Di bawah guyuran hujan yang deras, Almira nekat mengendarai motornya menuju apartemen Hana. Dia membawa beberapa makanan yang sudah diamankan ke dalam kantong plastik, mereka berniat menghabiskan waktu sambil menonton film. Tapi nampak bodoh, sudah tahu jika sekarang musim hujan, Almira malah percaya diri mengendarai motornya. Melupakan jika cuaca sedang tidak bersahabat. Tadi Almira sempat berteduh sebentar di sebuah rumah toko yang memiliki halaman lumayan luas. Hanya saja karena gadis itu sejatinya tidak sabaran, lelah menunggu hujan yang tak kunjung teduh, akhirnya memilih menerjang badai tanpa kenal bahaya. Dia gadis keras kepala, nanti kalau sudah sakit, hobinya merepotkan Hana.
Sesampainya di depan unit Hana, Almira langsung saja masuk ke dalam dengan memasukkan sidik jarinya. Dia memang sedekat itu dengan sahabatnya, hingga apa pun mereka saling memberi tahu. Semacam tidak ada batasan dan rahasia yang tidak boleh diganggu satu sama lain. "Na, gue datang. Basah kutup nih!" katanya berteriak di lantai bawah, melangkah menuju dapur untuk menaruh makanannya.
Lantai marmer itu penuh dengan genangan air dari pakaian Almira, secepat mungkin gadis itu melepaskan apa yang dia pakai agar lebih ringan saat bergerak. Almira melangkah tidak tahu-tahu hanya menggunakan pakaian dalam layaknya habis bermain di pantai.
Dia melangkah cepat menuju kamar Hana yang ada di lantai atas, masuk ke dalam kamar mandi. "Anjir enaknya berendam, gue ikutan!" Mendengkus, lalu masuk bersama dalam bathtub.
"Kapan lo datang? Ke mana pakaian lo, Almira? Percaya diri banget lo berkeliaran di unit gue cuman pakai beginian. Kalau ada pacar atau suami gue gimana, bisa-bisa lo jadi pelakornya, Al." Hana mendengkus sebal, mencebikkan bibirnya mengomentari secar blak-blakan kelakuan Almira.
Bukannya marah atau tersinggung, Almira malah terkikik geli. "Gue tadi nekat berangkat pakai motor. Baru aja habis dari resto biasa, eh malah hujan lebat banget. Udah bosen gue teduhan di depan ruko, hampir satu jam. Ini hujannya bakal awet banget, makanya gue terjang aja. Berbekal nekat, akhirnya sampai dengan selamat. Keren nggak tuh?"
Hana geleng-geleng kepala. "Tumben lo milih keluar pakai kotor. Biasanya ogah."
"Udah lama motor gue nggak diajak jalan-jalan, Na. Takutnya mogok, auto disekolahin lagi. Udah keseringan masuk bengkel, nanti kalau nyokap gue gedek, bisa dijual sekalian. Sayang banget, nggak mau gue." Menaikkan bahu, cemberut masam.
"Itu pakaian basah lo udah ditaruh tempat cuci? Gue nggak mau ya lo sembarangan naruh, bakal langsung gue buang!"
"Udah, udah, Na. Lo ya marah-marah mulu, kayak nenek lampir. Sabar sedikit, jangan emosian. Nanti udah jauh, makin jauh jodoh lo. Takut cowok mau deketin, lo kayak macan betina yang lagi PMS gini."
Hana memutar bola mata malas, keluar dari bathtub dan menyelesaikan mandinya. "Cepet bersih-bersih, Al, nanti masuk angin." Dia keluar duluan menggunakan jubah mandi, langsung melenggang menuju dapur. "Al, ini kenapa lantai unit gue kayak bekas kebanjiran ya?!" teriaknya kembali diuji. Kurang sabar gimana lagi Hana, cuman dia mau menerima Almira yang banyak kurangnya.
Dalam kamar Almira hanya terkikik geli, secepatnya mengenakan pakaian serba panjang untuk mencari kehangatan. "Iya, iya, Na, gue bantu keringin nih. Jangan marah dong, namanya juga kehujanan. Nggak mungkin gue lepas pakain gue di luar, bisa viral masuk surat kabar dan media. Putri sematawayang Wilson berpakaian tidak senonoh di lorong apartemen. Bisa mati gue ditendang sama bokap, auto nggak diakuin keturunan Wilson yang sebelumnya nggak pernah kena isu buruk begini."
Hana akhirnya ikutan terkikik. Dia merapikan semua makanan yang dibawa Almira ke dalam piring, menyuruh ke ruangan khusus untuk menonton layaknya berada di dalam bioskop. Hana memang senang sekali menonton, sebab itu dia selalu ingin ada ruang khusus bioskop di kediamannya. Jika bosan bekerja, Hana bisa langsung berlari menghabiskan waktu dengan menonton film atau drama kesukaannya.
"Ini gue tinggal ya, Na. Biarin aja si Emo bersihin sendiri lantainya." Emo itu adalah alat canggih pembersih lantai. Dia khusus untuk mengepel dan mengeringkan lantai hingga bersih.
"Itu harus lo jagain, Na. Nanti nggak keseluruhan dia keringin, cuman di deket-deket sini aja. Takutnya ada yang kepleset, bahaya. Mau gigi lo rontok gara-gara kebentur?"
"Lo aja, gue ogah." Almira memicingkan mata, kemudian mencari jus jeruk kesukaannya di dalam lemari pendingin. Dia duduk sambil mengawasi titik kerja si Emo, takutnya memang tidak dikeringkan secara keseluruhan lantainya. "Tungguin gue, Na. Jangan nonton duluan, nggak seru amat ah."
"Iya, gue mau ganti baju dulu."
Setelah Almira selesai mengeringkan lantai, dia langsung melangkah riang menuju ruang bioskop. Di sana sudah ada Hana yang tengah menutup gorden dan mematikan seluruh lampu ruangan. Benar-benar ruangan khusus yang dibentuk serapi dan sebersih mungkin. "Lo kalau bawa kacang ke sini, jangan buang sampahh sembarangan. Ambil tempat sampahnyaa, taruh di samping kursi lo. Jangan kayak kemarin, susah gue bersihinnya."
Almira terkekeh, mengangguk paham. "Tau gue, tenang aja." Kalau dibilang paling bersih, Almira lumayan berantakan. Dia jika sudah datang rasa malasnya, jangankan untuk beberes, gerak dari tempat tidur pun Almira malas. Menurut dia ini adalah hal yang wajar, setiap manusia pasti mengalaminya. "Mau nonton apa, Na?"
"Film hantu." Menaikkan bahunya cuek, kemudian bersiap memposisikan diri di kursi ternyamannya untuk mengembalikan mood. "Nggak usah protes, gue lagi pengen nonton yang tegang."
"Film zombie aja, atau pertarungan dengan hiu gitu. Tegang juga, jantung gue mau copot nontonnya."
"Hantu dulu, ini ada film series terbaru. Seru katanya."
Almira beringsut takut. "Nanti gue takut mau ke dapur sendirian, Na. Rumah gue besar, gelap kalau orang-orang udah pada tidur."
"Lebay, Al, udah besar. Malu sama umur lo!"
"Ini nggak ada hubungannya sama umur, intinya tetap aja gue takut." Almira menutup wajahnya dengan wadah popcorn, mengintip sedikit saja melalui celah tangannya. Padahal filmnya baru mulai, hanya memperlihatkan sebuah rumah besar dan keluarga kecil yang mendiaminya. Nampak angker, suasananya juga gelap meski langit sedang cerah. "Kenapa sih kalau film hantu rumah mereka pada gelap gitu? Harusnya dibanyakin lampu, biar upil pun nampak di lubangnya."
"Ngaco! Nggak usah banyak komen, nikmati aja filmnya."
Almira menatap Hana yang mulai fokus. "Na, gue mau tinggal di Bogor. Bareng yuk?"
Yang tadinya ingin fokus, langsung buyar seketika mendengar kalimat Almira. "Bercanda lo? Ngapain di sana ... belum bisa move on?" Menyipitkan mata, terlihat marah saat mendengar kata Bogor yang selalu berkaitan dengan Daffa.
"Apa sih Daffa mulu yang dibahas. Nggak nyokap, nggak elo. Kalau denger kata Bogor, pasti bawaannya nuduh gue nggak bisa move on. Meski gue sayang banget dulunya sama Daffa, nggak bakal gue balikan sama dia. Gue ke Bogor pengen deket sama keluarga Pak Ustadz. Tiba-tiba kepikiran, entah kenapa. Aneh kan? Di sana adem banget, gue kayaknya menemukan tempat yang nyaman."
"Nggak usah aneh-aneh. Kalau nanti bakal ngerepotin orang, pikir seribu kali deh. Waktunya serius menata masa depan, Al, buang pikiran lo yang isinya senang-senang mulu. Nggak capek, nggak bosan lo hidup kayak gini terus? Gue yang liat aja jengah banget. Lo itu dari keluarga yang berhasil dalam segala hal, jalan lo menuju kesuksesan besar banget. Masa nggak ada niat mau lo pergunain sebaik mungkin? Nyesel lo nanti!"
Almira menggeleng. "Bukan gitu. Gue merasa di sini belum menemukan titik ternyaman gue. Apa pun bentuk kesuksesannya, masih belum ada niat dalam diri ke arah sana. Gue belum mau memulai, nggak mau memaksakan diri yang nantinya juga berujung kacau. Kayaknya gue perlu mencari tempat yang nyaman dulu, mengenali diri dan kemampuan gue, baru setelah itu bergerak."
"Sama siapa lo di Bogor, huh? Gue kagak bisa ikut, kerjaan gue semuanya di sini. Kalu gue pindahan juga, masa depan gue bakal terancam. Peluang gue lebih besar di Ibu Kota, Al, gue nggak mau ambil risiko besar. Kali ini, gue minta maaf, gue nggak bisa ikut sama lo. Bukannya gue jahat atau nggak setia kawan. Tapi lo tahu sendiri, ini kerjaan yang gue mau, kerjaan yang susah payah gue bangun sampai berada di titik ini, nggak mungkin gue lepasin gitu aja kan? Ini terlalu berisiko buat gue, Al, gue nggak punya siapa-siapa ... setidaknya gue harus membanggakan diri sendiri."
Helaan napas terdengar dari Almira, gadis itu nampak berpikir sekali lagi. "Yah, masa gue sendirian di sana? Gue punya rumah yang nyaman buat kita tinggal. Niatnya emang mau ngajak elo, kita bangun usaha sama-sama. Tapi kalau lo nggak mau, nggak pa-pa juga. Gue tahu sih keinginan gue ini belum pasti buat masa depan, tapi yang pasti gue pengen nyari kenyamanan dulu."
"Kalau menurut lo Bogor tempat pelarian terbaik, ke sana aja. Temukan diri lo yang sebenarnya, gali kemampuan sebanyak-banyaknya. Nanti ketika lo balik ke Jakarta, udah siap membangun usaha."
"Niatnya gitu, tapi gue masih bingung mau usaha apa. Kayaknya sih ngikut nyokap, karena cuman itu yang gue minati. Ogah menjadi CEO di perusahaan Bokap, makin padat jadwal hidup gue. Nggak bisa lebih bebas mau ke mana aja, sibuk bergelut dengan berkas-berkas yang isinya duit, bunga, dan teman-temannya."
"Kerja di tempat nyokap lo juga bisa jadi CEO, begoo!"
"Tapi beda bidang. Gue lebih suka di kecantikan daripada perbankan. Gue juga berbakat jadi model katalognya, muka dan badan gue kayaknya mendukung aja."
"Jangan ngomong doang lo, buktiin dong. Dari dulu bisanya berencana mulu, bergeraknya nggak kelihatan. Heran!" Hana mendengkus, memakan pizzanya dengan santai, menaikkan bahu cuek dengan tatapan tajam Almira.
Almira tersenyum tipis. "Jodoh gue kayak Pak Ustadz itu nggak ya, Na?"
"Gue bukan Tuhan, Al, jadi nggak tau."
"Gue anaknya modelan begini, senang banget ya sampai dapat yang sholeh. Berasa surga banget. Meski Zehan nyebelin, dia pasti calon imam yang baik buat masa depan. Udah ganteng, agamanya bagus, kelihatannya juga penyayang banget."
"Perbaiki diri, Al, nanti jodoh lo orang baik juga. Kalau lo terus bar-bar kayak gini, gimana jodoh mau mendekat."
"Makanya di Bogor nanti gue belajar lebih baik, sekalian mengenali diri sendiri. Kalau gue tetap di sini, ya beginilah gue. Klub malam ada di mana-mana, bosen dikit langsung kabur ke sana. Pulangnya pasti mabuk. Kalau di Bogor gue bisa beralih jalan-jalan ke kebun teh, klub juga jauh."
"Ya sudah, coba aja tinggal di sana. Nanti kalau makin bosan nggak ada temen di sana, balik lagi ke sini."
"Lo sering-sering main dong ke sana, setiap akhir minggu kan lo nggak kerja."
"Gampang kalau soal itu, Al, nggak mungkin gue kagak nengokin lo."
Almira tersenyum, kelihatannya emang senang sekali membicarakan soal Bogor. Kemarin katanya benci Bogor, sekarang malah berniat tinggal di sana. Cuman karena Pak Ustadz?
Hana jadi makin penasaran, sebenarnya Pak Ustadz yang Almira maksud bagaimana wajahnya. Apakah benar-benar tampan seperti Nabi Yusuf? Atau hanya pemikiran Hana saja yang berlebihan, mungkin dia harus membuktikannya setibanya di Bogor nanti.
