Pemandangan mengejutkan itu membuat Ema refleks berdiri dari duduknya.
Tampak si wanita yang baru datang itu masih bergelayutan di leher Ilyas. Pria itu menghindar saat wanita itu berusaha mencium bibirnya dengan menjauhkan tubuh mereka sepanjang lengannya.
"Stop, Di!"
Wajah Ilyas terlihat sedikit merah dan ekspresinya jengkel. Pria itu mengusap pipinya kasar dan semakin kesal saat menemukan jejak lipstik di sana.
Ia baru saja akan ke mejanya saat sadar masih ada Ema di sana. Mata mereka terkunci beberapa saat.
"Sebaiknya mungkin saya pergi sekarang pak."
Menarik tisu dari mejanya, pria itu mengangguk sambil menyeka pipinya. Bibirnya tersenyum kecil.
"Saya akan memanggilmu lagi. Pembicaraan kita tadi belum selesai."
Berusaha bersikap profesional, Ema mengangguk. Dan setelah tersenyum singkat pada wanita baru itu, ia pun langsung keluar dari ruangan Ilyas.
Saat menekan tombol lift, kepala Ema menoleh ke ruangan Ilyas yang tertutup. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi akhirnya wanita itu menggeleng.
"Bukan urusanku."
Sepanjang hari itu, Ema menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Wanita itu baru saja mematikan laptop-nya, saat ponselnya tiba-tiba berdenting.
Keningnya berkerut saat deretan nomor tidak dikenal mengirim pesan singkat padanya.
'Bisa kita bicara?'
Tidak mengenal nomor itu, ia baru akan mengabaikannya saat pesan lain masuk.
'Andie. Aku benar-benar harus bicara denganmu. Aku tidak ingin hubungan kita buruk seperti ini. Please?'
Wanita itu menggigit bibirnya kuat. Tanpa diinginkannya, kedua bola matanya berair. Peristiwa itu sudah cukup lama. Sudah 7 tahun yang lalu tapi entah kenapa, sakitnya masih belum menghilang.
Lukanya ternyata masih belum sembuh. Masih berdarah.
Mengerjapkan matanya berkali-kali, Ema memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya. Ia membereskan mejanya dan akhirnya keluar dari ruangannya. Suasana sudah mulai gelap dan sepi.
Di lantai basement, wanita itu baru saja memasukkan kunci mobilnya saat terdengar suara memanggilnya.
"Andie!"
Kelopak mata Ema menutup erat dan ia menghitung dalam hati. Jantungnya mulai berdebar kencang.
"Andie..."
Meski tahu sosok di belakangnya mendekat, tapi Ema tidak berpaling. Ia malah membuka pintu mobilnya.
"An!"
Tidak disangka, muncul tangan pria mendorong lagi pintu mobilnya hingga menutup dengan suara keras.
Cukup terkejut, perhatian Ema akhirnya terfokus pada sosok pria di depannya yang terlihat marah.
"An! Aku hanya ingin bicara! Mengenai kita!"
Mendengar itu, kening Ema berkerut. Tubuh wanita itu menegak dan mundur menjauh.
Suaranya sedikit bergetar saat ia membuka mulutnya, "Kita...? Memangnya pernah ada kata 'kita'?"
Jakun Adit naik turun saat mengamati wanita di depannya. Ekspresi marah pria itu dengan cepat digantikan dengan tatapan penuh permohonan dari lelaki itu. Bola matanya mulai memerah.
"An... Please... Aku mohon padamu. Biarkan aku menjelaskan padamu apa yang terjadi saat itu. Aku tidak mau hubungan kita rusak seperti ini, An. Aku rindu kita yang dulu. Aku-"
Tidak tahan lagi, Ema membalikkan tubuhnya. Mulut wanita itu terkunci rapat. Ia tidak bisa bicara. Ia tidak sanggup mengatakan apapun saat d*danya mulai bergemuruh dan nafasnya sesak. Ia butuh udara segar!
Aku harus keluar dari sini!
"An! Tunggu dulu!"
Salah satu tangan Adit meraihnya tapi dengan kasar, Ema mengibaskannya. Tatapan wanita itu kali ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Kesakitan yang berusaha disimpannya sendiri bertahun-tahun.
"Apa maumu, Aditya? Kau dan keluargamu sudah memberi penjelasan. Penjelasan yang sangat jelas sekali!"
Tampak setitik air keluar dari kelopak mata lelaki itu. "An..."
"Aku tidak pantas untuk keluargamu! Pendidikanku tidak setara. Status sosialku tidak setara. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Andromeda untuk masuk ke dalam keluarga Prabukusuma!"
Ema tidak ingin menangis, tapi lelehan cairan terasa mengalir di salah satu pipinya. Dengan kasar, wanita itu menghapusnya. Ia tidak mau menunjukkan kelemahannya.
Kedua orang itu berdiri berhadapan. Masing-masing menyimpan luka masa lalu yang masih belum selesai.
"Aku minta maaf, An... Aku benar-benar menyesal... Aku tidak bermaksud menyakitimu seperti itu... Aku... Aku masih mencintaimu, Andie..."
Kata-kata yang diucapkan Adit tadinya tidak dipahami Ema. Tapi saat perlahan terserap di otaknya, bola mata wanita itu perlahan membulat tidak percaya.
"Apa... kau bilang... tadi?"
Pria itu mendekat dan meraih kedua bahu wanita di depannya. Sedikit mer*masnya.
"Aku mencintaimu, Andromeda. Sampai sekarang. Aku tidak ingin mengulangi lagi kesalahanku dulu."
Wanita itu masih tertegun dan hanya terdiam mendengar pengakuan itu.
Barulah saat semuanya telah ia cerna, Ema menggeleng pelan. "Kau gila, Dit."
R*masan pria itu di bahunya mengencang. Lelaki itu semakin mendekatkan tubuh mereka.
"Ya. Aku memang gila. Aku sudah gila melepasmu dulu. Saat kamu pergi dulu, kamu membuatku gila, An! Kamu membuatku tidak bisa melupakanmu. Dan sekarang, aku tidak mau melepasmu lagi."
Kepala pria itu menunduk dan hampir saja menciumnya, kalau Ema tidak segera mendorong wajah lelaki itu.
Nafas wanita itu memburu, dan ia dengan panik mundur menjauh saat Adit berusaha meraihnya lagi.
"Jangan sentuh aku, Aditya! Kau sudah gila!"
"Aku mencintaimu, An!"
Bola mata wanita itu dengan liar memandang sekitarnya. Berusaha mencari bantuan.
Sayangnya, hanya tersisa beberapa mobil malam itu dan tidak tampak batang hidung seorang pun di sana.
Ia sendirian. Sendirian bersama orang yang sudah tidak waras!
"Menjauh, Dit!"
Melihat tidak ada intensi pria itu mendengarkannya, Ema segera berbalik dari lari secepat mungkin.
"An!"
Berusaha untuk mencari lift terdekat, wanita itu menggigit bibirnya hingga berdarah. Ia takut. Sangat takut!
Rasa lega membanjiri tubuh wanita itu saat melihat pintu lift direksi berwarna abu gelap mengkilat. Panik, wanita itu menekan-nekan tombol lift. Ia makin panik ketika melihat Adit berjalan cepat mendekatinya.
"Oh, please! Please!"
"Andie."
Tubuh wanita itu bergetar saat menyenderkan punggungnya ke pintu lift yang masih tertutup rapat. Jari-jarinya masih berusaha menekan tombol di balik punggungnya.
Wajah Ema pias menatap sosok Adit yang berhenti tepat di depannya. Jantungnya berdebar liar.
Di luar dugaan, pria itu tampak menyesali tindakannya tadi. Kedua telapakannya terbuka, tanda menyerah.
"An? Andie. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menakutimu tadi. Tapi aku benar-benar rindu kamu, An. Aku rindu obrolan kita dulu. Aku rindu kita yang dulu, An."
Beberapa kali, Ema menelan ludah. Meski sempat takut, tapi ia tahu pria di depannya ini tidak berbohong. Tahunan ia mengenal lelaki ini, yang memang cenderung impulsif saat sedang kalut.
Tapi saat melihat kaki Adit yang akan melangkah mendekat, rasa panik wanita kembali. Ia semakin memepet ke pintu lift dan menekan-nekan kencang tombolnya lagi.
Melihat reaksi Ema, tatapan pria itu sendu. "Aku tahu sudah sangat menyakitimu, An. Tapi aku-"
Pintu lift tiba-tiba terbuka, dan wanita itu tidak sempat menahan tubuhnya yang langsung jatuh ke belakang.
"An!"
Terasa sepasang tangan kuat segera memeluk Ema dari belakang. Menahannya.
Aliran udara yang menenangkan memenuhi hidung Ema, saat terdengar suara serak seseorang, "Ema?"