Chapter 1 -
Suara langkah lalu-lalang dan riuh rendah dari banyak pengunjung di kafe itu tampak tidak mempengaruhi dua manusia yang sedang duduk saling berhadapan. Pandangan mereka tertunduk ke arah cangkir gelas di atas meja, sampai salah satu di antaranya akhirnya memecah kesunyian itu.
"Jadi, gimana kabarmu?"
Pertanyaan itu dilontarkan dengan ragu-ragu, tapi penuh rasa ingin tahu.
Mendongak, wanita yang tadinya tertunduk itu mengerjapkan mata dan tersenyum lembut. Perlahan, ia menyenderkan punggungnya ke kursi di belakangnya. Kedua tangan di pangkuannya.
"Baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya. Kamu sendiri, gimana kabarnya?"
Pria itu sejenak terdiam, tapi kemudian senyuman mulai muncul di bibirnya.
"Aku juga baik-baik saja."
Keduanya berpandangan dan saling memberikan senyuman.
Wanita bernama Ema itu mengambil kopinya dan hampir menyesapnya saat terdengar lagi suara si pria.
"Kamu sudah nikah?"
Jeda itu membuat Ema menatap singkat pria di depannya, kemudian meminum kopinya. Ia meletakkan lagi cangkirnya ke atas meja dengan sangat pelan.
Ia masih tersenyum saat menjawab pertanyaan itu, "Belum."
Jakun si pria sedikit naik turun ketika mendengarnya. "Kenapa?"
Barulah ketika mendengarnya, senyuman di bibir Ema mulai memudar. Tatapannya menajam.
"Kenapa kamu tanya? Itu bukan urusanmu."
Nada suara Ema yang tajam membuat pria itu terdiam. Matanya bergerak-gerak menatap wanita itu.
"An. Aku tahu kamu masih marah karena aku memutuskanmu dulu. Aku cuman khawatir kalau kamu-"
Tawa geli yang rendah muncul dari tenggorokan Ema dan ia menutup mulut dengan tangannya saat melihat ekpresi pria di depannya tampak mengeras.
"Ehm. Maaf. Kelepasan."
Tidak mau melanjutkan lagi pembicaraan, Ema meraih tasnya dan mengeluarkan dompetnya.
"Mau apa kamu, An? Aku yang akan-"
Tidak menggubris perkataan itu, Ema meletakkan beberapa lembar uang berwarna biru ke meja dan berdiri.
"Maaf. Tapi aku tidak mau berhutang. Aku pulang duluan."
Ia baru saja akan melangkah saat tangannya ditahan pria itu. "Tunggu dulu, An! Aku-"
"Lepaskan tanganmu, DIt. Kalau kamu tidak mau aku teriak di sini."
Kepala Adit menoleh ke sekelilingnya dan pria itu pun melepaskan cengkeramannya. Tampak ia menghela nafasnya berat dan berdiri mendekat ke arah wanita itu.
"Andie, aku belum selesai membicarakan mengenai masalah kita dulu. Aku ingin-"
Ema memundurkan tubuhnya dan membuatnya berada cukup jauh dari pria di depannya.
"Masalah kita dulu? Masalah kamu selingkuh dan menikah dengan wanita lain? Masalah keluargamu yang sudah menghinaku dulu? Atau masalah kamu belum membayar hutang sepeser pun padaku, padahal aku yang membantumu untuk skripsi dan penelitianmu? Masalah yang mana, Dit?"
Perkataan itu disemburkan dengan nada pelan dan sangat lembut. Sama sekali tidak ada kemarahan, yang malah membuatnya terasa lebih menakutkan.
"Andie..."
Tangan Ema yang menggenggam tasnya terasa mengetat, tapi bibirnya malah tersenyum lembut.
"Aku sudah move on, Aditya. Selama 7 tahun ini, aku sudah tidak lagi mengingatmu. Aku sudah sibuk dengan hidupku sendiri, dan tidak punya waktu mengingat masa lalu tidak berguna. Jadi kamu salah kalau kamu pikir aku belum nikah karena kamu. Aku juga tidak butuh rasa kasihanmu. Kamu urus saja keluargamu."
Kakinya hampir saja melangkah, saat Ema menoleh kembali pada pria yang masih terdiam itu.
Kali ini, suaranya terdengar tegas dan tidak terbantah. "Jangan mengajakku ketemuan di luar lagi seperti ini. Urusan kita sebatas urusan pekerjaan. Tidak lebih. Kecuali kalau kamu berniat selingkuh dari isterimu."
Bola mata Adit sedikit melebar mendengar kata-kata ketus itu. Ia hanya bisa terpana menatap wanita itu berjalan menjauh dengan tubuh yang tegak dan sama sekali tidak menoleh lagi.
Sampai di mobilnya, Ema mencengkeram kemudinya dan menggeram kasar. Ia menengadahkan kepalanya tinggi dan menutup matanya erat-erat. Salah satu telapak tangannya memukul kemudinya kencang. Betapa ia sangat ingin menjerit dan memukul sesuatu saat ini!
Berhasil sedikit menenangkan diri, ia mengambil ponselnya dan melihat-lihat layarnya. Setelah beberapa saat, wanita itu melempar benda hitam itu kembali ke dalam tasnya dan menyalakan mobilnya.
Memasukkan persneling ke posisinya, ia bergumam rendah, "Sudahlah, Em. Pria s*alan itu tidak perlu kau ingat-ingat lagi! Dia tidak pantas untuk diingat!"
Selang beberapa waktu kemudian, Ema telah berada di salah satu gedung bioskop yang tidak terlalu ramai di kota itu. Tampak ia mengamati poster-poster di sana dan memutuskan menonton salah satunya.
Melihat Ema yang sedang berjalan mendekat, petugas di baliknya tersenyum sumringah.
"Malam, kak! Lama ga ketemu."
Membalas senyuman itu, Ema terkekeh pelan. "Iya. Kebetulan ada film bagus. Rame malam ini?"
Senyuman si petugas lebih lebar. "Cukup rame, kak. Kakak mau nonton film ini juga?"
"Iya. Masih ada sisa?" Mata Ema menelusuri layar yang ada di depannya antusias.
"Masih cukup banyak, kak. Mau duduk di mana?"
Melihat sudah ada beberapa bangku yang terisi, Ema akhirnya menunjuk satu bangku yang ada di samping lorong. Tampak deretan itu masih cukup kosong.
"Ini, mba. Satu."
"Film-nya sudah dimulai, kak. Jadi nanti langsung masuk saja ya."
"Oke, mba. Makasih."
Selesai transaksi, ia juga membeli sekotak popcorn dan juga sebotol minuman dingin. Suhu yang ternyata cukup rendah dalam gedung bioskop, membuat Ema menyesal membeli minuman dingin. Ia mungkin akan menggigil nanti, terutama karena lupa membawa jaket.
Setelah mencari bangkunya dibantu petugas, wanita itu pun duduk di kursinya dan mulai menikmati layar di depannya. Matanya sejenak berkelana menatap sekitarnya dalam suasana gelap. Terdapat cukup banyak pasangan yang menonton di malam Sabtu ini.
Ia baru saja akan menyuapkan popcorn-nya ke mulut saat seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
"Maaf. Permisi." Suara pelan pria itu terdengar sedikit serak dan berat. Aksennya familiar.
"Oh ya. Silahkan."
Sedikit menggeser kakinya, Ema baru sadar kalau pria itu ternyata cukup tinggi dan besar. Kaki mereka saling bergesakan, sampai lelaki itu duduk di sampingnya. Hawa panas langsung terasa mulai menyebar ketika bahu mereka bersentuhan.
Tidak nyaman, Ema menggeser tubuhnya ke samping tapi tetap saja, bahu mereka kembali saling menempel.
Ia baru saja akan meminta pria itu sedikit bergeser, saat pasangan lain kembali harus melewati bangku Ema. Deretan itu ternyata cukup terisi penuh dan saat mengamati lajur bangkunya, barulah ia dapat melihat wajah lelaki di sampingnya dengan lebih jelas. Siluetnya mempertegas garis wajah pria itu yang kaku dan tajam.
Suara Ema terasa tercekat saat ia refleks mencicit, "Pak Ilyas?"
Kepala lelaki itu menoleh. Matanya yang kelabu muda, tampak memantulkan bayang-bayang gambar yang berseliweran di layar besar bioskop itu. Salah satu sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas.
"Ema?"