"Gue bakal balik ke Jakarta dengan keadaan lebih baik dalam segala hal, Na."
"Aamiin yaa. Biar keluarga Wilson bangga milikin lo. Jangan jadi beban lagi, malu sama umur."
****
Tuan Wilson memanggil Almira yang baru saja pulang dari kediaman Hana. Menyuruh putrinya duduk untuk sekadar mengobrol, mumpung malam ini dia dan sang istri berada di rumah. Sudah lama tidak menciptakan momen hangat karena saling sibuk dengan urusan masing-masing. "Dari mana, Al?"
Almira duduk santai di sofa panjang, mencomot satu donat cokelat yang ada di atas meja. "Habis nonton sama Hana di unit dia. Tumben pada ngumpul di sini, pemandangan langka," sindirnya secara terang-terangan tanpa dosa dengan orang tua.
"Sama orangtua ngomongnya, Al. Suka nggak ada remnya, heran!" Tuan Wilson geleng-geleng kepala. "Jangan suka main nggak jelas di luaran sana. Kemarin Papa denger mobil kamu diseret polisi gara-gara parkir sembarangan di jalan tol menuju Bogor. Kelakuan nggak ada habis, Papa sampai heran sama kamu. Udah umur berapa kok masih kekanak-kanakan banget?"
"Nggak sengaja, lagian aku kelewatan mabuk kemarin. Aku nggak nyadar lagi, untung bisa pulang dengan selamat. Papa tenang aja, aku nggak bakal lagi mabuk deh. Kecuali keadaan emang lagi bener-bener nggak baik."
"Kalo janji itu sekalian, jangan setengah-setengah." Nyonya Wilson menyipitkan matanya, kelewatan tidak paham dengan sikap Almira.
"Aku yakin mau pindah ke Bogor beberapa waktu. Mau tinggal di sana. Papa dan Mama harus setuju, soalnya aku udah yakin pakai banget."
Tuan Wilson terdiam, terkejut. "Ngapain tinggal di sana? Di sini bareng orangtua aja nggak kekontrol gimana pergaulan kamu di luar sana. Kelakuan nggak jelas kayak preman. Terus malah mau tinggal berjauhan. Kamu makin mau bebas di sana? Udah bosen hidup apa gimana, Al?"
"Nggak gitu juga. Ini malah lagi berniat memperbaiki hidup. Jangan soudzon dong, ahli neraka tau. Lebih baik Papa membunuh aja, daripada memfitnah."
"Mulutnya, Al. Mau Mama tabok?"
"Yee, Papa duluan kok ngemulai."
"Dia mau masuk pesantren, Mas."
Almira menganga, langsung tersedak donatnya. "Ngasal kalau ngomong. Ogah banget masuk pesantren, aku nggak cocok ada di sana. Bikin rusuh, takut pondok pesantrennya ancur." Berdecak, memajukan bibirnya sebal. "Maksudnya itu ... aku cuman mau tinggal di lingkungan yang baik. Kali aja keikut tobat. Jadi anak baik kan nggak harus masuk pesantrennya juga. Aku di luar aja, biar bisa bebas jalan ke mana-mana. Nggak mau terkurung, nanti nggak betah."
"Kamu pikir lingkungan di sini nggak baik? Sama aja ah, tergantung kamunya mau apa enggak berubah."
"Pokoknya mau ke Bogor, aku mau deketin Pak Ustadz di sana."
Tuan Wilson menatap datar putrinya yang kelewatan bertingkah. "Nggak usah macam-macam. Jangan bikin Papa malu, Al. Di Bogor itu tempat usaha Mama dan Papa juga, jangan mengada-ngada terus kelakuannya. Nanti masuk media. Mau naruh muka di mana?"
"Dibilang aku nggak bakal bikin masalah."
"Berapa lama tinggal di sana?" Nyonya Wilson menengahi, sebab dia juga sudah tahu duluan tentang permintaan Almira satu ini.
"Sampai aku capek."
"Tinggal sama siapa kamu di sana? Di sini aja sering bosen, apalagi tinggal sendirian."
"Sama asisten rumah tangga yang pastinya, biar bisa masakin dan beberes rumah. Aku nggak bisa ngelakuin keduanya, males." Almira kembali mengambil donatnya, memakan dengan lahap.
"Ya sudah, nanti Mama antar ke Bogor sekalian nyari asisten rumah tangga yang baik. Yang pasti sih kebal orangnya, biar nggak mudah emosi dengan sikap kamu."
"Aku siap-siap dulu ya. Paling lama lusa deh pindahannya."
"Nggak usah bawa baju banyak, Papa yakin kamu bakal lagi balik ke Jakarta."
"Iya, nanti bawa calon suami sekalian."