Bab 39

1441 Words
Saat itu aku merasakan beban berat dalam kepalaku terasa menghilang. Perasaan takut dan gelisah yang telah memenuhi isi hati dan kepalaku beberapa hari ini ikut terhempas dan dihancurkan oleh tusukan yang menembus dadaku dari belakang, dari ekor panjang monster bersisik ikan di bawahku ini. Semua kejadian ini terasa begitu cepat hingga aku tidak menyadari dadaku telah ditembus oleh ekor itu sejak beberapa detik yang telah terlewati.   Tubuhku melengking ke atas ikut terdorong karena tekanan tusukan ekor itu. Darah segar kembali mengalir dari luka pada tubuhku. Mataku menatap lurus ke atas di mana pohon-pohon hutan ikut menyaksikan pertarungan di antara kami berdua. Atau mungkin lebih tepatnya disebut pembantaian? Aku, seorang manusia biasa tengah melawan seekor monster berukuran besar dengan tangan kosong. Ini sungguh lucu bukan?   Butiran salju putih ikut meramaikan dan menghiasi malam itu, bercampur dengan cipratan darah segar milikku. Entah kenapa ini terasa begitu menenangkan bagiku. Aku kembali merasakan rasa hangat yang merembes dan mengalir di sekitar tubuhku. Tentu itu adalah cairan darahku sendiri.   Mungkin ini terdengar gila, tapi kehangatan itu jelas membuatku terhanyut dalam pikiran seakan aku tengah berada di atas kolam dingin dalam musim panas. Tanpa sadar sudut bibirku tertarik ke atas dengan pandangan mata yang kini berubah tidak fokus. Aku merasa senang bagai terkena obat berbahaya. Aku tidak tahu kenapa aku bisa tiba-tiba merasa begitu bebas dan aku yakin aku bisa melakukan segalanya. Termasuk menghancurkan monster yang telah menyerangku ini.   Perasaan ingin membunuh dan bersenang-senang yang begitu menggebu di waktu bersamaan, membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan nikmat layaknya seorang perokok berat. Aroma besi berkarat yang berasal dari darah di sekitar tubuhku seakan menjadi sebuah parfum manis yang membuatku candu. Aku ingin merasakan aroma ini lebih banyak lagi. Tanpa sadar lidahku menjulur keluar, menjilat area bibir luarku dengan nikmat seakan tengah menanti sesuatu yang lezat.   “Keh ... khekhekhe,” kekehku pelan.   “Hahahaha!” Tawa itu semakin mengeras dan menggema di antara rimbunnya pohon hutan. Mungkin aku sudah menjadi gila, tapi aku menikmati pembantaian ini entah sejak kapan. Bola mataku bergulir ke arah ujung ekor yang masih menyangkut di depan dadaku. Ujung itu diselimuti darah merah yang meneteskan cairannya satu per satu ke bawah, tepat berada di atas punggung monster itu.   Dengan sigap aku menangkap ujung ekor itu dari depan sebelum monster bersisik ikan itu menariknya kembali dari tubuhku. Nampak monster ikan di bawahku ini terlihat panik dan berusaha melepaskan ekornya dari cengkeraman tanganku. Aku tidak perduli. Aku justru merasa senang melihat bagaimana paniknya monster ikan tersebut. Dengan kuat aku menarik sedikit ujung ekor itu ke depan sehingga membuatnya semakin menembus dadaku.   Sekali lagi cairan merah menguar lewat bibirku, namun aku tidak mempermasalahkannya. Aku tidak bisa merasakan sakit apa pun yang bisa membuatku takut untuk lebih terluka. Mata penuh nafsu milikku saat ini melihat dengan lurus bagaimana bentuk ekor yang monster itu punya. Benar-benar terlihat seperti belut. Dalam cengkeraman tanganku, ekor itu tidak henti bergerak menggeliatkan diri agar bisa terlepas.   Semakin aku melihatnya dengan lekat, semakin aku merasa ingin mencobanya dan membuktikan rasa dagingnya. Aku berharap rasa daging monster itu tidak jauh berbeda dari rasa daging belut yang sebenarnya. Dengan pikiran gila itu, tanpa ragu aku langsung membuka mulutku lebar-lebar dan menggigit dengan kuat ekor monster itu.   Seketika terdengar raungan keras dari mulut monster bersisik ikan itu. Aku semakin bersemangat untuk mengoyak dagingnya lebih dalam sembari tetap menahan rontaan dari ekor monster tersebut. Beberapa cairan darah dari ekor monster itu juga sudah merembes di sela bibirku, dan aku semakin menikmatinya. Dengan kuat aku menarik sebagian daging itu, seperti yang telah dilakukan monster yang memakanku sebelumnya.   “GRUAAH!” jerit monster itu dengan kencang. Kini sebagian daging monster itu memenuhi dalam mulutku. Aku mulai mengunyah daging itu tidak memedulikan jeritan kencang yang terdengar pada kedua telingaku. Tanpa rasa bersalah atau jijik aku menelan daging dalam mulutku. Aku seperti kehilangan akal ketika melakukan hal ini.   Dalam hati aku sibuk bertanya-tanya, apa yang sedang kulakukan saat ini? Kenapa aku melakukan semua ini? Kenapa aku melakukan hal yang menjijikkan seperti ini? Namun dalam pikiranku yang lain, terdengar seperti seseorang tetap menyuruhku untuk melanjutkan apa yang tengah kulakukan saat ini. Ini seperti ada dua kepribadian yang saling bertolak belakang dalam tubuhku, dan hal itu berhasil membuatku bingung.   Meski begitu, aku tetap melakukan apa yang tengah kulakukan saat ini, seperti yang dikatakan oleh isi pikiranku. Setelah itu, barulah aku melepaskan ekor tersebut. Dengan cepat monster di bawahku menarik kembali ekor panjangnya dari tubuhku. Tubuh besarnya yang tengah kutahan dengan berat tubuhku berusaha bergerak untuk bangkit. Namun aku tidak mengijinkan hal itu.   Aku meraih potongan kayu yang tidak jauh dari tempat itu, dan langsung menancapkan ujungnya dengan kuat pada punggung dekat leher makhluk tersebut. Tidak memedulikan rontaan yang dilakukannya, aku tetap menembuskan kayu itu hingga menancap dengan kuat menembus tanah di bawahnya. Kedua tangannya yang sudah patah semakin membuat monster itu tidak bisa berkutik lebih di bawahku.   Tidak sampai di situ saja. Aku mulai bangkit dari atas punggungnya. Bahkan untuk sekedar menarik diri dengan menggunakan kekuatan kedua kaki dan ekornya saja monster itu tidak bisa. Sepertinya tenaganya telah berkurang banyak setelah apa yang baru saja kulakukan. Aku memerhatikan ke sekitar tempat itu dan melihat sebuah batu berukuran cukup besar tidak jauh dari sana.   Segera aku mengambil batu itu dan mengangkatnya. Tidak kusangka aku cukup mudah mengangkat batu sebesar itu dengan kedua tangan kosong. Aku membawa batu itu kembali di depan monster itu. Menatap dengan pandangan dingin tanpa rasa kasihan. Kedua mata kami sempat bertemu pandang, dan aku seperti bisa melihat sorot mata pasrah dalam pandangan mata buasnya.   Lagi-lagi aku tersenyum miring. Ini adalah akhir dari hidup monster sialan seperti dia. Tanpa menunggu lagi, aku langsung menghantamkan dengan keras batu besar yang kubawa, tepat mengenai kepala monster tersebut. Sekali lagi darah segar langsung muncrat dari sana. Kulihat tidak ada pergerakan apa pun lagi dari tubuh monster itu menandakan siapa pemenang di antara kami berdua.   Aku menghela napas dengan penuh kelegaan. Tubuh kurusku langsung terhuyung tidak beraturan setelah berhasil mengalahkan monster tersebut. Ini begitu melegakan dan mengejutkan di waktu yang sama. Aku, Danny, anak yang dikenal lemah dan culun, selalu dianggap tidak berguna oleh Jason dan kawan-kawannya, telah berhasil mengalahkan seekor monster besar sendirian dengan tangan kosong.   Bukankah ini adalah sebuah prestasi yang sangat luar biasa? Perlahan namun pasti kedua sudut bibirku tertarik ke atas, dan tertawa dengan keras.   “HAHAHAHAHA!” tawa kerasku bahkan seakan terdengar menggema di hutan gelap itu. Aku merasa puas dan begitu antusias. Aku terlihat seperti orang gila, dan aku tidak perduli akan hal itu. Aku merasa ada hal aneh yang terjadi dalam tubuhku, namun selama aku berhasil menang melawan monster itu, aku sudah tidak perduli lagi. Lalu tiba-tiba aku merasakan sesuatu mengocok kuat di dalam perutku hingga menciptakan rasa mual yang begitu sangat.   “Hoekk!” Aku langsung memuntahkan semua isi perutku di tempat. Bahkan kedua lututku juga ikut terjatuh dan berlutut di atas tanah sembari membungkukkan tubuh. Perutku seperti diaduk oleh sesuatu. Semua itu semakin parah ketika bola mataku melihat beberapa daging monster yang telah kutelan tadi berada di antara muntahan itu. Aku semakin tidak bisa menahan diri untuk tidak memuntahkan semua isi perutku.   Ini sangat menjijikkan. Aku tidak tahu kenapa aku harus melakukan hal menjijikkan seperti itu tadi. Semua itu membuat tubuhku merasa begitu lemas. Dalam sekejab rasanya akal sehatku kembali menguasai alam pikirku. Aku sungguh menyesali apa yang baru saja kulakukan tadi. lebih tepatnya menyesali kelakuanku yang bisa-bisanya tanpa ragu memakan daging menjijikkan seperti ini.   Aku harus pergi dari tempat ini. Aku tidak ingin melihat bangkai daging dan genangan darah lagi di sekitarku. Aku ingin mencari tempat yang bisa membuatku merasa lebih baik. Dengan sekuat mungkin aku berusaha menggerakkan tubuhku kembali untuk melangkah menjauhi tempat itu. Langkah kakiku masih tertatih namu aku tetap tidak perduli. Yang kulakukan hanyalah tetap melangkah mengikuti instingku bekerja.   Entah di mana aku berada. Aku hanya mengikuti pinggiran hutan. Rasanya tenagaku telah terkuras habis. Bahkan pandangan mataku sudah tidak bisa melihat dengan fokus apa yang ada di depanku. Tetes darah masih mengalir dari lubang di dadaku dan aku hanya melangkah sendirian di dalam hutan yang begitu gelap dan dingin, ditemani oleh butiran salju putih yang turun dengan deras.   Aku merasa lelah dan hampa. Aku merasa ingin pulang dan kembali tidur di dalam kamar hangatku. Secangkir s**u hangat terasa begitu mahal untukku saat ini. Dalam diam aku meneteskan air mata, meratapi nasib yang begitu kejam kepadaku. Lalu secara perlahan pandangan mataku akhirnya mengabur dan gelap seiring dengan tubuhku yang terhuyung jatuh kembali ke dalam jurang.   Aku bisa merasakan tubuhku bergulung dengan cepat, terhempas ke sana dan kemari dan terlempar dengan cukup jauh sebelum akhirnya terhantam oleh sesuatu yang begitu keras kembali. Setelahnya aku kembali tidak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD