Chapter 4 -

1026 Words
"Aditya? Ada keperluan apa di lantai ini?" Pria yang menjabat sebagai Direktur Operasional itu memandang bertanya pada Adit yang terlihat gugup. "Se- Selamat siang pak Ilyas. Sa- Saya- Kebetulan kami bertemu di lift pak." Bola mata Ilyas bergantian menatap Ema dan Adit. Salah satu jarinya menunjuk kedua orang di depannya. "Kalian berdua saling mengenal?" Tersenyum kikuk, Adit keluar dari lift dan menatap Ema yang mengikuti di sampingnya. "Eh, ya. Kebetulan saya sudah mengenal Andie cukup lama pak. Tapi sudah lama kami tidak bertemu." Alis Ilyas yang tebal terangkat tinggi dan pria itu meletakkan satu tangan di dagunya. "Oh?" Senyuman Ema terasa kaku di bibirnya. "Kami saling mengenal saat jaman kuliah dulu pak Ilyas." Memasukkan kembali kedua tangannya ke saku celana, kepala Ilyas mengangguk kecil. Ia kembali menatap Adit masih sambil tersenyum simpul. "Kalau begitu, semoga Andromeda bisa membantumu cepat adaptasi di perusahaan ini, Aditya." Senyuman Adit tampak gembira. "Ya, pak Ilyas. Saya yakin Andie dapat membantu saya." Mata kelabu Ilyas sedikit berkilat, tapi bibirnya masih menampilkan senyuman. "Saya harap kau lebih mengandalkan kemampuan diri sendiri, Aditya. Karena masa probation-mu sebagai Manager Marketing hanya 6 bulan saja. Dan itu dimulai dari hari ini." Suasana yang tadinya akrab, tiba-tiba saja mendingin. Situasi mulai terasa canggung dan tidak enak. Tubuh Ilyas menegak dan ia menatap Adit lebih tajam. Kali ini, ekspresinya kaku. "Ada lagi? Karena saya harus membicarakan sesuatu dengan Andromeda sekarang." "O- Oh! Ma- Maafkan saya. Saya permisi kalau begitu. Selamat siang pak Ilyas." Pria itu menatap Adit yang dengan kikuk memasuki lift kembali. Tampak kepalanya mengangguk. "Selamat siang." Menoleh ke arah Ema, Ilyas melihat wanita itu masih menatap pintu lift yang tertutup dalam diam. "Dia mengganggumu tadi?" "Eh?" "Anak baru itu. Dia mengganggumu?" Gelengan segera diberikan Ema dan wanita itu tersenyum. "Oh. Tidak. Sama sekali tidak." "Hm." "Apa yang ingin bapak bicarakan sampai memanggil saya ke sini?" Kedua mata kelabu Ilyas mengedip dan masih mengamati wanita di depannya. Pria itu baru akan membuka mulutnya saat seseorang menginterupsi keduanya. "Pak Ilyas." Kepala pria itu menoleh dan tersenyum ramah. "Tantri." Wanita yang dipanggil Tantri itu tersenyum cantik. "Saya membawa dokumen yang bapak minta." Menerima dokumen itu, Ilyas masih memberikan senyumannya. "Terima kasih. Ada pertanyaan dari Stanley?" Stanley adalah Direktur Marketing. "Tidak ada pak. Beliau tidak mengatakan apa pun." "Baguslah. Beritahu saya kalau dia menginginkan berkas ini lagi." "Baik pak." Wanita itu tampak ingin tahu saat melihat kehadiran Ema yang berdiri di belakang Ilyas. "Ada lagi?" Sadar dengan intonasi bicara Ilyas yang sedikit berubah, tubuh Tantri menegak dan ia menggeleng. "Tidak ada pak. Saya permisi dulu." Setelah wanita itu menghilang dari pandangan, tangan Ilyas menyentuh punggung Ema ringan. Telapak pria itu terasa menyebarkan hawa panas di bagian yang disentuhnya. "Ayo, kita ke ruanganku dulu." Menurut, Ema berjalan beriringan dengan Ilyas dan memasuki ruangan kantor yang cukup besar. "Duduklah di sofa." Duduk di sofa, Ema memperhatikan kalau ternyata sudah ada beberapa makanan di meja. Tidak lama, Ilyas menyusul dan duduk di sampingnya. Pria itu menyerahkan berkas yang diterimanya tadi pada wanita itu. Posisi mereka cukup dekat, dengan bahu hampir bersentuhan. "Aku baru tahu kalau dia dari eks distributor kita. Kenapa dia sampai bisa diterima di sini, Em?" Dalam hati, Ema sudah mengantisipasi pembicaraan ini. Tapi tidak menyangka, kalau Ilyas akan membuka diskusi dengan cara yang ringan. Pria ini biasanya akan langsung bersikap judgemental saat dalam forum. "Bukan saya yang merekrutnya pak. Saya hanya menjalankan perintah." "Kenapa bahasa kamu formal begitu? Aku kira kita sudah lebih akrab sejak minggu kemarin." Tersenyum canggung, Ema berusaha menjaga ekspresinya tetap ramah. "Bukan begitu pak. Tapi saya tetap bawahan Anda dan-" "Dan aku minta kamu untuk tidak kaku saat kita berdua saja. Kamu paham?" Perintah itu membuat postur Ema membeku. Dua orang itu berpandangan dan tiba-tiba saja Ilyas terkekeh. "Aku bercanda. Senyamannya kamu saja, Em. Jangan dipaksakan. Tapi sejujurnya, aku memang merasa lebih dekat sejak kita nonton bareng kemarin." Wanita itu tertegun dan pikirannya belum jernih, sampai pria itu menyerahkan piring berisi makanan. "Oh! Pak Ilyas. Ini-" "Aku lebih suka ngobrol santai saat kita diskusi. Kamu ga keberatan nemenin aku makan siang kan?" "Tapi ini-" "Aku lapar Em. Please, jangan membantah lagi." Tanpa terganggu sama sekali, Ilyas mulai menyuapkan makanan dari piringnya sendiri. Mulutnya mulai sibuk mengunyah saat ia menatap Ema yang masih mematung. "Dimakan Em. Dagingnya enak." Wanita itu hanya bisa tersenyum kikuk. "Eh, iya pak." "Mengenai Aditya tadi. Kamu bilang, bukan kamu yang rekrut dia?" Mengambil sesuap makanan, Ema mengangguk pelan. "Benar pak. Bukan saya. Saya hanya bertugas untuk menghubunginya dan langsung memprosesnya tanpa tes." "Siapa yang menyuruh?" "Pak Stanley dan pak Herman." Herman adalah Direktur Personalia, merangkap Keuangan. Atasan Ema. Pria itu mengangguk-angguk. "Apa alasannya? Apa benar dia anak pejabat?" Meletakkan piringnya di atas meja, pandangan Ema tertunduk. Wanita itu tampak ragu-ragu. "Em?" Menatap Ilyas tepat di matanya, Ema menarik nafas dalam. "Boleh saya bicara jujur?" Sadar pembicaraan ini cukup serius, Ilyas me-lap mulutnya dan mengangguk. Tubuhnya lebih tegak. "Ya. Aku justru ingin kamu jujur. Katakan saja semua yang kamu tahu." Wanita itu menggigiti bibirnya sebentar. "Sebenarnya, saya melakukan background check untuk Aditya di beberapa perusahaan sebelumnya. Performance-nya tidak bisa dibilang bagus, tidak juga jelek. Biasa saja." "Terus?" "Durasi kerjanya di tiap tempat tidak lama. Biasanya sekitar 1-2 tahun. Dia justru lebih lama bekerja sebagai agen asuransi lepas, atau mengurus bisnis otomotif-nya." "Oh? Otomotif?" "Dia punya hobi modifikasi mobil-mobil lama dan menjual sparepart-nya pada para kolektor. Sepertinya itu berkembang jadi bisnis yang menguntungkan." Ekspresi Ilyas lebih intens. "Aku yakin itu tidak ada di CV. Kamu kenal dekat dengan Aditya, Em?" Pertanyaan itu seperti menampar Ema. "Ti- Tidak. Sa- saya kebetulan tahu hobinya saat kuliah dulu." Ema memperhatikan alis Ilyas perlahan berkerut. Tatapan mereka terkunci dan udara mulai terasa berat. Bola mata pria itu yang kelabu seolah menghipnotis wanita itu dan membuatnya tidak bisa berpaling. Seperti tertarik magnet, mata Ema turun ke arah bibir Ilyas yang merah muda. Suara pria itu terdengar lebih serak dan berat saat ia bicara, "Em... Aku-" Pintu ruangan tiba-tiba terbuka lebar dan terdengar suara melengking. "Ilyas!" Wanita muda yang mengenakan gaun selutut itu dengan cepat menerjang dan memeluk pria yang masih duduk itu. Bibirnya yang berlipstik merah pun mendarat di pipi lelaki itu yang sedikit gelap. "Ilyas! Aku rindu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD