Tadi pagi Hana sudah pulang ke Jakarta, dia ada kerjaan yang memang tidak bisa ditinggalkan. Akhirnya Almira mau tidak mau harus berbesar hati membiarkan Hana pergi. Padahal Almira sangat nyaman bersama Hana, mereka selalu menyayangi meski sering berdebat setiap harinya. Jika tidak ada salah satu, pasti akan merindukan dan mencari. Almira memegang janji Hana, katanya dia akan kembali ke Bogor lagi di akhir minggu.
"Bibi Juli, aku mau belajar masak. Persetan dengan minyak panas, aku beneran harus bisa dan terbiasa. Aku juga nggak peduli jari aku bakal teriris pisau atau gimana. Kita nggak tahu kapan aku nikah, bisa aja besok kan? Kesian banget suami aku makan masakan luar terus. Auto gagal jadi istri yang baik aku." Menggeleng frustasi. Wajahnya tegang, nampak berpikir secara keras. Kemauan Almira untuk memasak sudah besar sekali, sayang dia juga tidak bisa mengontrol rasa takutnya. Kemarin Almira sudah mencoba menggoreng ayam, hanya saja langsung berteriak histeris saat melihat minyak panas mulai mengeluarkan cipratannya.
Tubuh Almira bergetar cemas, dia langsung mengurungkan niatnya untuk mendekati penggorengan. Sama halnya dengan memotong bawang, Almira masih tidak bisa mengiris bawang tipis-tipis layaknya yang Hana lakukan dengan gesit--seolah jemarinya sudah bersahabat dengan pisau yang tajam. Almira hanya bisa memotong menjadi beberapa bagian. Kata Hana bawang dengan potongan besar seperti itu tidak bisa dipakai menumis kangkung kecuali dihaluskan dulu.
Almira kembali belajar menghaluskan bumbu, sampai berkeringat dan mengeluh capek pada pergelangan tangannya. Menurut Almira menghaluskan bawang dan cabai begitu lama, dia tidak mahir melakukannya. Tangannya sangat kaku, berbeda sekali dengan gerakan si ahli juru masak--Hana atau Bibi Juli.
Beberapa kali Almira mendesah kesal pada dirinya. Menyesal kenapa tidak dari dulu saja dia belajar memasak. Baru kali ini Almira terpikir rajin dan semangat mencoba, sebelumnya selalu malas dan ingin cepat saji terus. Almira tipe orang yang tidak mau repot, tapi setelah melihat keadaan tidak semua lelaki seperti Papanya--masakan siapa pun disantap tanpa protes, alhasil jadi ketar-ketir sendiri. Kalau kata Bibi Juli, suaminya sendiri malah tidak terlalu senang makanan luar atau masakan orang lain. Sebab rasanya begitu berbeda, semacam ada rasa tersendiri dari olahan Bibi Juli, selalu membuat rindu dan bikin lahap makannya.
Bagaimana jika Zehan juga tidak terbiasa memakan makanan luar? Sementara Almira sendiri akan cemburu jika keperluan Zehan disiapkan wanita lain. Dia ingin menjadi istri yang baik, paling tidak harus bisa masak kan?
Percaya diri saja dulu jika Almira akan menjadi jodoh Zehan. Jika pun nanti mereka tidak memiliki takdir baik untuk berjodoh, Almira akan tetap bangga dan membawa skill memasaknya untuk kesenangan diri sendiri.
Tepat sekali apa kata Hana, memasak itu menyenangkan jika sudah menjadi bagian dari hobi. Apa-apa selalu ingin membuatnya sendiri, tidak lagi bergantung pada orang lain. Dan percaya jika apa yang kita masak sendiri akan jauh lebih nikmat rasanya.
"Bener sih, Neng. Lagian memasak nggak semenyeramkan itu, percaya deh sama saya. Neng Al hanya perlu berani, lawas rasa takutnya. Kalau terus-terusan berlindung, kapan bisanya kan?"
Almira menjentikkan jari. "Itu dia. Aish, aku juga bingung kenapa aku terlalu menye-menye begini. Pantas aja kadang Hana kesel pengen nendang aku, ternyata aku nyebelin banget. Apa-apa selalu takut dan nggak berani ngelakuinnya. Padahal dicoba aja belum, aku udah nyerah duluan." Memijat pelipisnya, memutar bola mata malas dengan bibir cemberut masam. "Menurut Bibi Juli, aku pemalas kan?"
"Mau jawaban jujur apa bohong, Neng?"
"Menurut Bibi gimana? Kok jadi nyebelin."
Bibi Juli terkekeh. "Bukannya malas, tapi karena nggak bisa ... makanya nggak seneng beberes atau melakukan hal lainnya. Andai Neng Al senang beberes, maka setiap hari akan beberes terus. Sama halnya dengan memasak, mencuci, nyapu, ngepel lantai, dan sebagainya. Biar rajin, jadikan semuanya kesenangan."
"Tapi kayaknya aku beneran malas sih." Almira berpikir lagi, kemudian berdecak geram dengan kelakuannya sendiri.
Bibi Juli geleng-geleng. "Terserah Neng Al aja deh, Bibi nurut. Nanti kalau Bibi salah bicara, Neng ngambek lagi kayak kemarin. Bibi takut ah, nanti dilaporkan sama Ibu."
Ancaman Almira ingin melaporkan Bibi Juli rupanya begitu menakuti wanita itu. Dia emang sangat jahil, ada-ada saja kelakuannya. Tidak mungkin Almira benar-benar melakukannya, ini hanya bahan bercandaan.
"Ya sudah, aku hari ini menumis tempe dengan udang aja. Lebih enak daripada menggoreng ayam atau ikan. Minyaknya nggak terlalu meledak-ledak. Itu tempe sama udang bisa digabung jadi satu kan ya, Bi?"
"Bisa, Neng. Ayo dipotong-potong dulu tempenya. Nanti biar Bibi bantu bersihkan udang. Neng Al mau pakai bumbu diiris atau dihaluskan?"
"Dihaluskan aja, biar berasa banget bumbunya. Cuman nggak mau lagi manual, pakai penghalus bumbu aja. Aku kemarin nyari di internet, ternyata itu cara paling gampang. Nggak usah capek ngulek, sakit tangan aku." Menaikkan bahu, mulai mengambil tempe yang dia perlukan dari lemari pendingin.
"Emang bener, Neng. Tapi kemarin Neng Hana pengin ngerjain aja. Katanya seru kalau bikin Neng Al ngomel dan merajuk."
Almira memicing. "Sialan si Hana, nanti kukeplak kepalanya!" Mendengkus dengan bibir menggerutu tidak henti-hentinya. Hana senang sekali mengerjai tanpa Almira sadari, selalu saja dia yang kena bohongi. Lihat bukan, bukan hanya Almira yang jahil dan banyak tingkah, Hana juga.
"Ini kekecilan nggak Bi potongnya? Biar nggak remuk di gorengnya nanti, harus seberapa besarnya?"
"Potong dadu aja, Neng. Kalau memanjang gitu biasanya cepat hancur."
Almira mengangguk paham, menepikan potongannya yang salah tadi. Sudah memanjang, tipis pula. Belum sampai ke wajah tumisan sudah remuk. Alhasil kalau kata Hana jadi tidak rapi penyajian akhirnya.
Walaupun keras kepala dan nggak suka diatur, tapi kalau Hana bicara beberapa hal penting soal masakan begini, Almira masih mendengarkan. Dia tahu meski cuman sedikit.
"Itu nanti tempenya digoreng dulu sebentar sebelum ditumis bareng udang ya, Neng Al. Biar enak rasanya."
"Kalau dimasukin mentahannya emang kenapa, Bi?"
"Kurang enak, tempenya cepat remuk juga, Neng. Soalnya kan nanti ditumisnya ditambahin sedikit air. Jadi otomatis bakal lembek gitu, nggak baguslah pokoknya. Rasanya juga bakal aneh."
Almira mengangguk paham. "Kalau tumis tempe dan tahu, dua-duanya juga harus digoreng dulu ya, Bi? Tahu kan kalau dimasak mentah juga bakal ancur."
"Betul, Neng Al. Biar Bibi panaskan minyak dulu, nanti Neng Al belajar sendiri ya goreng tempenya. Ini nggak meledak-ledak, soalnya bukan ayam atau ikan. Tenang saja."
"Kalau meledak bakal aku tinggal ya?"
"Loh, katanya mau belajar. Harus berani dong. Minyak panas doang, nanti juga terbiasa. Rasnaya cuman cekat-cekit sedikit, nggak sampai buat kita meninggal."
"Kalau sampai bikin meninggal, nggak ada yang berani memasak di dunia ini, Bibi Juli."
Bibi Juli terkikik. "Nah itu Neng Al tahu sendiri. Memasak nggak seram, memasak nggak taruhan nyawa, tapi malah bisa menciptakan cita rasa yang berujung cinta dan masih sayang. Percaya nggak, Neng Al?"
"Nggak!" Tawa Bibi Juli langsung sumbang saat Almira menolak mentah-mentah pernyataannya. "Buktinya Hana jomblo dari lahir, padahal dia pintar memasak."
"Ya kalau begitu namanya nasib, serahin aja sama yang Maha Kuasa. Tapi seriusan loh, suami bisa jadi makin sayang sama kita."
"Enggak ah, buktinya Papa di rumah bucin banget sama Mama. Padahal Mama nggak bisa masak, goreng telur aja pernah sampai gosong." Almira terdiam sebentar memikirkannya, lalu menaikkan bahu cuek.
Bibi Juli seketika ikutan berpikir juga. "Entahlah, Neng. Tapi orangtua jaman dulu emang sering bilang kayak gitu, mungkin biar anak gadisnya semangat belajar memasak dan beberes rumah."
"Masuk akal sih. Tapi dapat suami kayak Papa itu berkah banget loh. Papa nggak banyak menuntut, dia selalu berkata Mama sempurna. Bener-bener definisi encintai seseorang apa adanya. Saling menerima kekurangan, sampai sekarang saling setia. Papa nggak perlu apa-apa dari Mama, cukup Mama ada di samping dia ... Papa udah seneng banget." Mata Almira berbinar, dia tahu jika orangtuanya saling mencintai. Sangat besar. Hingga sebesar sekarang, Almira juga cuman sekali atau dua kali mendengar Papa dan Mamanya bertengkar, seperti selalu baik dan harmonis setiap harinya.
Tapi yang namanya rumah tangga, tidak ada yang berjalan mulus dan selalu baik-baik aja. Mungkin sering juga bertengkar, hanya sama Papa dan Mamanya sepakat tidak ingin sampai kedengaran Almira. Tahu jika perkelahian suami dan istri itu adalah rahasia. Tidak boleh diketahui anak, nanti malah berakibat fatal pada perkembangan mental putri mereka.
"Jangan lupa bersyukur, Neng. Masih banyak sekali anak di luar sana yang nggak seberuntung Neng Al."
"Alhamdulillah. Tapi aku juga kadang kesepian, aku nggak bener-bener ada dikebahagiaan itu, Bi. Setiap orang emang punya kesedihan masing-masing ya, mau yang ringat sampai berat sekali pun ... mereka pasti memilikinya. Nggak ada yang namanya hidup selalu berjalan mulus sesuai ekspektasi, pasti ada aja realita yang bertolak belakang."
"Tapi aku bersyukur banget punya Mama dan Papa yang baik dan berkecukupan dalam segala hal. Hidup aku emang enak kalau soal finansial. Tuhan ngasih lebih, bahkan lebih dari cukup untuk keluarga aku."
"Bener, Neng Al. Intinya di balik sebuah kesedihan ... pasti ada kebahagiaan. Di balik kesulitan, pasti ada kemudahan. Tuhan tahu batas kemampuan setiap Umatnya kan?"
Almira tersenyum hangat, mengangguk paham sekali dengan hal itu. Tapi kadang yang namanya manusia, Almira juga masih sering mengeluh. Suka marah kalau Papa dan Mamanya keasikan bekerja, dia jadi terabaikan. Almira hanya butuh kasih sayang dan perhatian lebih.
Yang membuat Almira tidak ingin menjadi wanita karier seperti ibunya adalah hal ini. Almira tidak ingin kesibukannya dalam pekerjaan malah mengabaikan anak-anaknya di masa depan. Almira sudah berjanji akan memberikan banyak perhatian sampai buah hatinya tidak merasa kesepian. Cukup Almira saja.
****
Sebelum mengantarkan bekal makanan itu pada Zehan, Almira kembali mencicipi masakannya sekali lagi. "Bibi Juli, ini beneran enak dan layak dimakan 'kan ya? Aku takut banget rasanya bikin mual, nanti malu-maluin. Ini pertama kali aku masak, perjuangan banget. Sampai keringetku sebesar biji jagung!"
"Enak, Neng Al. Setelah ini Bibi juga pengen makan pakai nasi hangat, pasti tambah enak." Bibi Juli mengacungkan jempolnya. Ini pemulaan yang sangat bagus untuk Almira, meski tadi sempat hambar rasa tumisannya. Tapi tenang saja, Bibi Juli sudah memberitahu untuk menambahkan sedikit garam. Sebenarnya bakat Almira dalam memasak sudah ada, cuman perlu diasah lagi biar lebih cekatan dan lihai membuat banyak menu.
"Ya sudah deh, aku berangkat dulu ya. Doain aku berhasil ngasih bekal ini." Melambaikan tangannya dengan ceria, melangkah semangat menuju kediaman Razzaq.
Almira menaiki vespa matic berwarna tosca miliknya, sengaja dia bawa dari Jakarta ke Bogor. Selama di sini Almira memang tidak berminat terlalu sering menaiki mobil, berasa lebih ribet saja. Apalagi jalan menuju kediaman Zehan masih ada bagian yang bebatuan dan tidak selebar jalanan raya.
Dengan mengenakan motor Almira juga bisa sesuka hati menegur para tetangganya dengan ramah, anggap saja perkenalan dia sebagai orang baru di komplek itu.
Jarak rumah Almira ke kediaman Zehan hanya berkisar sepuluh menit. Kali ini Almira mengenakan dress panjang tanpa motif kain rayon dan jilbab persegi secara rapi. Dia terlihat cantik dan manis dengan aurat tertutup seperti sekarang.
"Assalamu'alikum, Umi." Almira memarkirkan motornya dengan rapi di halaman depan kediaman Razzaq, kemudian menyalami Umu Fatimah yang baru saja dari warung. Sekarang waktunya makan siang, dia harus segera bersiap menunggu Abi Kiai dan Zehan pulang dari masjid.
Umu Fatimah tersenyum lebar. "Wa'alaikumussalam, Nak Almira. Masyaallah, cantik sekali." Mengusap punggung Almira, senang melihat perubahan gadis itu secepat ini. Auranya tambah keluar saat mengenakan hijab, terlihat berkali-kali lipat lebih cantik. "Kebetulan sekali kamu datang, sekalian aja makan siang bareng ya. Biar Umi ada temannya." Mengajak Almira masuk ke dalam, makanan sudah siap tersaji di atas meja makan. Tadi Umu Fatimah dan asisten rumah tangga yang bantu memasak.
Almira menaruh wadah makanannya ke atas meja. "Umi, ini masakan pertama aku. Tumisan tempe dan udang. Maaf kalau rasanya kurang enak, soalnya baru belajar. Nanti aku bakal latihan lagi biar makin hebat."
Umu Fatimah mengangguk, mengusap lengan Almira. "Terima kasih banyak, Nak. Ini pasti enak sekali rasanya, tercium dari aromanya yang menguar wangi. Zehan dan Abi pasti senang sekali. Tempe dan udang adalah pilihan yang tepat untuk makan siang, makanan kesukaan mereka."
"Beneran? Alhamdulillah, aku seneng banget dengernya, Umi. Nanti bakal aku ingat apa aja makanan kesukaan Abi Kiai dan Zehan."
Tidak lama mereka saling mengobrol tentang makanan, Abi Kiai dan Zehan pulang. Mereka barengan mengucapkan salam, kemudian Zehan nampak kaget melihat keberadaan Almira. Selalu saja gadis itu, aneh sekali.
"Wa'alaikumussalam, calon suami!" bisik Almira pelan pada Zehan saat Umu Fatimah mengurus Abi Kiai ke kamar sebentar, katanya mau ganti pakaian yang tidak sengaja basah kena air wudhu.
"Nggak usah macam-macam, jaga jarak dengan saya. Astaghfirullah, kenapa kamu selalu datang setiap hari? Saya sampai heran."
Almira mengulas senyum. "Aku kan calon menantu di keluarga ini, jadi harus sering-sering main. Anggap aja pendekatan dengan calon mertua. Kamu setuju kan?"
"Enggak sama sekali."
Senyum Almira hilang, wajahnya berubah datar. "Reseknya Zehan Razzaq. Nanti jatuh cinta ke-aku baru tahu rasa kamu!" Geleng-geleng, lalu menghela napas kasar. Almira kembali bersikap baik dan hangat saat Umu Fatimah dan Abi Kiai datang. "Abi, aku bawain makanan ini. Baru pertama kali belajar masak. Cobain ya, Abi. Maaf kalau rasanya kurang enak."
Abi mengangguk sopan, mengulas senyum tipis. "Terima kasih, Nak." Kemudian Umu Fatimah menambahkan masakan Almira ke dalam piring Abi Kiai.
"Zehan juga mau kan, Nak? Ini menu kesukaan kamu." Umu Fatimah tersenyum. Mau tidak mau, Zehan mengiyakannya saja. Dia melihat jika Almira begitu senang, seperti baru saja memenangkan lotre.
"Gimana rasanya, Abi?"
Abi Kiai mengangguk, makan dengan lahap. "Ini enak, Nak."
"Goreng tempenya terlalu garing, jadi bumbunya kurang meresap." Kemudian Zehan berkomentar jujur.
Almira langsung memusatkan tatapan pada Zehan, tatapannya seketika menyendu. "Iyakah? Maaf ya, soalnya baru pertama kali. Nanti deh belajar lagi."
"Ini enak kok, bumbunya berasa. Udangnya juga empuk banget. Zehan nggak boleh ngomong gitu di depan Almira, yang sedang kita hadapi sekarang juga rezeki."
"Nggak masalah, Umi. Habis ini aku bakal belajar lagi." Seketika napsu makannya menurun, langsung kepikiran jika masakannya begitu buruk.
Padahal Zehan hanya berkata jika tempenya digoreng terlalu garing, tapi kalau soal bumbu tidak buruk. Enak.
Sehabis makan, Zehan mendatangi Almira yang bersiap pulang. Wajahnya tidak seceria tadi, seketika dia merasa bersalah. "Saya minta maaf jika ucapan saya di ruang makan tadi sudah menyinggung perasaan kamu."
Almira mengangkat kepalanya. "Nggak pa-pa, lebih baik jujur kok."
"Bumbunya enak."
"Makasih ya. Nanti lain kali aku belajar lagi. Aku pulang dulu. Assalamu'alaikum."
Zehan terdiam melihat kepergian Almira yang tidak banyak bicara dan pecicilan seperti biasanya. "Wa'alaikumussalam," sahutnya kemudian ketika Almira sudah melenggang jauh.
"Calon istri Bang Zehan ya?!"
Pertayaan itu seketika membuyarkan lamunan Zehan, membuat matanya melebar sempurna. "Astaghfirullah, anak kecil. Nggak boleh ngomong sembarangan. Nanti jadi fitnah, dosa!"
Anak laki-laki berusia belasan tahun itu terkikik geli, kemudian langsung melenggang pergi tanpa merasa bersalah. Dia baru saja pulang dari masjid, menuju rumahnya yang tidak jauh dari kediaman Zehan. Mereka bertetangga.