Bus yang ditumpangi Ranti akhirnya tiba di Jakarta. Ranti menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku. Setelah semalaman hanya bisa tidur terlipat di bangku bus. Ranti bisa bernapas lega, akhirnya mimpi hidup di Jakarta sudah menjadi nyata.
Sampai di kontrakkan orang tuanya, Ranti memilih melanjutkan tidur. Rasa kantuk dan lelah setelah melewati perjalanan Solo-Jakarta masih sangat terasa. Sebagian anggota tubuhnya terasa kaku. Tubuhnya terasa sakit semua.
Sumi dan Waluyo sengaja membiarkan Ranti terlelap. Mereka paham, rasa lelah yang dirasakan Ranti saat ini. Sumi dan Waluyo juga senang karena sekarang anak satu-satunya sudah berada di tengah-tengah mereka. Mereka bisa menyayangi Ranti dari dekat. Mereka juga bisa mengawasi Ranti lebih dekat.
Meski Sumi dan Waluyo belum pernah merasakan membimbing anak, mereka bisa merasakan betapa pentingnya perhatian orang tua. Apalagi usia Ranti yang sudah masuk remaja. Ranti butuh perhatian dan bimbingan yang benar agar tak sampai salah jalan ataupun jatuh ke pergaulan bebas.
Sumi terus memperhatikan anak gadis satu-satunya yang tengah terlelap. Sumi baru sadar, kalau putri kecil yang dulu dia tinggal saat masih TK, kini sudah remaja. Bahkan kini, Ranti tumbuh jadi gadis yang cantik dan menawan.
“Ibu, nyapo lihat Ranti begitu?” Tanya Ranti saat terbangun.
“E... enggak papa Ranti.” Sumi terlonjak melihat Ranti tiba-tiba terbangun.
“Kamu sudah bangun to?” Ucap Sumi lagi pada Ranti.
“Iya Bu, Ranti lapar. Ibu masak apa Bu?” Ranti mengucek kedua matanya, lalu tangan kanan memegang perutnya yang mulai keroncongan meminta jatah.
“Kamu lihat saja sana ke dapur!” Sumi menunjuk ke arah dapur.
“Ibu ndak jualan?” Tanya Ranti sebelum beranjak dari tempat tidur.
“Gak Nok, besok saja! Kan kamu baru datang, masa sudah Ibu tinggal.” Sumi menjelaskan pada Ranti.
Sumi dan Waluyo memang sudah dua bulan gak pulang. Niatnya bulan depan baru pulang kampung. Namun Ranti sudah duluan datang ke Jakarta. Rasa rindu Sumi dan Waluyo akhirnya terobati.
***
Sore hari, Ranti dan orang tuanya berkumpul di ruang TV. Mereka bertiga saling bercerita dan melepas rindu. Sumi dan Waluyo sebenarnya belum menginginkan Ranti bekerja. Mereka ingin, Ranti melanjutkan sekolahnya lebih tinggi.
Namun keinginan Sumi dan Waluyo ditolak mentah-mentah oleh Ranti. Saat terakhir pulang ke Solo, Ranti tegas pada pilihannya. Ranti ingin bekerja. Ranti sudah malas berpikir. Ranti ingin cari penghasilan sendiri.
Sumi dan Waluyo tak mau memaksa. Takutnya biaya sudah keluar banyak, kuliah Ranti tak selesai. Sumi dan Waluyo memilih mengalah demi anak gadisnya. Karena yang akan menjalani Ranti.
“Ran, kamu beneran ingin bekerja? Ibu sama bapak sih pinginnya kamu kuliah dulu!” Tanya Sumi di ruang TV.
“Iya Bu. Ranti mau kerja saja! Ranti ndak mau kuliah, pusing!” Jawab Ranti tegas.
“Yo wis, terserah kamu. Ibu sama bapak ndak mau memaksa! Terus kamu mau kerja apa? Nanti biar Ibu sama bapak tanya-tanya orang! Siapa tahu ada lowongan yang pas sama kamu!” Sumi dan Waluyo hanya bisa menuruti kemauan Ranti.
“Aku pengin dadi sekretaris Bu, Pak! Sekretaris yang kerjanya di ruang berpendingin, pakai AC ngono loh Bu! Terus kantornya gede sama bertingkat! Ibu bisa kan carikan buat Ranti!”
“Apa Nok, sekretaris? Kamu ndak salah? Lha nek sekretaris, kamu ya kudu kuliah! Masa sekretaris cuma lulusan SMK. Apalagi, kamu pinginnya jadi sekretaris di kantor besar ya repot. Saingannya banyak, sarjana-sarjana!” Sumi terperanjat.
“Pokoknya Ranti mau jadi sekretaris dan bekerja di kantor!” Ranti terlihat kesal.
“Iya... iya nanti Ibu coba tanya-tanya sama pelanggann bakso Ibu! Semoga saja mereka bisa membantu.” Sumi tak ingin membuat Ranti kesal.
Meski Sumi tahu, pekerjaan sekretaris tidaklah mudah. Apalagi untuk Ranti yang hanya lulusan SMK. Sangat sulit pastinya. Tapi Sumi tak ingin melihat Ranti kecewa. Sumi akan berusaha mencari tahu di mana ada lowongan sekretaris sekarang-sekarang ini.
“Bener ya Bu? Makasih ya?” Ranti mencium pipi lalu memeluk erat tubuh Sumi.
“Iya Ranti.” Sumi balas memeluk tubuh anak gadisnya.
Ranti memang besar dengan neneknya di kampung. Namun sebagai ibu, Sumi paham sifat anak gadisnya yang keras. Segala keinginannya harus dipenuhi. Ranti tak peduli dengan alasan apa pun. Yang dia tahu, segala keinginannya bisa dipenuhi.
***
Jam tiga pagi, Sumi dan Waluyo sudah sibuk dengan aktivitas mereka. Suara berisik memenuhi dapur kontrakan mereka. Demi memenuhi kebutuhan hidup, Sumi dan Waluyo sudah biasa bangun tengah malam. Rasa dingin, rasa kantuk tak jadi penghalang mereka.
Ranti yang belum terbiasa dengan keadaan di kontrakan orang tuanya merasa terganggu. Ranti pun ikut terbangun lantaran mendengar suara berisik. Dengan kedua langkah kaki yang terseok, Ranti berjalan menuju dapur.
“Ranti, kamu bangun? Maaf Ibu sama bapak berisik ya, jadi kamu gak bisa tidur? Ya begini Nok, kerjaan Ibu sama bapak setiap hari di Jakarta!” Ucap Sumi, melihat kedatangan Ranti tiba-tiba.
“Gak papa Bu.” Ranti duduk di kursi dekat dapur.
“Yo wis sana, tidur lagi saja!” Sumi menyuruh Ranti tidur.
“Ranti mau lihat ibu sama bapak buat bakso!” Celetuk Ranti pada orang tuanya.
Ranti memperhatikan bapak dan ibunya membanting tulang dari sebelum subuh. Membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga termasuk Ranti di dalamnya.
“Ranti bantuni ya Bu?” Ucap Ranti lagi.
Sumi dan Waluyo cukup terlonjak mendengar ucapan anak gadisnya. Mereka bangga memiliki anak gadis seperti Ranti. Memang dalam urusan keinginan, Ranti harus dipenuhi. Namun soal pekerjaan membantu orang tua di rumah, Ranti tak segan.
Sumi memandang wajah Ranti lekat. Lalu mengangguk disertai senyuman.
“Terus apa Bu yang bisa Ranti bantu?” Tanya Ranti pada ibunya.
Sumi memberi arahan pada Ranti. Apa yang harus dia kerjakan untuk membantu ibunya. Sumi tak menyangka, Ranti yang ingin menjadi sekretaris di kantor besar mau mengerjakan pekerjaan membuat bakso. Pekerjaan yang bisa membuat tangan-tangan Ranti kotor dan bau.
***
Hari kedua di Jakarta, Ranti sudah mulai ditinggal kedua orang tuanya jualan bakso. Sumi dan Waluyo biasa mangkal di jalan raya depan gedung-gedung perkantoran yang tak jauh dari kontrakan mereka.
Jam sembilan pagi orang tua Ranti sudah mulai menyiapkan dagangan mereka. Istirahat siang biasanya warung mereka mulai diserbu pembeli. Pelanggann Sumi dan Waluyo rata-rata karyawan kantor serta mall di sekitar tempat mangkalnya.
“Siang Bu? Biasa ya Bu!” Ucap seorang pembeli beserta dua rekannya.
“Eh Mas Angga... iya Mas! Tunggu sebentar ya Ibu siapkan!” Jawab Sumi sopan.
Tak lama bakso pesanan Angga pun siap. Tiga mangkuk bakso dibawa Sumi dengan nampan ke meja Angga dan dua orang temannya.
“Ini pesanan Mas Angga tanpa urat! Yang dua buat temannya pakai urat! Silakan!” Sumi meletakkan mangkuk bakso ke depan meja masing-masing.
“Minumnya biasa ya Bu! Kalian mau minum apa?” Ucap Angga pada Sumi dilanjut pada dua temannya.
“Es teh manis, dua lagi es jeruk! Makasih ya Bu!” Ucap Angga lagi.
“Pak, es teh manis buat Mas Angga sama es jeruk dua ya!” Sumi memanggil suaminya.
“Kemarin libur ya Bu, teman saya mau pada ke sini katanya warung bakso Ibu tutup?” Tanya Angga pada Sumi.
“Iya Mas, anak saya dari kampung datang. Katanya sih pengin cari kerja di Jakarta. Makanya Ibu libur sehari, kasihan masa baru datang ditinggal!” Sumi menjelaskan sembari meracik pesanan bakso pembeli lain.
“Oh, terus di mana anak Ibu kok gak diajak?” Tanya Angga lagi.
“Di rumah sendiri. Mau Ibu ajak, mbok masih capek. Takut gak mau juga.” Sumi tersenyum.
“Oh ya, di tempat kerjanya Mas Angga atau siapa ada lowongan kerja gak? Buat anak perempuan yang baru lulus.” Tanya Sumi lagi setelah mengantar dua mangkuk bakso ke meja sebelah.
“Lowongan?” Angga berpikir sejenak.
“Kayaknya untuk saat ini belum ada Bu. Coba nanti saya tanya teman-teman saya! Sapa tahu di tempat kerja mereka ada lowongan!” Angga menjelaskan.
“Iya ndak papa Mas. Nanti kalau ada bilang sama Ibu ya? Sapa tahu anak saya mau!” Sumi berharap Angga bisa membantu.
“Tenang saja Bu, Angga ini karyawan teladan! Pasti yang direkomendasikan dia cepat diterima kerja! Ajak ke sini saja anak Ibu, biar kenalan sama Angga! Sapa tahu mereka cocok, biar Angga punya pasangan. Masa iya, karier sudah oke, tapi masih jomblo juga!” Salah satu teman Angga tertawa renyah meledek Angga.
“Apa sih lo ini? Jangan dengarin omongan dia Bu! Orangnya rada kurang!” Angga mengangkat jari telunjuk tangan kanannya lalu memiringkan di dahinya ke arah Sumi.
Sumi, Angga, dan kedua rekannya pun tertawa bersama. Angga salah satu pembeli setia Sumi dan Waluyo. Seringnya datang ke warung bakso, Sumi dan Angga pun cukup dekat. Saat Angga ada masalah, Angga pun tak segan bercerita dengan Sumi. Begitu juga dengan Sumi yang selalu memberi nasihat serta perhatian pada Angga.
“Sudah tertawanya, nanti keselak lagi! Kalian kan lagi makan, selesaikan dulu makannya baru bercanda!” Sumi menghentikan gelak tawanya.
“Lagian Mas, Mas Angga kan ganteng sudah mapan pula! Mana mau sama anak Ibu yang masih bau kencur, dari kampung lagi.” Sumi merendah.
“Tenang saja Bu, Angga gak begitu orangnya! Angga gak pernah pilih-pilih teman! Makanya temannya banyak. Cuma sayang, itu tadi Bu gak tahu cari yang kaya apa si Angga ini? Belum punya pacar juga sampai sekarang!” Salah satu temannya kembali meledek Angga.
Angga yang seolah terus menjadi bahan perbincangan saat ini memilih diam. Menikmati lezatnya bakso bu Sumi yang sudah memikat rasa di hati Angga.
“Kalau itu sih Ibu percaya Nak, sudah kelihatan orangnya. Besok deh Ibu ajak anak Ibu ke sini! Biar kenal sama Mas Angga, sama kalian juga! Sapa tahu dari banyak teman banyak informasi pekerjaan yang bisa di dapat.”
“Iya Bu, diajak saja ke sini! Dari pada di rumah sendirian. Di sini kan bisa kenalan sama kita-kita! Bisa bantu-bantu Ibu juga sementara!” Jawab rekan Angga.
Sumi mengangguk mengiyakan. Menurutnya, saran dari Angga serta teman-temannya ada betulnya juga. Kalau di kontrakan terus, Ranti tak mungkin punya teman. Justru Ranti kesepian. Di sini, Ranti bisa melakukan banyak kegiatan. Dapat teman baru, bisa belajar dagang, serta banyak pemandangan yang bisa dilihat. Ranti tidak akan merasa bosan.