balik ke Jakarta. Sejujurnya Hana juga penasaran bagaimana dengan keluarga Zehan, makanya nanti dia akan ikut berkunjung ke sana. Tidak mungkin Almira bohong soal pria itu, apalagi setahu Hana selera Almira sangat tinggi.
Bukan bermaksud apa-apa, tapi Daffa juga sangat rupawan. Meski kelakuannya sebrengsek itu, wajah dia sangat tetolong sekali. Dulu Daffa jerawatan, kemudian melakukan pengobatan bersama Almira hingga sembuh. Dia sangat tampan, semua pakaiannya pun diatur rapi oleh Almira. Untung saja mereka putus, Daffa adalah beban sepanjang masa untuk Almira. Tidak pantas dijadikan imam masa depan, sebab tidak bertanggung jawab sama sekali. Dia hanya memanfaatkan Almira, memoroti hartanya saja. Tidak sedikit uang yang Almira habiskan untuk membiayai hidup Daffa, tapi akhirnya malah memberikan luka.
"Ini rumahnya sudah diberesin kemarin, nanti ada Bibi yang datang nemenin kamu di sini. Ada tukang kebun juga buat beresin tanaman Mama. Kamu kalau ada waktu, bantu rawat ya. Jangan sampai mati lagi, itu udah Mama ganti sama tanaman yang baru."
"Iya, insyaallah kalau ingat. Udah tau aku nggak suka tanaman, pakai acara dititipin ke aku. Peluang matinya lumayan besar, jangan terlalu berharap sama aku."
Nyonya Wilson menggerutu kesal. "Anak satu ini, katanya pengen berubah jadi lebih baik."
Almira memutar bola mata malas. "Masih perlu penyesuaian, Ma. Nggak kayak makan cabe langsung pedaslah, doain aja aku yang banyak. Biar anak Mama satu ini tobat."
"Aamiin, Mama doain serius banget. Awas aja kalau di sini juga main-main, jangan bikin malu Mama."
"Iya, bakal diingat. Aku sama Hana ke kamar dulu beberes pakaian. Mama kalau mau nyemil ambil di kantong plastik yang aku beli di swalayan tadi. Siapa tahu nunggu Bibi lama datangnya."
"Ya sudah, Mama mau bicara dulu sama tukang kebun. Nanti makan kita pesen saja. Mama habis makan siang juga pulangnya, nanti mau sekalian mampir dulu ke pabrik sebelum kembali ke Jakarta."
"Oke sip, terserah Mama aja. Kalau bisa sate kambing ya, Ma. Enak kayaknya."
"Hana mau makan apa?"
"Aku ngikut yang ada aja, Tante. Gampanglah, selera aku sama Almira klop."
Sesampainya di kamar, Hana langsung menarik Almira. "Jauh nggak dari sini tempat ustadz itu?" tanyanya penasaran.
Almira memicingkan matanya. "Jangan macam-macam ya, Na. Jangan lo embat, punya gue." Mendengkus sebal, memperingati dengan tegas. Kalau soal akhlak, Hana memang jauh lebih unggul. "Dia itu nyebelin, tapi bikin gue kangen. Kalau bisa jadi suami gue aja, Papa pasti setuju. Lebih lagi dari keluarga yang paham agama juga."
"Gue cuman pengen liat aja, penasaran. Seberapa ganteng sih, sampai lo jatuh cinta pada suara pertamanya pas ceramah subuh."
"Nggak bakal ngecewain, wajahnya teduh banget. Bedalah sama si brengsekk Daffa. Dia jarang senyum, tapi sekalinya senyum bikin meleleh. Sayang anak kecil, gagah dan kelihatan atletis badannya. Mungkin dia juga olahraga, kekar gitu. Seksi!" Mengulum senyum sambil membayangkan tipis-tipis.
Hana menyentil kening Almira. "Otak mesumm! Dia ustadz woi, nggak usah cabull. Malu-maluin banget."
"Gue bicara fakta kok." Almira mencebikkan bibirnya, langsung menyusun pakaian ke dalam lemari. Kamarnya ada di lantai atas. Tidak lebih luas dari kamar Almira di Jakarta, ruangan itu terlihat lebih sederhana. Tidak ada ruang pakaian, cuman ada kamar mandi dan balkon kecil sekitar satu setengah meter.
Pemandangan di sana begitu nyaman, adem, dan asri. Rumah di Bogor tidak sebesar kediaman Wilson di Jakarta, tapi sudah cukup menenangkan dengan adanya kolam renang dan halaman. Almira senang berenang, jadi harus ada kolam.
"Nanti sore kita jalan-jalan ke kediaman Pak Ustadz. Tapi harus pakai jilbab, kalau enggak ... nanti nggak bisa ketemu Zehan dan Abi Kiai."
"Kenapa? Gue kagak bawa jilbab anjirr, lo kagak bilang kalau harus mengenakan pakaian tertutup. Gue pikir asal pakai baju dan celananya sopan, udah aman."
Almira berpikir sebentar. "Nggak bisa. Abi yang paling jaga jarak sama wanita terbuka aurat. Beliau pasti menundukkan pandangan, nggak bisa mengobrol bersama juga. Kalau mau deketin Zehan, kayaknya harus lewat jalur orangtuanya dulu."
"Lewat jalur Allah, bege!"
"Ya itu juga sih. Soalnya kalau langsung deketin Zehan, auto kena mental. Dia aja bersikap terang-terangan seolah gue bukan cewek idamannya. Kayak jauh dari kriteria dia, padahal gue kan cantik dan seksi." Almira mencibir tidak senang ketika mengingat perlakuan Zehan, ingin dia cakar. Untung wajahnya adem, bikin tidak gampang emosian.
Hana menghela napas, bersandar pada tembok dengan sebelah lengannya ditumpukan. "Nanti deh beli jilbab dulu sekalian mau ke sana."
"Ide bagus, gue juga mau sekalian. Gue lupa juga bawa jilbab, ketinggalan. Tadi malam udah gue taruh dalam paperbag, ada gue selipin di samping lemari. Jangan kasih tau nyokap gue, nanti dia marah. Bisa-bisanya gue mau tobat malah lupa bawa jilbab."
"Bisa-bisa ni anak!" Hana jadi gemas sendiri. Sementara Almira hanya terkikik geli, menaikkan bahunya tidak terlalu peduli.
"Gue kan nggak janji bakal berhijab, yang gue tekatin berubah jadi baik aja dulu. Ini mengarah ke sikap sih, soalnya sikap gue sekarang kayak anak dakjal."
"Sadar diri sebenarnya, cuman nyebelin. Lo tahu salah, tapi tetap aja dilakuin."
"Karena yang salah itu lebih menantang, Na."
"Sesat! Nanti kalau lo dicambuk Malaikat di neraka, lebih menantang juga ya rasanya."
"Omongan lo!" Almira menjerit tidak terima, paling takut jika membicarakan perihal neraka. Tapi senang sekali melakukan sesuatu yang dilarang-Nya. Heran!
****
"Hei, Pak Ustadz!" Almira melambaikan tangannya, melangkah lebar mendatangi Zehan yang tengah mengobrol dengan seorang pria seusianya. "Aku datang, kangennya!" kata dia percaya diri sekali, tidak tanggung-tanggung berusaha menggoda Zehan.
"Saya permisi dulu, Zehan. Assalamu'alaikum." Kemudian pria itu berlalu begitu saja dari Zehan, menundukkan pandangan dari Almira dan Hana yang baru saja bergabung.
"Aku mau mampir ke rumah kamu, datengin Umi. Dia ada di rumah kan?"
Zehan mengusap wajahnya. "Tolong jika kamu berniat mengenakan hijab, dibenerin sedikit cara pakainya. Itu rambut kamu masih kelihatan, lebih baik dirapikan pakai peniti."
"Nggak punya peniti, tapi masih untunglah aku pakai celana dan baju tertutup begini. Daripada malam waktu itu, ini jauh lebih sopan. Oh iya, aku ke sini bawa temanku ... namanya Hana."
Hana refleks mengulurkan tangannya, kemudian Almira melotot tajam. "Nama dia Zehan. Ngapain ngulurin tangan, begoo!" Almira menyentak tangan Hana, memutar bola matanya jengah.
"Silakan langsung ke rumah saja. Ada Umi dan Fatimah."
"Eh, kamu mau ke mana calon imam?"
Zehan menautkan alisnya, sejak tadi berusaha menghindari Almira. Tidak ingin menatap terlalu lama, tidak juga terlalu menyahuti ucapannya. Andai Zehan tidak ingat nasihat Abinya, dia sudah mengabaikan Almira dengan kejam seperti terakhir kali. Hanya saja kata Abinya Almira adalah perempuan, jangan terlalu kasar apalagi sampai menyakiti perasaan sesama makhluk Allah. "Saya ada acara."
"Acara apa? Boleh ikut nggak?"
Hana menoel lengan Almira. "Bukannya kita mau ketemu Umi?"
"Saya permisi. Assalamu'alaikum." Lantas beranjak dari sana tanpa basa-basi lagi.
"Anjiir lolos kan calon imam masa depan gue!" Almira melepaskan rangkulan Hana di lengannya, mendengkus kasar. "Lo kagak ngedukung gue banget, heran!"
Hana mencubit lengan Almira sampai sang empunya mengaduh sakit. "Dia kelihatan risih sama lo, nggak suka dengan sikap lo yang gatal begini. Katanya mau berubah, tapi kok malah ngobral diri. Minta diborong dengan harga murah lo ya?"
"Sembarangan mulut lo, pengen gue tabok bolak-balik. Biar lekas kapok, suka bener ngomong nyelekit ke gue!"
Hana hanya terkekeh kecil, menaikkan bahunya cuek. "Ganteng sih, gue setuju kalau soal itu. Wangi banget juga, sampai terngiang-ngiang salam dia yang kedengaran hangat tadi."
"Jangan suka, mau pepet dia jadi suami gue. Ingat ya, jangan diambil!" Lalu melangkah duluan ke rumah Zehan, wajahnya kembali ceria setelah beberapa saat lalu cemberut masam. "Assalamu'alaikum, Umi. Aku datang ...!" katanya bersemangat sekali. Dia terlihat sudah akrab sekali, padahal ini baru pertemuan kedua. Almira memang ajaib, dia bisa bersikap sedemikian rupa untuk menuluskan niat hatinya.
"Kenalin Umi, teman aku. Namanya Hana."
"Wa'alaikumussalam, Nak. Kapan datang? Umi kira siapa, cantik sekali mengenakan hijab begini." Mengusap bahu Almira dan Hana secara bergantian setelah bersalaman. "Ayo masuk, Umi baru aja datang dari warung ngambil tepung roti dan keju. Kebetulan mau buat risoles bareng Fatimah. Kalian suka?"
Almira mengangguk cepat. "Suka, cuman nggak doyan kalau isiannya hati dan ampela ayam. Nggak suka, rasanya aneh." Menaikkan bahu, berkata jujur.
Umi terkekeh, mengangguk paham. "Fatimah, kenalin ini yang namanya Kak Almira. Yang waktu itu pernah Umi ceritain sama kamu, yang pernah menginap ke kamar kamu. Dan satu lagi adalah temannya Kak Almira, namanya Kakak Hana. Salaman dulu, Nak."
Fatimah secepatnya membersihkan tangan, lalu mengeringkannya sebelum menyalami. "Fatimah, Kak, adiknya Bang Zehan." Memperkenalkan dirinya pada Almira dan Hana sekaligus. Tersenyum ramah, terlihat mirip dengan Abi Kiai.
"Oh iya, aku bawain mukena kamu yang aku pinjam kemarin. Terima kasih ya, maaf baru dikembalikan sekarang." Fatimah menggeleng tidak masalah. "Terus tadi aku belikan juga mukena yang baru untuk Fatimah dan Umi. Sementara Abi, Zehan, dan yang paling kecil itu aku belikan sarung. Biar nanti bisa dipakai buat sholat."
"Terima kasih banyak, Nak, maaf jadi merepotkan kamu."
"Nggak ngerepotin sama sekali, Umi." Almira tersenyum lebar. Mungkin ini bisa disebut cara pertama untuk pendekatan sama calon mertua. Dan ya, berhasil.
Fatimah melihat mukena barunya, wajah itu terlihat senang sekali. "Wah, alhamdulillah. Mukenanya bagus banget, Umi. Aku suka, besok mau aku bawa ke pondok, biar bisa sering-sering dibawa sholat."
Umu Fatimah tersenyum melihat keceriaan putrinya. "Nanti kalau sholat, jangan lupa doakan Kak Almira yang baik-baik, biar pahalanya ngasih kamu mukena selalu mengalir." Fatimah mengangguk pasti, mengacungkan jempolnya.
"Terima kasih, Kak Almira. Aku seneng."
Almira mengusap lengan Fatimah. "Sama-sama. Doain aku biar berjodoh sama Abang kamu ya!" bisiknya berani, tapi sambil dibarengi dengan kekehan. "Jangan beri tahu Umi." Mengedipkan matanya, mengacungkan jempol penuh rahasia.
Fatimah hanya bisa tertawa kecil, mengangguk saja untuk mengiyakannya.
"Lo jangan aneh-aneh, elah!" Hana mencubit Almira, gemas sama sikap wanita itu yang tidak ada habisnya berubah. Dia pasti membisik pada Fatimah yang tidak-tidak, ketahuan sekali dari gelagatnya yang mencurigakan.
Almira memeletkan lidah. "Terserah gue dong, jangan ngamuk." Kemudian mendekati Hana untuk membantu menambahkan tepung rotinya agar menyelimuti risoles. "Umi, Abi ke mana? Kok dari tadi aku belum liat."
"Abi ada di pondok, Nak. Paling habis isya nanti baru pulang."
"Adenya Fatimah, siapa namanya Umi?"
"Alif, Nak. Dia juga udah pulang ke pondok, baru aja kembali tadi sebelum Zehan berangkat. Kalau Fatimah memilih besok saja, katanya mau minta buatkan risoles ini."
"Fatimah, di pondok pesantren itu seru kah? Apa kamu nggak bosan dikurung di sana kayak tahanan?" celetuknya tidak tahu dosa dengan kening mengerut dalam.
"Seru, sama sekali nggak bosenin. Mungkin karena aku udah terbiasa juga ada di sana, Kak. Senang bisa ketemu temen-temen, belajar agama bareng. Banyak ilmu yang aku dapat selama di pondok, luar biasa banget. Kak Almira juga berniat masuk pondok kah? Nanti bisa sekamar sama aku, soalnya kamar aku lagi kosong. Dua teman aku baru aja lulus, mereka udah menikah."
Almira menggeleng cepat. "Nggak cocok anak kayak aku masuk pondok, attitudenya belum bagus kayak kamu. Lihat jilbab aku, kata Zehan cara pakainya masih salah. Gimana ya, aku kan nggak punya peniti." Menaikkan bahu, bibirnya kembali cemberut masam.
"Semua orang itu baik, jadi siapa pun boleh masuk pondok untuk mendalami dan belajar ilmu agama. Dulu banyak banget hal-hal penting yang aku nggak tau, tapi setelah belajar ... perlahan aku mulai tau dan mempelajarinya lebih dalam. Menghafal juga susah bagi orang-orang termasuk aku, tapi kalau kita mau berusaha dan yakin dengan niat ... kita bakal bisa dengan sendirinya."
"Andai kamu liat kelakuan aku malam itu, kamu pasti nggak mau temenan sama aku. Aku kacau ya, Umi, suka mabuk-mabukan. Pakaian aku juga nggak tertutup kayak kamu, aku mah sering pakai yang seksi-seksi. Kayak ahli neraka nggak sih?"
"Huts, Nak. Naudzubillah, nggak boleh bicara kayak gitu. Berdoa yang baik-baik untuk diri kamu. Kalau udah ada niat berubah, lakukan saja. Tinggalkan semuanya secara perlahan, biasakan diri dengan berbuat hal-hal baik."
"Aku ambilkan peniti dulu, nanti aku bantu rapikan jilbab Kak Almira." Fatimah meninggalkan dapur, segera melangkah menuju kamarnya.
Tadi Hana sudah memperingati Almira untuk memberi penitinya sekalian--merapikan bentuk jilbabnya, tapi gadis itu malah ngeyel. Akhirnya cuman Hana yang berhasil menutup rambutnya secara keseluruhan. Almira ini keras kepala, minta dicubit biar sadar.
Hana bantu menggoreng risoles, sementara Umi mengolah bumbu kecap pedasnya yang dicampurkan bawang merah dan potongan tomat juga. Ini resep yang selalu disukai anak-anak di keluarga Razzaq, mereka langsung lahap memakannya.
"Wangi ya risolesnya, Umi. Aku nggak pernah bikin, karena emang nggak bisa masak. Kalau Hana jago, dia yang sering masakin aku kalau kelaparan."
Umi terkekeh. "Nggak apa, Nak. Nanti kalau belajar, semua akan bisa kamu lakukan. Umi waktu muda juga nggak bisa masak, tapi setelah mau belajar, akhirnya terasah juga skillnya. Memasak itu seru, bisa jadi hiburan sendiri di kala bosan. Betul kan ya, Nak Hana?"
"Betul, Umi. Aku setiap hari masak, karena merasa jauh lebih seneng kalau bisa menciptakan banyak menu."
"Nanti aku juga mau belajar masak, Umi."
Fatimah datang, dia langsung meminta izin untuk memperbaiki tatanan jilbab Almira. "Menurut Kakak, segini pas nggak? Takutnya mencekik."
"Pas kok, aku nyaman-nyaman aja." Lalu menambahkan peniti di bagian bawah dagu Almira. Membiarkan jilbab segi empat itu menjulur ke bawah menutupi dadaa. "Gerah ja pakai jilbab begini, mungkin karena aku belum terbiasa."
"Nyaman banget, Kak. Biasakan ya, Kakak tambah cantik dengan pakaian tertutup begini."
Almira tersenyum. "Semoga aja nanti bisa ya."
Setelah risolesnya siap disajikan, mereka berempat masing-masing mencicipinya. Isian risoles itu ada kentang, wortel, dan ayam. "Wah, ini enak banget. Kecapnya ini cuman dikasih cabe, bawang dan tomat, Umi? Kok enak ya, seger dan pedas banget."
"Iya, Nak. Nggak dihaluskan sama sekali, cuman dicampurkan mencari satu aja. Biasanya Zehan senang sekali dengan kecap pedas begini, makannya pasti nambah meski cuman pakai telur dadar."
Almira mengangguk, akan dia ingat. Siapa tahu di masa depan beneran dia yang jadi istri Zehan, Almira akan belajar memasak bersama Bibi nanti di rumah. Biar jadi istri yang baik bukan?
"Umi, kalau nanti aku memiliki kesempatan jadi menantu di keluarga ini. Umi keberatan kah?"