1. Pertemuan Awal
Suara musik yang begitu keras terdengar memekakkan telinga. Membuat semua orang yang berada di dalam ruangan jedag-jedug dengan lampu gemerlap itu loncat-loncat dan meliukkan badan tidak keruan mengikuti musik DJ yang menggema. Di sana sangat berisik, menghanyutkan diri seperti sedang melayang ke angkasa. Alkohol ditegak berkali-kali, membuat akal sehat sedikit terkikis kian detiknya. Hal ini kebanyakan dilakukan agar semua masalah yang memusingkan seolah hilang tanpa jejak. Niatnya ingin berdamai dengan beban hidup, malah tak sedikit orang yang semakin menambah kekacauan. Tapi memang kebanyakan membuat candu, selalu ingin datang lagi dan lagi.
"Al, jangan minum lagi. Lo udah kelewatan mabuk!" Dia yang sejak tadi menjaga gadis itu segera merebut botol alkohol dari tangannya. "Waktu lo di sini sisa lima belas menit lagi, setelah itu pulang. Gue nggak mau ya lo sampai teler banget di sini. Nggak kuat gue bawa lo pulang, Nyet!" Meninju pelan lengan Almira, membuat sang empunya mencebikkan bibir kesal.
Almira Hilya, seorang gadis cantik yang selalu candu membuat keributan di mana-mana. Tubuhnya tidak terlalu jenjang bak seorang model, tapi memiliki kulit putih bersih yang sangat kontras dengan rambutnya yang sering gonta-ganti warna. Mata bulat dengan bulu lentik itu akhir-akhir ini sering basah oleh air mata, memikirkan nasibnya setelah putus cinta. Dia terpaksa putus sebab kekasihnya memilih wanita lain yang sudah terlanjur hamil--padahal hubungan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah. Ada banyak sekali waktu dan momen yang mereka lewati, keadaan susah maupun senang dijalani bersama. Kemudian dengan tega lelaki itu mengkhianati Almira.
"Gue kesel, Hana! Besok hari pernikahan Daffa dan wanita siall itu, dia sama sekali nggak mikirin perasaan gue yang udah setia. Apa kurangnya gue, Na? Gue kurang sabar gimana lagi ngehadapin dia? Cari di luar sana, cuman gue yang bodoh mau bertahan sama dia selama lima tahun. Susah seneng gue nikmatin, berharap setelah lulus kuliah dia nikahin gue. Ternyata cuman gue yang terlalu bego sampai nggak sadar gelagat dia yang lagi selingkuh. Pengen gue temuin Daffa, ngejambak rambutnya sampai botak." Mengepalkan tangan, memukul meja bar yang ada di hadapnnya. Almira kembali menegak alkohol, mata itu tidak berhenti berlinang.
"Dia nggak tahu diri banget. Gue yang bantu dia sampai sesukses sekarang, Na. Setelah dia berhasil, gue ditinggal kayak barang yang sama sekali nggak ada harganya. Siapa yang buat dia seganteng sekarang? Gue. Siapa yang modalin usaha kafe kopi dia? Gue yang bodoh ini!" Memukul kepalanya, marah sekali mengingat perjuangan dia yang berakhir sia-sia. Almira yang bodoh, dia terlalu mempercayai kekasihnya. Terkesan iya-iya saja dan begitu menurut. Tapi lihat sekarang, bahkan Almira yang tidak pernah protes ini malah ditinggalkan begitu saja. Daffa adalah lelaki yang tidak tahu diri, pantas saja dia menerima makian dari Almira.
Hana mengusap punggung sahabatnya. "Ngapain sih lo tangisin lelaki nggak bener kayak Daffa? Udah gue bilang dia itu nggak baik, lo malah nggak percaya. Lo jangan suka ngeremehin gue makanya, insting sahabat itu kuat banget, jarang bakal salah sasaran."
Almira mengangguk, memeluk Hana dengan keadaannya yang sangat melelahkan. "Gue terlalu menyayangi dia, Na. Dia cinta pertama gue, seseorang yang gue kira paling mengerti dan selalu menemani gue. Ternyata gue salah besar, dia nggak lebih dari seorang pengecut yang pernah hadir untuk memberikan luka. Dia manfaatin rasa sayang gue, Na, ngebodohin gue tanpa rasa bersalah sama sekali. Bisa-bisanya dia hamilin wanita lain, sementara gue udah kasih dia semuanya!" Terisak pelan, Hana hanya bisa menepuk-nepuk bahunya. Memberikan rasa nyaman, menyuruh lebih sabar lagi. Semua sudah terlanjur, tidak ada yang patut disesali. Almira bisa menjadikan kegagalan ini sebagai pelajaran hidup untuk ke depannya. Jangan terlalu mencintai, lelaki kebiasaannya malah suka memanfaatkan keadaan.
"Ke depannya lo harus berhati-hati. Lo itu terlalu baik, mudah dibegoin. Jangan kasih apa pun sama cowok, nanti dia keenakan dan malah ngelunjak. Yang rugi bukan mereka, tapi elo, Al. Udah korban materi, perasaan, lalu mau apa lagi? Diri lo ini berharga, jangan senang bikin pesakitan sendiri. Akan ada satu masa di mana lo yang diperjuangin. Bakal ada cowok yang benar-benar mencintai lo tanpa memandang harta dan masa lalu. Mau sejelek apa pun kelakuan lo, dia tetap menjadi penyempurna. Jangan buang waktu lo untuk semakin hancur, tapi bangkit dengan kehidupan yang baru. Buktiin sama Daffa kalau lo bisa hidup bahagia tanpa dia. Kamu punya segalanya, gunakan kesempatan untuk bersenang-senang dengan cara yang benar. Lo ke club, mabuk-mabukan, apa akan merubah keadaan? Nggak. Daffa tetap menghamili anak orang, dan mereka bakal nikah besok."
Bukannya berhenti, Almira malah menghabiskan alkoholnya untuk kesekian botol. Saat dia akan meminta botol baru, Hana langsung menolak. Menyeret Almira untuk pulang tanpa memberikan kesempatan lagi. "Ini yang terakhir gue liat lo mabuk ya, Al. Gue nggak segan bakal pukul kepala lo. Lagi patah hati kok malah makin begoo, minta digiling mesin cuci ya biar isi kepalanya bersih!"
Almira mengaduh sakit, beberapa kali dia menabrak orang dari arah berlawanan, membuat kepalanya makin pusing. "Na, lo kalau nyeret gue kira-kira dong. Nggak sekalian aja lo jedotin kepala gue ke tembok biar pecah? Dari tadi gue nabrak orang mulu, berasa gempa bumi!" Menghentakkan kakinya, memukul bahu Hana.
"Lo tunggu di sini, gue ke toilet dulu. Lo jangan ke mana-mana, duduk diem di sini!" Memaksa Almira yang sudah mabuk berat duduk di salah satu kursi menunu lotong toilet. Gadis itu awalnya terlihat menurut, kemudian memilih berbaring di sana dengan sedikit meracau tidak jelas. Dia nampak frustasi, sesekali mendesah kesal entah tengah memikirkan apa.
Dengan kesadarannya yang tersisa sejengkal, Almira beranjak dari kursi tersebut. Dia menggeledah tasnya, mencari kunci mobilnya dan berniat pulang sendirian. Ya, pulang sendiri dengan akal sehat yang mulai terkikis habis. "Maaf, maaf!" ucapnya saat tidak sengaja kembali menabrak orang. Dia membuka mobil tidak sabaran, lalu duduk di jok pengemudinya dengan lelah. Almira melipat kedua tangan di tempat setir, menenggelamkan kepalanya di sana sambil meringis pusing.
Almira meminum air putih cukup banyak, memukul berkali-kali kepalanya agar tetap fokus. "Mabuk kemauan sendiri, pulang juga harus sendiri. Jangan manja, Al!" katanya sok paling hebat dan kuat. "Daffa sialann, pengen ku tabok bolak-balik biar akalnya waras. Cewek secantik gue kok ditinggal, minta digebukin satu RT!" gumamnya meracau tidak jelas, melajukan mobilnya meninggalkan area parkir dengan kelajuan pelan. Untung saja ini sudah dini hari, jalanan agak lengang dari pengendara lain.
Dia menyalakan musik dengan keras, bersenandung mengikuti iramanya dengan nada tinggi dan fals sambil meliukkan badan. Dengan percaya diri dia menggerakkan kepala angguk-ngguk tidak jelas. Hampir menuju keadaan tidak waras, hanya saja dipaksa kuat oleh kenyataan.
Karena sibuk teriak-teriak dalam mobil, Almira hampir saja tabrakan. Untung kakinya cepat menginjak rem, membuat keningnya terbentur cukup keras hingga lebam. "Ih, sialnyaa!" gumam Almira setengah mengantuk. Dia menghela napas yang terasa panas di tenggorokan. "Mama, pengen pulang dan cepat-cepat tidur!" racaunya mulai kehilangan kesadaran.
"Mbak, Anda tidak pa-pa?" tanya seseorang dari arah luar. Dia mengetuk-ngeruk kaca mobil Almira, berusaha menyadarkan kembali. Dia terpaksa berhenti di pinggir jalan, tadi pria itu mengangkat telepon dari Uminya. "Mbak, Anda baik-baik saja? Tolong buka pintunya?"
"Apa weh?!" decak Almira kesal membuka kaca mobilnya sebagian saja. "Pria nggak jelas, mau ngerampok ya!"
"Ha, apa?" Setelah itu mengibaskan tangan di depan wajah, geleng-geleng kepala ketika menyadari Almira mabuk berat. "Kok bisa-bisanya Anda mabuk tapi malah mengemudikan mobil sendiri? Ini sangat berbahaya untuk keselamatan. Tadi Anda hampir saja menabrak bagian belakang mobil saya."
"Bacott elah. Sana pulang, aku pengen tidur!" Mengibaskan tangannya hampir saja mengenai wajah lelaki itu, hanya saja cepat-cepat dia menghindar. "Mama, sakitnya kepalaku!" Kembali mengeluh, mengacak-acak rambutnya frustasi dan menggaruk leher dengan wajah cemberut masam.
"Anda tidak bercanda ingin tidur? Ini di tengah jalan, sangat berbahaya untuk wanita. Bagaimana jika ada orang jahat yang memanfaatkan keadaan Anda?" Almira tidak lagi mendengarkan, napasnya sudah terdengar beraturan. "Ya Allah, apa lagi sekarang?" Tadi dia kebocoran ban, kemudian hampir tertabrak kucing, lalu sekarang bertemu dengan wanita mabuk yang tidak sadarkan diri. Musibah apa yang sedang Allah berikan padanya?
****
Sebelum adzan subuh berkumandang, semua orang dalam rumah itu sudah bersiap ingin ke masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah. Jika tidak ada warung sembako milik ibunya, mungkin sudah bisa dikatakan masjid itu berada di sebelah rumahnya.
Masjid itu sangat besar, di belakangnya terdapat sebuah Pondok Pesantren Darussalam yang sudah berdiri sejak puluhan tahun silam, dan kini tengah dikelola oleh keluarga Razzaq--peninggalan turun temurun dari keluarga mereka. Ada ribuan anak yang tengah belajar ilmu agama di sana, memiliki akhlak mulia dan selalu berpegang teguh pada sikap disiplin dalam segala hal. Tidak sedikit juga di antara mereka yang sudah menghapal 30 juz dalam Al-Qur'an. Semua anak berlomba-lomba dalam kebaikan, berharap ilmu yang mereka pelajari dengan sebaik-baiknya bermanfaat untuk dirinya dan orang banyak. Diselamatkan di dunia maupun di akhirat--menjadi sebaik-baiknya manusia ketika kembali menghadap Sang Khaliq, penuh bekalnya dengan amal sholeh.
"Nak Zehan, gimana teman kamu tadi malam. Apa sudah bangun?" Wanita paruh baya yang sering dipanggil Umi itu berbicara lemah lembut kepada anaknya. Sudah menutup auratnya dengan mukena dengan rapi, bersiap ikut sholat berjamaah dan mendengar kultum subuh untuk menambah bekal ilmu agamanya.
Pria tampan yang sedang merapikan pecinya tersebut menggeleng pelan. Dia bernama Zehan Razzaq, putra pertama keluarga Razzaq yang sekarang telah menjadi ustadz--mengajar di pesantren yang dikelola orangtuanya. "Bukan temanku, Umi. Aku sama sekali tidak mengenal dia." Mengusap permukaan dadanyaa, mengucap istighfar ketika mengingat kembali kelakuan Almira saat di mobil bersama Zehan tadi. Dia meracau tidak jelas, senang sumpah serapah sampai Zehan geleng-geleng kepala.
Dengan sangat terpaksa, Zehan menggendong Almira dan membawa gadis itu bersamanya ke rumah--Bogor. Tidak tahu gadis itu sebenarnya orang Jakarta atau Bogor, tapi dilihat dari gaya bicara dan berpakaiannya seperti orang Ibu Kota. Karena bukan mahram, Zehan terpaksa melapisi bagian paha Almira yang terbuka menggunakan kain serbannya. Mengusahakan agar kulit mereka tidak bersentuhan juga. Baru kali ini Zehan bertemu dengan wanita modelan Almira, membuatnya selalu mengingat Allah agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Berpakaian seksi, mabuk, kemudian rambutnya dicat kuning--seperti rambut jagung. Zehan tidak memusatkan pandangan pada Almira selama di perjalanan, sibuk istighfar dan dzikir. Takut sekali menimbulkan fitnah dan dosa, yang sangat dirugikan ialah pihak wanita. Zehan sudah berjanji pada Uminya akan memuliakan wanita, sebab dia juga memiliki adik perempuan yang harus dijaga dan dilindungi.
"Biar Umi saja yang membangunkannya, kamu duluan saja ke masjid ya bersama Abi."
Zehan mengangguk, melangkah bersama Abinya menuju masjid duluan untuk mengumandangkan adzan.
"Nak, ayo bangun ... sudah subuh. Waktunya sholat." Menggoyangkan lengan Almira, mengusap dan merapikan rambutnya seperti anak sendiri.
Almira menggeliat pelan, mendesah kesal karena tidurnya diganggu. "Males, pergi sana!" Menggaruk leher, kemudian mengubah posisinya menjadi tengkurap, membelakangi Umu Fatimah. "Astaga berisiknya ...!" desisnya sekali lagi setelah mendengar adzan. Menutup telinga dengan guling.
"Baiklah, Nak, tidur saja lagi. Umi mau ke masjid dulu, kamu kalau mau bersih-bersih pakai saja pakaian Fatimah di lemari ya. Nanti pulang dari masjid Umi baru masak untuk sarapan kita." Mengusap punggung Almira, kemudian melenggang pergi menuju masjid. Meski tidak mengenal Almira sebelumnya, Umu Fatimah selalu memiliki pikiran yang baik dan memperlakukan semua orang dengan ramah, penuh kasih sayang. Semua anak di pesantren pun sudah dianggap anak sendiri, apalagi Almira bukan?
Biasanya Abi yang sedikit sensitif, beliau tidak akan berkumpul dalam satu ruangan jika di dalamnya ada yang membuka aurat--bagi yang bukan mahram. Beliau tidak ingin bersitatap, apalagi memandanginya. Itu adalah sebuah dosa besar yang akan selalu dia hindari. Jika bertemu orang seperti itu di jalan, paling Abi sigap menundukkan pandangan.
Usai adzan, Almira mengusap matanya sembari mengumpulkan nyawa. Dia menguap lebar, matanya menjelajahi ruangan tempatnya berada sekarang. "Eh astaga, aku di mana?!" katanya kaget, langsung mengubah posisi menjadi duduk. Almira melihat pantulan dirinya di cermin lemari yang berada tepat di sebelah kasur, keadaannya berantakan sekali dan masih dengan pakaian semalam ke club.
Dia segera beranjak dari kasur, mencari-cari tas dan ponselnya yang tidak ada di mana-mana. Dia sedang diculik atau kerampokan semalam? Almira memukul kepalanya yang masih terasa pusing, akibat terlalu banyak menegak alkohol, akal sehatnya benar-benar diambang maut.
Almira menghela napas panjang, melangkah malas menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah dan menggosok gigi. Perutnya terasa pedih, lapar sekali. Entah ini di rumah siapa, sepertinya bukan tempat penculikan atau penjahat.
Usai menghilangkan rasa kantuknya, Almira melangkah keluar kamar, melihat keseluruhan ruangan yang ada di rumah itu. Tidak banyak foto keluarga, tapi ada satu figura kecil di atas meja. Ada Abi, Umi, Zehan, Fatimah, dan Alif. Mereka tiga bersaudara, Zehanlah abang yang paling besar.
"Lapar, lapar!" Almira membuka kulkas, mengambil roti dan selai cokelat. Semua orang tengah ke masjid, Almira keheranan tidak melihat siapa pun di sekitarnya. Makan sendirian dalam sepi, dia seperti diuji mentalnya dalam semua keadaan. Saat pertama kali ditinggalkan oleh Daffa, Almira bahkan sempat berpikiran ingin menghilang dari dunia, atau pergi ke tempat yang sangat jauh. Nyatanya itu terlalu berlebihan, Almira seperti orang stress.
Kunyahannya terhenti sebentar, kemudian tersenyum mendengar suara seseorang yang sedang melakukan kultum subuh di masjid. "Suara siapa itu? Lembutnya!" Mengerjap beberapa kali, kemudian membuka pintu samping untuk semakin mendengarkan suaranya. Dia duduk di kursi halaman belakang, memegangi air putihnya dan masih mengunyah roti. "Jangan-jangan ini suara jodoh aku?" Sambil malu-malu bicara sendirian.
Memejamkan matanya, menikmati lantunan ayat suci yang terdengar merdu itu, kemudian dilanjut dengan penyampaian dahwah sama sekali tidak menggurui. Kalimatnya santun, pasti orangnya tampan?
Dia memegangi permukaan dadanyaa yang tiba-tiba bedebar lebih cepat, senyuman terlukis indah. "Masyaallah suaranya!" puji Almira tidak henti-hentinya. Seketika perasaan dia menghangat dan tenang. Seajaib itu suara sang ustadz?
Ngomong-ngomong, Almira tidak sadar jika tadi dia dibangunkan oleh Umu Fatimah, sebab masih adik bergelut dengan dunia mimpi. "Sudah lama nggak sholat. Sesat banget euy, Almira!" gerutunya memaki diri sendiri yang memang sudah menyimpang arah tujuan hidup. Seketik sadar diri. Menginginkan suami yang punya bekal ilmu agama yang banyak, tapi dia saja jauh dari kata wanita shalihah. Apa dia masih memiliki kesempatan?
Kultum selesai, ada beberapa sesi tanya jawab, Zehan kembali menyampaikan sebaik-baiknya jawaban agar para jamaah masjid mengerti dengan penjelasannya. Mereka sesekali tertawa jika ada pertanyaan yang lucu, biar menghilangkan rasa kantuk dan tetap berah ada di masjid. Hanya dua penanya saja, setelah itu dilanjutkan ngaji bersama dengan anak-anak untuk melatih menghafalan mereka. Zehan dan para ustadz lainnya mengawasi bacaan santri, memperbaiki jika ada yang salah dalam pengucapannya. Biasanya yang terdengar ramai pada bagian santriwati, mereka berebut menghadap para ustadzah untuk menyetor hafalan, kemudian bisa kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap sarapan.
Umu Fatimah pulang pada saat waktu pengajian, waktunya dia membuat sarapan untuk Abi dan Zehan saat pulang dari masjid nanti. "Assalamu'alainaa wa 'alaa 'ibadillahish sholihiin." Imam Nawawi Rahimahullah dalam kitab al-Adzkar berkata: Disunnahkan bila seseorang memasuki rumah sendiri untuk mengucapkan salam, meskipun tidak ada orang atau penghuni di dalamnya.
"Assalamu'alaikum, Nak." Umu Fatimah tersenyum manis melihat Almira yang baru saja dari halaman, menyapa dengan hangat.
Almira terkejut sekali, memegangi dadanyaa yang hampir saja membuat jantungnya copot. "Kaget aku!" desahnya dengan memejamkan mata. "Ya, wa'alaikumussalam."
Umu Fatimah tersenyum sekali lagi. "Ngapain di halaman, Nak? Umi pikir kamu belum bangun, tadi marah ketika Umi bangunkan. Sudah sholat subuh?"
Almira menaruh gelas ke atas meja makan. "Belum." Menggeleng pelan, kemudian langsung merasa malu dan kecil diri.
"Belum terlambat, sholatlah dulu. Pakaian sholat ada di dalam lemari, pakailah punya Fatimah--anaknya Umi."
"Aku habis mabuk kemarin, percuma aja sholat. Kan kalau habis minum alkohol sholatnya nggak diterima selama empat puluh hari." Menghela napas gusar, sorot matanya menyedih. Sebenarnya tahu jika yang dia lakukan salah, hanya saja selalu terulang lagi dan lagi. Rupanya Almira sudah berteman dengan para setann.
Umu Fatimah mengusap lengan atas Almira. "Biar itu jadi urusan Allah, yang penting kamu sholat dulu. Tunaikan kewajiban kamu meski masih banyak kurangnya. Nanti kebaikan inilah yang akan membawa kamu ke jalan yang lebih baik. Minta ampun sama Allah, kemudian jangan diulangi lagi."
"Aku sering mabuk. Dosa aku udah segunung."
"Semua orang memiliki dosa dan kesalahannya masing-masing, Nak. Tapi kewajiban tetap harus dijalankan, jangan sampai kosong sama sekali." Dengan ramah dan penuh keibuan dia memperlakukan Almira dengan sangat lembut. "Sholatlah dulu, Umi mau membuat sarapan. Nanti kalau keluar kamar, kenakan pakaian tertutup dan jilbab ya. Soalnya Abi tidak akan masuk dapur kalau ada seseorang yang bukan mahramnya memperlihatkan aurat."
"Siapa Abi?"
"Suami Umi."
Almira terdiam sebentar, menggerutu dalam hati. Dia memang bodohh sekali, hal seperti ini saja masih dipertanyakan. "Oh iya ya, oke. Nanti aku pakai jilbab."
"Pakai saja punya Fatimah, bebas mau pilih yang mana."
"Iya." Almira mengangguk. Sebelum beranjak dia kembali mengingat satu hal. "Namaku Almira, panggil aja Almira atau Al."
Umu Fatimah paham. "Akan Umi ingat, Nak Almira. Namanya sangat bagus, sesuai dengan orangnya yang cantik."
Almira tersenyum kaku, mengangguk saja setelah itu segera berlalu dari sana. Cepat-cepat Almira menutup pintu kamar, lalu menghentakkan kakinya. "Demi apa aku nyasar ke rumah orang sebaik tadi? Ini lagi di surga apa gimana? Ah elah, dosa gue banyak, ya kali malah masuk surga duluan!" decaknya memukul-mukul kening.
Dia membuka lemari, mencari pakaian sholat dan gamis untuknya keluar kamar nanti. "Ih, gamisnya besar-besar. Nanti jadi badut!" Langsung mengembalikan ke tempatnya, menutup kembali lemari itu sebal. Pakaian gamis sangat tidak cocok untuk seorang Almira, teman-temannya akan tertawa melihat dia tiba-tiba menjadi alim seperti ustadzah.
"Ya Allah, ini udah di surga atau masih di alam mimpi sih?" Menepuk-nepuk pipinya, kemudian merasa sakit. "Terlalu halusinasi nih, jadinya rada gilaa!" Kembali menimpali sambil geleng-geleng kepala.
"Kebanyakan dosa sih lo, Al!" Lalu menjatuhkan secara kasar tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamar dengan diam beberapa saat. "Ngotot sholat meski tau nggak diterima, hebat banget Almira Hilya, patut dapat medali emas!" Mencebikkan bibirnya, mendesah mengingat dosanya yang sudah menggunung.
"Wahai cermin, siapakah yang paling banyak dosa?" Almira kembali meracau tidak jelas di depan cermin di hadapannya, kemudian tersenyum miring. "Gue liat diri gue sendiri. Kesian lo banyak dosa, Al!" Meringis miris, menghentakkan kakinya berkali-kali.
"Berhenti menjadi gadis begoo, mari sholat!" Beranjak dari kasur, Almira segera mengambil wudhu agar pikirannya sedikit lebih lurus. Terlalu bengkok ternyata tidak baik untu kesehatan mental.