“UGH!”
Napasku tertahan ketika merasakan cengkeraman tangan dari monster bersisik ikan itu menguat. Tubuhku terasa remuk. Rasanya aku bisa mendengar sesuatu dalam tubuhku retak. Meski begitu aku tetap tidak merasakan rasa sakit. Hanya saja napasku terasa begitu sesak.
Aku menyadari bahwa tubuhku ini bisa terluka dan hancur. Aku juga akan mendapatkan efek samping karena luka itu. Hanya saja rasa sakit yang harusnya kudapat itu tidak terasa sama sekali. Aku tidak tahu ini bisa dikatakan keberuntungan atau justru sebaliknya. Karena jika aku tidak merasakan rasa sakit sama sekali, aku tidak akan bisa mengerti seberapa jauh tubuhku bisa bertahan dalam menghadapi serangan dari luar. Aku bisa mati tanpa kusadari sebelumnya.
KRAK! Sekali lagi aku mendengar suara retakan tulang pada tubuhku. Ini tidak bisa berlanjut. Aku harus berusaha mencari cara agar terlepas dari cengkraman monster di belakangku. Aku meremas dan mendorong cengkraman dari jari jemari monster itu pada tubuhku. Berusaha sekuat mungkin melepaskan diri.
Kedua kakiku yang menggelantung di udara juga tidak berhenti di tempat. Aku menggerakkan kedua kaki itu dengan brutal. Menendang ke segala arah, terutama ke arah belakang di mana monster ikan itu berada. Aku berharap tendangan dari kakiku itu bisa sampai dan mengenai tubuhnya.
“Agh! Lepaskan aku! Dasar monster sialan!” teriakku dengan perasaan kesal. Setelah beberapa saat aku berusaha melepaskan diri dan semuanya hanya sia-sia belaka, aku menjadi semakin putus asa. Aku berusaha mengerahkan seluruh tenagaku dengan mendorong dua jemari besar monster itu.
“EENGHH!” erangku sepenuh hati. Mungkin raut wajahku kini sudah seperti kepiting rebus, menahan dan mengeluarkan tenaga sekuat hati hanya untuk melepaskan dua jemari monster itu saja. Aku tidak perduli. Yah setidaknya aku sudah berusaha. Aku sudah tidak ingin menjadi makanan kedua kali untuk seekor monster jelek seperti mereka.
Krak! Terdengar suara patahan tulang sekali lagi. Namun kali ini aku yakin itu bukan suara patahan tulangku, karena setelahnya monster itu berteriak meraung dengan kencang. Tidak lama kemudian tubuhku dilempar dengan begitu kuat ke samping oleh monster itu. Sekali lagi aku jatuh dengan keras di atas tanah dan terseret ke belakang karena kuatnya lemparan itu.
Punggung kurusku berhenti menabrak pohon di belakangku yang langsung membuat napasku kembali tertahan akan benturan itu. Sepertinya tulangku kembali patah. Aku langsung melemas di tempat dengan darah yang keluar sekali lagi dari mulutku.
“Uhuk uhuk! Ugh!” erangku dengan lirih. Aku merasa kehilangan tenaga setelah benturan itu. Tubuhku tidak merasa sakit, tapi mereka tetap tidak bisa berhenti gemetar tanpa bisa kuhentikan. Rasanya sesuatu ada yang menusuk bagian organ dalam pentingku dari dalam tubuh. Mungkin itu serpihan tulangku yang patah.
Aku berusaha menegakkan tubuh kembali dengan bantuan kedua tanganku yang gemetar hebat. Aku ingin mengatakan bahwa ini sakit, tapi aku merasa tidak berhak mengatakan kata itu ketika aku bahkan tidak bisa merasakan rasa sakit sama sekali.
Napasku terasa memberat dan aku berusaha mengatur tarikan napasku sedemikian rupa agar menjadi lebih tenang. Sementara kedua bola mataku kini bergulir ke arah monster itu berada. Dari kejauhan sana aku bisa melihat kedua kaki besar dari monster yang masih meraung di tempat karena kedua jemari tangannya berhasil kupatahkan. Tidak lama kemudian dia mulai bergerak mendekatiku.
Langkah kaki monster itu nampak pelan dan penuh intimidasi di mataku. Namun ada satu hal yang tertangkap pada indera penglihatanku. Salah satu kaki itu terluka. Seperti monster itu telah mendapat sayatan pisau yang tajam. Aku tidak yakin apa sayatan itu dilakukan oleh seorang manusia di dalam hutan yang gelap ini ataukah sayatan itu dilakukan oleh monster lainnya.
Namun aku tetap berterima kasih karena sayatan yang cukup besar itu membuat langkah monster bersisik ikan tersebut menjadi pincang. Luka itu cukup berhasil menghambat langkah cepat monster itu, meski sebenarnya itu tidak berarti apa-apa jika dibanding dengan langkah kakiku yang berjalan seperti bayi.
Dalam hati aku kembali mengumpati kondisi kakiku yang tidak kunjung normal. Apa aku akan selamanya berjalan seperti ini?! Bola mataku kembali bergulir ke atas meneliti tubuh besar monster itu. Sementara tubuhku sendiri bergerak mundur ke belakang, berusaha menjaga jarak agar tetap jauh dari monster itu.
Sekali lagi aku menemukan luka berbentuk lubang pada d**a bagian atas makhluk itu. Aku langsung merasa ada secercah harapan. Aku yakin itu adalah luka tembakan. Pasti itu adalah suara tembakan yang sempat kudengar beberapa saat yang lalu. Aku langsung berpikir bahwa ada seseorang di sekitar sini. Mereka pasti bantuan yang dikirim Hellen untukku.
“TOLONG! TOLONG HEI! AKU DI SINI! TOLONG AKU!” jeritku seketika, berusaha memanggil siapa pun penolong yang kurasa ada di sekitar sini. Namun hutan ini nampak begitu gelap, sepi, juga dingin bagiku. Tidak ada suara apa pun yang bisa kudengar selain geraman dari monster bersisik ikan yang kini sudah ada di depanku ini.
Mendadak aku kembali memikirkan kemungkinan yang lain. Mataku mendongak ke atas di mana wajah monster itu berada. Moncong lebarnya mengeluakan lidah panjang monster itu yang menjilat sekitar wajahnya. Dari situ aku bisa menangkap gigi bertaring itu bercampur dengan cairan merah yang pastinya adalah sebuah darah.
Ya, tentu saja monster itu juga akan memakan mereka, manusia yang datang mendekat. Apa lagi yang bisa kuharapkan. Sekali lagi harapanku untuk mendapatkan pertolongan telah pupus. Aku menatap dengan lemas ke arah monster itu. Rasanya aku kehilangan semangat untuk hidup. Dalam sekejap monster bersisik ikan itu sudah mencengkeram leherku dengan kuat.
Tanpa kesulitan sama sekali monster itu kembali mengangkat tubuhku, membuatku tercekik untuk kedua kali. Sekali lagi aku bisa melihat monster itu menjilat moncong luarnya dengan lidah seakan merasa tidak sabar untuk memakanku bulat-bulat. Mata tajamnya melihatku dengan penuh nafsu. Aku tahu dia merasa marah akan ulahku tadi pada jari tangannya.
Melihat bagaimana mata tajamku seolah memandang diriku yang tidak berdaya ini lama-lama membuat harga diriku terluka. Aku merasa mendidih karena aku hanya bisa terdiam tanpa bisa melawan. Aku merasa muak karena telah diperlakukan seperti barang tidak berguna oleh monster jelek seperti mereka.
Cekikan pada leherku yang semakin mengerat membuatku semakin tidak bisa menahan rasa keputus asaanku pada keadaanku sekarang yang terlihat begitu lemah dan rendah di mata hewan seperti mereka. Merasa tidak bisa menahan lagi aku mulai meraih pergelangan tangan monster itu lagi yang mencekikku.
Kuremas sekencang mungkin pergelangan tangan itu. Berusaha meluapkan segala emosiku yang tertahan selama ini. rasanya bagian darah dalam tubuhku terasa terbakar, alirannya mengalir dengan cepat menuju otak, lalu kembali menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada bagian tanganku. Untuk beberapa saat aku merasa tenagaku berkumpul pada satu titik, yaitu cengkeraman tanganku. Aku semakin meremas pergelangan tangan monster ikan itu sekuat mungkin.
“HENNGGH!” erangku sekuat mungkin seiring remasan tanganku juga ikut menguat. Kulihat kedua mata monster itu mulai terlihat bingung menoleh ke arah pergelangan tangannya yang tengah kucengkeram. Perlahan demi perlahan cekikan tangannya pada leherku melemah hingga terlepas. Membuat tubuh kurusku kembali menapak di atas tanah.
Meski begitu, kami berdua sama-sama saling mengeluarkan tenaga untuk melihat siapa yang mampu bertahan dengan baik di antara kami. Aku yang meremas pergelangan tangannya, atau monster itu yang menahan remasan tanganku. Aku tidak tahu dari mana kekuatan yang kudapat ini berasal, tapi aku mendadak merasa yakin bahwa aku bisa mengalahkan monster ini. bukankah ini sungguh luar biasa?
Aku menatap terkejut sekaligus bingung ketika aku melihat pergelangan tangan monster itu mulai terlihat patah dan hancur karena remasan tanganku. Tapi aku tidak berniat untuk melepaskan sedikit pun remasan tanganku. Aku berniat menghancurkan bagian tubuh itu sehancur-hancurnya hingga dia tidak bisa melakukan apa pun lagi dengan tangan itu.
“GYAAHH!” raung monster itu sekali lagi. Dengan cepat monster itu mengarahkan tangan besarnya yang lain untuk meraih tubuhku, dan aku juga tidak kalah sigapnya menangkap tangan itu sebelum berhasil menyentuh tubuhku yang lain.
Sekali lagi aku terkejut dengan tenaga besar yang tiba-tiba kudapatkan saat ini. Meski begitu aku merasa jumawa. Untuk pertama kalinya setelah malam mengerikan bertemu monster sebelumnya, aku bisa menarik sudut bibirku kembali. Aku melempar senyum miring pada monster ikan yang kini nampak begitu marah padaku saat ini. Dia tidak henti menggeram dan meraung kesakitan karena cengkraman tanganku ini.
Aku berpikir mungkin ini adalah saatnya aku membalas dendam atas perlakuan mereka padaku. Aku menoleh kembali ke arah luka sayatan pada kaki monster itu. Dengan sekuat mungkin aku menendang tepat pada luka kaki itu dan membuatnya terseret ke belakang. Sehingga monster ikan itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke depan. Aku bergerak dengan cepat menarik tangan monster itu ke arah sebaliknya, dengan putaran yang berlawanan arah dari putaran sendi.
KRAK!
“GYAAHH!” Akhirnya monster itu meraung semakin kencang ketika tangannya telah patah akibat putaran itu. Tidak sampai di situ. Aku segera bergerak menaiki punggung besar monster itu dan meraih satu tangan yang lainnya untuk memperlakukan hal yang sama.
Satu tangan lagi kembali patah. Monster itu kembali meraung kesakitan. Kedua tangannya sudah melunglai jatuh tanpa bisa digunakan kembali. Kini aku mengarahkan kedua tanganku pada bagian kepala monster itu. Aku menarik kepala itu ke belakang, berniat untuk mematahkan leher itu juga. Monster itu masih berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku. Tanpa kusadari ekor belutnya bergerak dari belakang tubuhku berniat untuk menyerangku.