9. Bertemu Mantan

1847 Words
Almira terdiam di pojokan rak sembako saat seseorang mendekatinya. Mata Almira nyalang, nampak was-was. Awalnya begitu ceria memilih belanjaannya, tapi malah berakhir menjadi ketakutan. Bukan takut orang itu, melainkan pada perasaannya yang masih bisa dibilang sulit melupakan. "Hai, Ay. Lama nggak ketemu. Ngapain di sini ... liburan?" Dia mengulas senyum ramah, memegangi troli yang sudah terisi setengah. Pria itu nampak baik-baik saja, seolah tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Dan apa itu panggilan 'Ay', harusnya dia tidak perlu memanggil Almira dengan sebutan itu. Ay adalah pelesetan dari Ayang, kata lain dari 'Sayang'. Tidak berniat meladeni mantan kekasihnya yang sudah membuat Almira patah hati, dia segera berlalu dari sana. "Jangan ikuti aku, Daffa!" tegas Almira memicing tajam, lalu membuang muka. Yap, pria jangkung dan rupawan itu adalah Daffa. Dia sendirian berbelanja ke swalayan, sudah menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini sebab sang istri tengah hamil besar--tidak boleh kelelahan. "Aku cuman menyapa kamu. Senang melihat kamu baik-baik aja. Aku minta maaf, Ay." "Ya iyalah aku baik, memangnya kamu berharap aku gimana? Nangis terus ngancam mau bunuh diri kalau nggak dinikahi? Cih, kamu pikir aku semurahann itu?" Almira memejamkan matanya. Sebenarnya tidak ingin membicarakan hal ini lagi, tapi Daffa memancing amarahnya. Harusnya Almira tidak membandingkan dirinya dengan wanita itu--sudah pasti keduanya berbeda jauh. Daffa menghela napasnya. "Enggak, Ay. Udah, nggak usah marah-marah lagi. Aku yang salah di sini, bukan kamu atau dia." "Aku nyesel pernah naruh hati ke manusia nggak tau diri kayak kamu. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, aku beneran akan memukul kamu kalau berani mengganggu lagi. Bahkan untuk menyapa, nggak usah sok baik!" Almira mencengkram erat trolinya, kemudian melenggang pergi dengan deru napas tidak beraturan. Ini adalah keadaan terburuknya, dia bahkan sudah tidak sudi melihat Daffa. Tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu, Almira tidak sebodoh dulu yang bisa dimanfaatkan sesuka hatinya. Karena sudah terlanjur kesal dan mood belanjanya hilang, mau tidak mau Almira segera menuju kasir. Dia ingin segera pulang, mengurung diri di kamar dengan emosi mencapai ubun-ubun. Almira sedih, bahkan jantungnya masih berdebar cukup kencang ketika melihat wajah tampan Daffa. Pria itu sama sekali tidak merubah penampilan, tatapan rambut dan cara berpakaian Daffa masih sesuai kemauan Almira. Dulu saat masih bersama, Almira sering memberikan pujian. Matanya berbinar indah, selalu berkata jika dia mencintai Daffa begitu besar, dibodohi pun sampai tidak sadar. "Ay, tunggu!" Daffa kembali mencegah kepergian Almira saat di area parkiran. Daffa memiliki sesuatu yang harus dia kembalikan pada Almira. "Kita bicara sebentar aja." Almira mengerang, tangan mengepal erat sampai telapaknya memucat. "Nggak, nggak mau!" Lantas mendorong Daffa akan menjaga jarak. "Aku udah bilang kita nggak ada urusan apa-apa lagi. Kenapa kamu masih aja muncul di hadapan aku? Belum puas menyakiti aku? Salah apa sih aku sama kamu, kamu jahat banget!" Daffa mengangguk. "Aku tahu, aku minta maaf. Aku seneng liat kamu di sini dalam keadaan sehat dan ceria. Waktu itu aku nggak sempat datang untuk jelasin masalah kita, tapi aku yakin kamu sudah mengetahui semuanya tanpa terkecuali. Aku salah, aku brengsekk udah bohong dan selingkuh--" "Udah, aku nggak mau dengar lagi!" Almira menyentak kasar tangannya yang dicekal Daffa. Mati-matian menahan tangis agar tidak jatuh membasahi pipi. "Biarin aku pulang, kamu bahkan nggak berhak larang-larang aku." Daffa mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. "Ini punya kamu. Aku kembalikan." Itu adalah sebuah kalung berliontin cincin, dulu Daffa dan Almira memilikinya bersama--couple. Dalam cincin Daffa ada terdapat nama Almira, begitu pun sebaliknya. Daffa masih menyimpan dengan baik, karena di sana ada perasaan Almira. "Maaf sudah ngecewain kamu." "Nggak, aku nggak mau lagi menerima apa pun yang berhubungan dengan kamu. Buang aja!" Almira menepis kasar tangan Daffa, membuat kalung itu jatuh terlempar. "Nggak ada yang perlu dikembalikan, aku udah muak sama kamu!" Sebelum Daffa mencegah kepergian Almira lagi, gadis itu duluan membentak kasar. "Jangan ikuti aku!" teriaknya dengan wajah memerah. Almira memukul permukaan dadaa Daffa, mendorong pria itu untuk menjaga jarak. "Ini tempat umur, kenapa berkelahi?" Zehan menaikkan bahu, memegangi kalung yang berhasil dia ambil barusan. "Punya kamu?" Bertanya pada Almira dengan wajah datar, seolah tidak pernah menyaksikan apa pun sebelumnya. Almira mengerang makin marah, akhirnya memilih bungkam dan beranjak. "Astaghfirullah. Ada-ada saja." Geleng-geleng kepala. "Lain kali jangan memancing keributan di tempat umum, kalian menjadi pusat perhatian." Lantas melenggang pergi juga, melangkah lebar dalam diam mengikuti Almira. "Apa nggak malu marah-marah di tempat umum?" Menegur Almira yang masih setia mengumpat, tangannya bahkan beberapa kali menampar angin. Giginya bergesekan menimbulkan bunyi, rahangnya mengetat dengan mata memicing tajam. Setiap langkah yang Almira ambil, orang-orang yang berselisihan dengannya menatap bingung. Tentu saja mereka mendengar umpatan Almira yang terdengar kasar sekali. "Kenapa? Sekarang kamu mau menertawakan nasibku?" Almira menatap Zehan, kemudian bibirnya bergetar. "Pergi aja, kamu juga nyebelin!" Lantas menangis, sesegukan sambil terus melangkah di sepanjang terotoar pinggir jalan. "Menuduh sembarangan, dosa!" "Persetan dengan dosa, aku udah nggak peduli. Kenapa kamu datang, sekarang kamu yang ngikutin aku ya?!" Zehan menatap jengah. "Kamu pikir saya nggak ada kerjaan lain selain menguntit kamu?" "T-terus ngapain?" Masih terisak, sesegukan. "Itu tempat umum, siapa pun boleh ke sana." Lalu Zehan membuka pintu mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. "Masuk, saya antarkan pulang." Almira terdiam sebentar, merasa kaget dan tidak menyangka. Akal sehat masih tidak bersamanya, dia terlalu syok berantem dengan Daffa tadi. "Ngapain ngajak pulang bareng? Kamu sudah suka aku ya?" "Jangan terlalu percaya diri, ini hanya rasa kemanusiaan. Cepat masuk, atau saya akan berubah pikiran lagi." "Iya, iya!" Almira langsung masuk, segera menghentikan tangisnya meski susah. "Daffa sialan, dia kurang ajar banget. Emang pria brengsekk nggak tahu malu!" umpat Almira tidak bisa menahan kalimat kasarnya meski sedang berada di hadapan Zehan. "Aku nggak peduli kamu mau menceramahiku atau gimana, aku beneran lagi kesal!" "Istighfar." "Nggak mau!" "Astaghfirullah, ya Allah." Zehan mengusap dadanyaa, memejamkan mata sambil menghela napas. Dia baru menemui gadis seperti Almira ini. Keras kepala sekali. "Ya sudah, kalau begitu diam saja. Nggak perlu mengeluarkan kalimat yang nggak Allah senangi. Dosanya ke kamu semua, rugi." "Kamu nggak tahu masalahnya, makanya enak banget bicara suruh sabar. Aku yang jalanin, dia emang pantas mendapatkan kalimat kasar satu kebun binatang sekalian. Dia selingkuh dengan menghamili wanita lain. Apa kamu pikir itu nggak keterlaluan?" Zehan kembali mengucap istighfar, bingung harus memberikan respons yang bagaimana. Zehan juga takut salah bicara, Almira sedang diselimuti amarah. "Nggak perlu membuka aib orang lain, itu dosa besar. Jangan melakukan sesuatu yang membuat Allah murka. Atur emosi kamu, percuma marah-marah, pria itu nggak dengar juga." "Terus aku harus gimana? Kamu belum pernah diselingkuhi sih, makanya nggak tahu rasanya." "Siap suruh kamu pacaran? Sudah tahu dilarang, masih saja melakukannya. Sejak awal kamu memang sudah salah, masih saja membela diri. Heran!" Almira menganga, memukul lengan Zehan sebal. "Harusnya kamu bela aku--" "Saya nggak membela siapa pun, nggak berminat." "Dasar Ustadz bahlul!" Zehan menganga, terdiam sebentar mencerna ucapan Almira yang baru saja mengatainya. "Saya maafkan kamu." Jalan terbaik agar keduanya tidak mendapat dosa. Almira menaikkan kaki, bersandar lemas di jok penumpang sambil melihat ke arah jalanan. Dia sedang tidak bersemangat menggoda Zehan, padahal ini momen langka yang mungkin saja tidak Almira temui lagi. Zehan mengantarkan Almira pulang, pria itu habis salah makan atau bagaimana? Sebelum membiarkan Almira turun dari mobilnya, Zehan kembali memberitahu soal kalung yang dia temukan tadi. "Punya kamu, ambil." "Nggak! Kalung sialan, aku udah nggak mau berurusan dengan pria brengsekk itu!" "Istighfar, Almira. Sejak tadi kamu sering banget mengumpat, Malaikat sampai lelah mencatat dosa-dosa kamu." "Bodo!" "Ambil, setelah itu wudhu dan sholat. Kamu sedang nggak beres!" Almira menatap Zehan beberapa saat. "Imamin aku dong, mau nggak?" Zehan tidak menjawab apa pun, malah memutar bola matanya malas. "Nikahin aku, aku bakal move on dari dia." "Nggak usah kebanyakan ngomong, sana masuk rumah." "Aku minta imamin kok nolak, nanti kamu kualat, malah jatuh cinta keaku!" "Pulang!" Almira mendengkus. "Iya, iya. Jahat banget. Baru aja baik sebentar, uda kayak monster lagi. Untung ganteng dan wangi, aku suka aroma tubuh kamu." "Bawa kalung kamu." "Nggak. Buang aja!" Almira menekuk wajahnya, langsung melenggang pergi tanpa mengucapkan salam. Malam ini Almira ke swalayan tidak mengenakan hijab, tapi untung saja memilih celana jeans dan jaket panjang. "Astaghfirullah sekali anak satu itu!" Zehan kembali menghela napas, geleng-geleng keheranan menghadapinya. Andai dia tidak memiliki rasa kemanusiaan, sudah Zehan tinggal Almira sendirian di pinggir jalan sambil menangis. Tapi rasa tidak teganya lagi-lagi mengalahkan ego, berdoa saja jika apa pun yang terjadi barusan ... semua diampuni dan kembali ke jalan kebaikan yang Allah ridhai. **** Zehan sedang bebersih toko parfumnya, kemudian seseorang datang mengagetkan. "Astaghfirullah, kamu lagi?" Memejamkan mata, menghela napas panjang. "Aku baru tahu ternyata kamu jualan parfum. Pantes aja wangi banget. Mau beli parfum dong, yang cocok buat aku. Kalau bisa yang wanginya keciuman sampai beberapa meter. Kalau aku lewat, semerbak." Barusan Almira berniat keliling mencari makanan, ternyata malah salah fokus dengan nama toko Zehan yang sangat tidak asing baginya. Razzaq Parfum. "Wanita nggak boleh mengenakan wewangian, apalagi untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Kamu lewat, aroma kamu tertinggal. Lalu banyak pria yang menyukainya, dosa kamu akan terus mengalir." "Tapi aku selalu wangi. Aku nggak pernah keluar rumah tanpa parfum. Seharian pun wangi aku tetap ada, lengket banget aromanya." Zehan tidak mengacuhkan Almira, lebih memilih menata botol-botol parfumnya yang sedikit berantakan dan tidak beraturan penempatannya. "Aku mau beli parfum yang manis dan seger, yang enak dicium aromanya." "Saya nggak jual wewangian untuk wanita." Almira mengernyit. "Loh, kok bisa?" "Jika nggak ada kepentingan lain, silakan tinggalkan toko saya. Ada banyak orang di sini, saya nggak ingin jadi fitnah. Hanya kamu wanita yang berani ke sini, padahal ini tempat khusus perkumpulan pria." "Nggak mau, biar aja orang lain mengira kita pacaran. Aku aminkan, siapa tahu kita berjodoh. Aku seneng kalau dinikahin kamu, nanti kita buat anak yang banyak. Kamu setuju kan?" Zehan mengusap wajahnya, kembali beristighfar. Ketika berhadapan dengan Almira, kesabaran Zehan selalu diuji. "Di sebelah kedai kopi, aku pesenin buat kita ya. Pengen ngobrol sebentar lagi, nanti aja pulangnya bareng kamu." "Jangan ngasal, saya pulang malam." "Makanya jadikan aku istri, biar aku bebas mau ikutin kamu ke mana pun. Aku pengen gelayutan manja sama kamu, dipangku gitu. Romantis banget kan?" "Kebanyakan nonton film." Almira terkikik. "Tumben kamu banyak bicara, jangan-jangan udah mulai suka aku. Senangnya. Di depan kebetulan masjid, apa perlu aku umumkan kalau kita akan segera memberikan kabar bahagia soal pernikahan?" Menaik turunkan alisnya, mengulum tawa. Zehan mengucap istighfar sebanyak-banyaknya, membersihkan diri dari perasaan marah dan jengkelnya pada gadis satu ini. "Pulang, Almira!" Zehan menatap datar, kemudian kembali memalingkan pandangan. Almira tidak mengenakan hijabnya dengan benar, sengaja tidak menggunakan peniti. Seolah jilbab hanyalah hiasan kepala untuknya. "Jahatnya Pak Ustadz. Nanti aku minta ke Abi Kiai buat menikahkan kita. Aku udah kelepek-kelepek sama kamu. Daripada jadi dosa mengagumi pria berlebihan sampai kebawa mimpi, mending kita nikah aja." "Semalam kamu menangisi mantan, sekarang malah kembali memaksa saya menikahi kamu. Sebenarnya kamu kenapa ... sehat kan?" Almira menopang dagu, menatap Zehan yang masih berusaha menenangkan diri. Dia menghidupkan komputer untuk mengecek sesuatu di dalam sana. "Seksi banget meski lagi pakai gamis." "Pulang, Almira!" Zehan tahu ke mana arah pikiran Almira setelah mengamati tubuhnya. Dasar gadis mata keranjang! "Oke, sampai ketemu di pelaminan ya. Hafalin nama aku sebelum ijab kobul. Almira Hilya Wilson. Jangan sampai salah!" "Astgahfirullah, astaghfirullah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD