Tampak kedua pasang mata menatap kepergian mobil sedan di depan mereka. Selama beberapa detik, tidak ada yang bicara sampai terdengar suara serak Ilyas memecah kesunyian di basement itu.
"Kamu yakin sudah tidak apa-apa?"
"Ya pak. Saya sudah tidak apa-apa."
Rahang Ilyas mengeras, menatap wanita di depannya yang masih menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjangnya.
Terdengar hembusan nafas yang keras dari cuping hidung pria itu.
"Kenapa ya, kok rasanya aku tidak percaya ceritamu tadi? Kamu yakin tadi hanya ketakutan karena salah mengira Adit penjahat? Kamu tidak bohong?"
Mata Ema mengedip cepat tapi tetap menunduk. Ia akan sulit bersilat lidah kalau menatap langsung lelaki di depannya, yang seperti sedang menginterogasinya.
"Saya tidak bohong pak. Tadi saya akan ke mobil saat mendengar suara langkah orang. Saya panik. Itu saja."
"Kamu yakin?"
Kepala Ema mengangguk beberapa kali, tapi ia tetap menunduk.
Tiba-tiba saja, dagunya diangkat dan membuatnya terpaksa menatap ke arah pria di depannya.
"Lihat aku kalau sedang bicara, Ema. Aku tidak suka-"
Perkataan pria itu terhenti dan matanya terlihat menyipit. Jempolnya mengusap lembut bibir bawah Ema yang masih sedikit mengeluarkan darah.
"Kamu terluka, Em..." Suara serak pria itu terdengar sangat berat.
Tiba-tiba saja, keduanya saling memandang. Tidak ada yang berkedip.
Setelah beberapa saat, kepala Ilyas mendekat. Ema dapat melihat deretan bulu mata pria itu yang panjang dan lentik. Matanya yang kelabu ternyata memiliki semburat warna hijau yang mengelilingi pupilnya.
Hembusan udara hangat menerpa kulit Ema dan membuatnya merinding. Hidung lelaki itu yang mancung terasa mengusap hidungnya sendiri. Ia merasakan bibir mereka hampir bersentuhan, saat Ilyas menatapnya.
"Kamu mau aku menciummu?"
Dengan segera, semburat merah yang panas terasa mengaliri pipi Ema yang dingin.
Refleks, wanita itu mendorong d*da Ilyas dan langsung menjauh. Kepalanya menunduk. Ia sangat malu.
"Sebaiknya saya segera pulang, pak. Selamat malam."
Wanita itu segera melangkah ke arah mobilnya, saat terdengar suara Ilyas kembali.
"Sebentar, Em."
Ema masih belum berani menatap Ilyas, sampai tangan pria itu mengulurkan sapu tangannya.
"Seka lukamu pakai ini. Segera obati kalau kamu sudah sampai rumah."
"Terima kasih pak. Tapi saya-"
Pria itu mengambil tangan Ema dan menekankan benda tadi ke bibir wanita itu. Mereka kembali bertatapan.
"Kamu ini memang bandel ya. Harus dipaksa. Ingat, obati bibirmu nanti."
Tidak tahu harus membantah apa, kepala Ema terpaksa mengangguk. "Terima kasih."
Menepuk bahu wanita itu, bibir Ilyas membentuk senyuman kecil. Tangan pria itu terasa mer*mas lembut lengannya dan mengalirkan hawa hangat melewati kemejanya.
"Pulanglah sekarang. Sudah malam."
Sentuhan Ilyas sangat berbeda dengan sentuhan Adit tadi, membuat detak jantung Ema perlahan normal. Ia merasa lebih tenang dan anehnya, terlindungi.
"Terima kasih, pak. Selamat malam."
Mata kelabu Ilyas mengawasi mobil Ema yang secara perlahan, menghilang dari pandangannya. Setelahnya, kepala pria itu menengadah ke beberapa arah. Mencari sesuatu.
Saat sudah menemukannya, pria itu berbalik dan kembali melangkah memasuki lift. Tampak ia menghubungi seseorang melalui ponselnya, sampai pintu menutup sempurna.
Beberapa jam kemudian, di tempat lain, Ema membaringkan tubuhnya di kasur. Wanita itu terlihat berfikir. Jari-jarinya mengusap bibirnya sendiri. Benaknya kacau saat mengingat ia hampir mencium atasannya.
Ini sudah kedua kalinya, ia merasa terhipnotis oleh pria itu. Tubuhnya seolah lumpuh dan menyerah.
Ema mengenal Ilyas sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya 3 tahun lalu, saat ia baru menyelesaikan pendidikan Magister-nya. Ia melamar ke TJ Corp. dengan berbekal ijasah akhirnya, dan bekerja hingga saat ini.
Sepanjang menempuh karir-nya di perusahaan, ia sudah terbiasa bertemu Ilyas saat meeting dan tidak jarang pula, pria itu memarahi dan menegurnya langsung di forum.
Sebagai bagian dari HC terutama garda depan tim rekrutmen, Ema tidak jarang menjadi sasaran kemarahan para user saat ada karyawan yang tidak perform dalam bekerja. Ia dan tim-nya akan selalu disalahkan tidak becus dalam mencari orang. Atau hasil tes mereka tidak menggambarkan kondisi sebenarnya.
Sudah sering kali Ema melakukan pembelaan, bahwa semua itu tidak lepas dari peranan para atasan untuk mau mengembangkan anak buahnya. Mengajarinya dan bukannya melepasnya tanpa panduan. Dan bahwa, bagiannya juga dirugikan dari sisi waktu dan biaya bila terlalu banyak karyawan yang keluar-masuk.
Tapi seperti biasanya. Tidak ada seorang pun mau disalahkan. Semua mencari kambing hitam dan dalam kasus ini, Ema adalah sasarannya. Ia termasuk karyawan junior berusia muda. Dianggap tidak tahu apa-apa dan masih hijau. Sangat cocok untuk diumpankan ke singa.
Dan salah satu singa itu adalah Ilyas.
Semenjak menjabat sementara sebagai Manager, menggantikan atasannya yang tidak kuat karena tekanan itu, sudah hampir 2 tahun ini telinga Ema mulai terasa kebas mendengar perkataan tidak enak dari para user.
Menggulingkan badannya hingga telentang, wanita itu menatap langit-langit di atasnya.
"Apa aku resign saja ya?"
Tapi saat ia terbaring di kasur dan menatap sekitarnya, hatinya terasa kosong.
Ia tidak tahu harus kembali ke mana. Ia sudah tidak punya kampung halaman. Rumahnya dulu sudah dijual untuk membiayai hidupnya, termasuk pendidikannya. Ibunya pun sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Saat mengingat ibunya, bola mata Ema memanas dan mulai berkaca-kaca.
Wanita itu berbaring menyamping dan mulai meringkuk seperti bola. Kedua tangan menutupi wajahnya dan terdengar suara tangisan pelan dari mulutnya. Suara yang keluar dari tenggorokan Ema terdengar tersendat-sendat, menandakan perasaannya yang sangat kalut.
Ia tahu, ia belum selesai dengan masa lalunya.
Keesokan paginya di kantor TJ Corp. tampak seseorang keluar dari lift dan langsung menuju suatu ruangan. Senyuman khas-nya terlihat di bibirnya saat ia menyapa ramah dua orang sekretaris direksi.
"Pagi, Tantri. Sheila. Herman sudah datang?"
"Selamat pagi pak Ilyas. Pak Herman baru saja datang. Beliau ada di ruangannya." Sheila menjawab cerah.
Kepala Ilyas mengangguk dan ia masih tersenyum. "Stanley?"
"Pak Stanley belum datang pak. Mungkin sebentar lagi."
Kembali kepala pria itu mengangguk. "Anak baru itu. Aditya. Kapan rencana meeting dengan dia?"
Kali ini, tampak Tantri yang lebih senior menyentuh tab-nya beberapa kali.
"Dijadwalkan Jumat ini pak, jam 10 pagi."
"Oke. Thanks."
Tidak menoleh lagi, pria itu langsung masuk ke ruangan Herman dan pintu itu kembali tertutup.
Saat duduk, Tantri menghembuskan nafasnya. Wanita itu terlihat tegang, tapi tampak tidak terperhatikan oleh Sheila yang masih setia menatap pintu ruangan Herman.
"Orang itu sangat ganteng. Juga ramah. Tapi kenapa belum menikah sampai sekarang ya?"
Tidak acuh, Tantri mengetik sesuatu di laptop-nya. "Aku tidak tahu. Mungkin belum ketemu jodohnya?"
Menoleh pada Tantri, Sheila berbisik, "Mungkin juga g*y? Sekarang banyak cowo yang aneh-aneh."
Sheila yang baru join ke perusahaan beberapa hari, masih dipenuhi rasa ingin tahu yang besar.
"Nama pak Ilyas. Kenapa dia dipanggil Ilyas ya? Kan namanya-"
Dengan cepat, kepala Tantri menoleh pada juniornya. Tatapan matanya terlihat marah.
"Kalau kamu doyan gosip, di sini bukan tempatnya. Apa pun nama pak Ilyas, dia g*y atau bukan, itu urusan dia. Bukan urusan kita. Kecuali kamu mau tidak lulus probation, kamu boleh menyebar gosip apa pun tentang atasan kita di kantor ini. Paham kamu?"
Terkejut melihat kemarahan seniornya, Sheila mengangguk.
"Pa- Paham. Maafkan aku, mba. Aku-"
"Kembali kerja. Tidak usah bergosip. Ingat, di surat kontrak kamu ada klausul mengenai menjaga kerahasiaan perusahaan. Dan itu termasuk kehidupan pribadi atasan kita. Apa terjadi di lantai ini, cukup kita yang tahu."
Tidak berani bicara lagi, Sheila langsung menenggelamkan kepalanya dalam tumpukan pekerjaan.