03. Terpaksa

1733 Words
Hari ketiga Ranti dikontrakan tak bisa berbuat apa-apa. Siangnya hanya diisi dengan tiduran serta memainkan ponsel. Ranti belum berani untuk keluar sendiri. Tapi Ranti merasa bosan kalau dirinya tetap di rumah. Kota Jakarta, bukanlah kota Solo yang selama ini Ranti tinggali. Di Solo Ranti bisa bebas keluar ke mana saja tanpa takut salah jalan. Kota metropolitan yang padat penduduknya. Serta terkenal dengan tindak kriminalnya. Meski begitu, Ranti tetap senang tinggal di Jakarta. Karena tinggal di Jakarta adalah impiannya sejak kecil. Mimpinya untuk menjadi sekretaris di kantor besar sebentar lagi akan terwujud. Sore ini, Sumi pulang lebih awal dari biasanya. Sumi tak tega melihat Ranti di kontrakan sendirian. Sumi memilih pulang lebih dulu dari suaminya, Waluyo. Kebetulan dagangan juga sisa sedikit lagi. “Ibu, kok sudah pulang? Bapak mana to Bu?” Tanya Ranti yang melihat kepulangan Sumi sendirian. “Bapak belum pulang Nok, masih ada dagangan sedikit. Ibu sengaja pulang dulu, kasihan kamu sendiri di rumah.” Sumi menjelaskan. “Kamu sudah makan belum? Oh ya, tadi Ibu sudah coba tanyakan soal pekerjaan pada mas Angga. Nanti dia akan coba carikan, sesuai pekerjaan yang kamu inginkan. Semoga mas Angga segera dapat info!” Suti duduk di ruang tamu. “Sudah Bu. Mas Angga itu siapa? Kok kayaknya Ibu akrab sama dia?” Jawab Ranti sekaligus bertanya balik. “Mas Angga itu pembeli setia bakso Ibu. Dia sering datang ke warung Ibu dengan teman-temannya. Mas Angga orangnya baik, sopan, terus sudah mapan juga. Besok-besok Ibu kenalkan kamu sama dia. Biar kamu bisa tanya-tanya langsung soal pekerjaan yang kamu cari.” Sumi kembali menjelaskan. “Tapi aku malu eh Bu! Aku kan orang kampung, sedang mas Angga orang kota. Sudah mapan lagi, beda sama aku yang baru lulus sekolah. Apa mas Angga mau berteman sama anak kecil seperti aku?” Ranti merasa tidak percaya diri. “Malu kenapa Nok? Mas Angga orangnya baik kok, gak pernah beda-bedakan orang! Buktinya, meski mas Angga punya pekerjaan mapan, dia mau dekat sama Ibu. Ibu yang hanya penjual bakso, orang kampung pula.” “Mas Angga itu masih muda, ganteng lagi. Paling usianya selisih 2 atau 3 tahun dari kamu. Makanya kamu besok ikut Ibu jualan saja! Nanti kamu banyak kenalan di sana, pekerja-pekerja kantor. Sapa tahu, dengan banyak kenalan kamu bisa segera mendapatkan pekerjaan.” Sumi mengajak Ranti. “Masa sih Bu, mas Angga itu ganteng?” Tanya Ranti penasaran. “Apa Bu, jualan?” Ranti berpikir. “Iya ganteng, ngapain kamu tanya begitu? Kamu itu masih kecil, gak usah mikir orang ganteng! Kerja dulu yang benar!” Sumi menasihati. “Iya, bantu Ibu jualan! Memangnya kenapa kamu gak mau bantu Ibu jualan?” Ucap Sumi lagi. “Ibu begitu saja marah! Ranti kan cuma memastikan. Gak papa Bu. I... iya, coba lihat besok!” Ranti sebenarnya malu untuk bantu Sumi jualan. Apalagi Sumi bilang di tempat jualannya banyak pekerja-pekerja kantoran. Tapi Ranti tak mungkin juga untuk menolak. “Ibu ndak marah. Ibu hanya menasihati kamu! Kamu itu masih kecil, gak usah mikir aneh-aneh! Wis, pokoke besok kamu ikut Ibu jualan!” Sumi tak ingin permintaannya ditolak. Ranti tak bisa bayangkan. Ranti harus jualan bakso di depan pekerja-pekerja kantor. Pasti mereka muda-muda dan ganteng. Rasanya Ranti ingin menolak. Kalau untuk bantu-bantu di rumah, Ranti dengan senang hati melakukannya. Tapi ini jualan di depan pekerja kantoran. Ranti harus menyiapkan mentalnya benar-benar. Menutupi rasa malunya di depan laki-laki muda, ganteng dan mapan. *** Ranti tak bisa menolak permintaan Sumi. Apalagi saat ini, Ranti belum bekerja. Ranti tak punya alasan kuat untuk menolak permintaan Sumi. Ranti pun hanya bisa menurut dan mengikuti perintah Sumi. Pagi-pagi Sumi dan Waluyo sudah menyiapkan dagangan mereka. Mereka tak boleh ketinggalan dengan jam istirahat para karyawan. Karena saat-saat jam istirahat itulah, dagangan Sumi dan Waluyo dikejar pembeli. Waluyo sudah berangkat duluan mendorong gerobak jualan. Sementara Sumi menyusul sembari membawa barang-barang yang tak mungkin dibawa dengan gerobak. Seperti air panas serta bekal makan yang masih disiapkan. “Ayuk Nok, berangkat sekarang, nanti keburu istirahat! Kasihan Bapakmu sendirian, kerepotan ndak ada yang bantu.” Ajak Sumi pada Ranti. “Iya Bu, sebentar! Ranti belum siap.” Ranti dari dalam kamarnya. Meski anak pedagang bakso dari kampung, Ranti tak ingin terlihat kampungan. Ranti berhias, dan memilih pakaian yang tidak menunjukkan bahwa dia dari kampung. “Ranti! Buruan! Kamu ngapain to, kok lama banget?” Panggil Sumi lagi. “Iya Bu! Sabar to?” Ranti masih belum selesai juga. “Ya ampun, kamu itu ngapain sih Nok? Dari tadi ndak selesai-selesai!” Sumi menyusul Ranti ke kamar. “Ranti, kamu itu mau jualan! Bukan mau kerja di kantor! Kok pakai berhias segala, bajumu itu loh Nok, kurang pantas buat kamu! Kamu itu masih kecil, itu pakaian orang dewasa!” Sumi terperanjat melihat Ranti berpakaian sedikit terbuka dan pas di badan. “Ya ampun Bu, biar jualan kita kan juga harus berhias dan cantik! Biar yang beli itu senang!” Ranti beralasan. “Yo wis terserah kamu, Nok! Ayuk berangkat, kasihan Bapak tungguin!” Sumi tak bisa berbuat apa-apa. Ranti dan Sumi keluar dari kontrakan. Kedua tangan Sumi membawa dua tas di tangan masing-masing. Satu tas berisi termos air panas. Satu lagi berisi bekal makan untuk mereka bertiga. Sementara Ranti hanya membawa tas kecil yang berisi peralatan make up serta ponselnya. Sepanjang jalan, Ranti sudah menjadi pusat perhatian. Sumi yang sudah puluhan tahun mengontrak rumah di daerah itu sudah dikenal dan mengenal banyak tetangga. “Bu Sumi, itu siapa? Cantik banget? Anak gadisnya apa?” Tanya tetangga yang kebetulan sedang menjemur pakaian di pagar rumah. “Iya Bu, ini anak gadis saya satu-satunya. Baru datang dari Solo. Makasih ya Bu! Mari!” Jawab Sumi lalu memberi senyum. Tidak hanya sekali, Ranti mendapat pujian dari tetangga kontrakan orang tuanya. Sudah beberapa orang yang berpapasan dengannya selalu memuji Ranti. Selain cantik, Ranti juga pandai berhias dan berbusana. Tidak tampak kalau Ranti seorang anak pedagang bakso yang berasal dari kampung. Ranti juga tak malu membantu orang tuanya berjualan bakso di pinggir jalan. Yang pasti panas dan kotor dari debu serta asap kendaraan yang lewat. Ranti sendiri terus mengumbar senyum pada setiap orang yang berbincang pada Sumi. Hingga membuat orang semakin kagum pada Ranti. Semakin banyak pujian membuat Ranti merasa bangga diri. Namun, Ranti semakin malu untuk membantu orang tuanya berjualan. Ranti malu, orang-orang akan menyebutnya anak tukang bakso. Apalagi melihat Ranti yang hanya jualan bakso. Tidak seperti gadis-gadis lain yang bisa bekerja di kantor, di tempat bersih dan berpendingin. “Bu, aku pulang wae yo?” Ucap Ranti tiba-tiba. “Kok pulang, sudah sampai sini! Sudah ayuk berangkat!” Sumi tak mengizinkan. Pikiran Ranti sudah tak tenang. Ranti membayangkan bagaimana malunya nanti, saat dia berjualan. Apalagi kalau pembeli yang dilayani adalah laki-laki muda dan ganteng. Ranti hampir tak sanggup melanjutkan perjalanannya. Ranti memperlambat langkahnya. Karena langkah kakinya seolah semakin berat untuk diangkat. “Ranti, buruan! Jalan kamu kenapa semakin melambat?” Panggil Sumi mengagetkan Ranti. “Iya, Bu!” Ranti mempercepat lagi jalannya. Ranti tak bisa berbuat apa-apa lagi. Selain mengikuti perintah Sumi. Ranti hanya bisa berharap, semoga yang dia bayangkan tidak terjadi. *** Ranti akhirnya tiba di tempat biasa orang tuanya berjualan bakso. Di pinggir jalan raya. Di kawasan perkantoran. Di sebelah gedung-gedung bertingkat. Di situlah Sumi dan Waluyo berjualan. Jantung Ranti semakin tak menentu. Ranti benar-benar tak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Melihat tempat jualan orang tuanya yang berada di kawasan perkantoran. Pasti banyak karyawan muda dan ganteng. “Ranti, tolong kamu tata gelas-gelasnya di meja dekat gerobak! Jadi kalau ada pembeli, tinggal bikin minumannya!” Perintah Sumi pada Ranti yang saat itu tengah duduk di kursi pembeli. “Iya Bu!” Ranti menata gelas pelan-pelan dan sangat lambat. “Nanti kalau sudah selesai, tolong Ibu belikan batu es ya Nok!” Perintah Sumi lagi. “Belum selesai juga! Ya ampun Ranti, kamu ngapain to? Masa menata gelas saja sambil dihitung! Kapan selesainya nek begitu!” Sumi heran dengan Ranti yang dari tadi tak punya niat untuk membantu. “Kamu kenapa sih Ran? Kamu gak suka Ibu ajak jualan? Atau kamu malu, karena berjualan?” Sumi tampak ketus. “Gak kok Bu! Ranti gak papa! Ranti, Ranti belum biasa saja!” Ranti tak mungkin bicara jujur. “Wis to Bu! Sini biar Bapak yang beli es batu! Biasanya juga Bapak yang beli! Lagian kan Ranti belum tahu tempatnya.” Waluyo menengahi. “Ya kan biar Ranti tahu! Orang tempat jualan es batunya juga dekat saja! Yo wis kono Pak! Keburu pada istirahat!” Sumi dengan nada tinggi. Waluyo berlalu dari warung bakso. Waluyo memang lebih sabar dari pada Sumi. Waluyo tak ingin meributkan masalah. Tak lama, Waluyo kembali dengan membawa tas berisi es batu. Waluyo langsung mengambil es batu lalu memukulnya hingga berukuran kecil. Ranti sendiri kembali duduk di kursi pembeli. Belum juga melewati sehari, Ranti sudah merasakan tak tenang. Ranti ingin segera pulang ke kontrakan. Dari pada di sini, dia harus menahan malu karena berjualan bakso di warung pinggiran. Ranti terus mematung. Membayangkan hal buruk yang akan dia alami. Ranti tak menyangka, kalau Sumi mengenalkan Ranti di tempat jualannya. Ranti kira, Ranti akan dikenalkan dengan Angga di tempat lain. Seperti di kontrakan misalnya. Bukan saat Ranti disuruh membantu jualan orang tuanya. Jam istirahat akhirnya tiba. Warung Sumi mulai diserbu pembeli. Sebagian dari mereka adalah karyawan kantor. Ada laki-laki dan juga perempuan muda yang makan di warung bakso milik Sumi. “Wah Bu Sumi sudah ada yang membantu lagi ya? Siapa Bu, anak Ibu ya?” Tanya salah satu pembeli laki-laki. “Hati-hati Bu! Gak usah diladeni! Jagain anak gadis Ibu!” Salah satu temannya menimpali. “Gak Bu! Gak usah dengarin dia!” Pembeli laki-laki pertama tak terima. “Gak papa Mas! Ini anak gadis saya, baru datang dari Solo!” Sumi mengenalkan Ranti. “Cantik ya Bu, sama seperti Bu Sumi.” Ucap pembeli pertama. “Hati-hati Bu! Nanti kena rayuannya!” Timpal salah satu pembeli lain. Pikiran Ranti semakin tak tenang. Apalagi mendengar beberapa pembeli yang mulai menanyakannya. Belum lagi pembeli yang datang sebagian laki-laki. Ranti semakin malu dengan situasi seperti ini. Pakaian Ranti pasti bau asap. Badan Ranti pasti bau keringat. Kalau begini caranya, tak ada laki-laki yang mau mendekatinya. Kalau bukan Sumi yang menyuruhnya ikut. Ranti tak akan menurutinya. Ranti terpaksa ikut berjualan membantu orang tuanya. Ranti terpaksa menahan malu dan gengsi di depan pembeli. Demi impiannya tercapai. Karena hanya Sumi yang bisa membantu mewujudkan mimpinya menjadi seorang sekretaris. Lewat pelanggannya, Angga sesuai yang Sumi sampaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD