01. Awal Ke Jakarta
“Akhirnya kita lulus juga ya Sih. Aku seneng banget!” Ucap Ranti sembari memegang selembar kertas putih yang baru dia keluarkan dari amplop cokelat. Selembar kertas pengumuman kelulusan sekolah tingkat SMK.
“Iya Ranti, aku yo seneng banget. Terus kamu piye? Setelah kelulusan ini, kamu jadi ke Jakarta?” Asih bertanya balik pada Ranti.
“Iya dong. Aku sudah gak sabar pengin ke Jakarta! Kerja di sana, di kota besar. Kamu sendiri gimana Sih? Ikut ke Jakarta yuk?” Ranti sudah membayangkan bagaimana enaknya tinggal di Jakarta. Tinggal di kota besar, dengan segudang tempat yang lengkap.
“Kamu asyik, orang tuamu di sana. Sambil golek kerja bisa tinggal sama orang tua. Kalau aku, yo ndak mungkin. Paling aku kerja di kampung wae.” Asih tampak menekuk wajahnya.
“Yo wis, kamu ikut aku ke Jakarta saja! Nanti tinggal bareng sama orang tuaku. Biar kita bisa bareng terus! Piye?” Ranti menyarankan Asih ikut dirinya ke Jakarta.
“Eh... ndak-ndak!” Asih menggelengkan kepala serta melambaikan kedua tangannya menolak.
“Kita kan belum jelas mau kerja apa! Nanti saja kalau kamu sudah sukses di Jakarta, aku ikut kamu!” Asih melanjutkan ucapannya.
“Terserah kamu saja! Tapi kita bakal jarang ketemu lagi, aku pasti akan merindukan kamu. Aku akan merindukan saat-saat kita jalan dan bercanda bersama! Tapi bener ya, nanti kalau aku sudah kerja kamu nyusul ke Jakarta!” Ranti merasa sedih karena harus berpisah dengan sahabatnya.
“Iya. Nanti kalau kamu sudah sukses di Jakarta jangan lupa sama aku! Sama sahabat kamu yang satu ini!” Asih memeluk Ranti.
Ranti dan Asih memang sudah bersahabat dari kecil. Dari masih di sekolah tingkat dasar, Ranti dan Asih selalu sekolah dan bermain bersama. Dan kini, mereka harus berpisah sementara demi masa depan keduanya.
Ranti, gadis cantik yang baru saja menyelesaikan bangku sekolahnya di Sekolah Menengah Kejuruan. Usianya memang terbilang muda. Saat itu Ranti baru 18 tahun. Meski baru 18 tahun, Ranti sudah beberapa kali ganti kekasih. Meski hanya cinta monyet, kekasih Ranti tak rela ditinggalkan Ranti begitu saja.
Ranti tak peduli dengan mantan-mantan kekasih yang sudah dia tinggalkan. Ranti bisa dibilang gadis yang materialistis. Ranti menilai laki-laki dari segi materi. Ranti tak pernah melihat hati laki-laki. Bagi Ranti yang terpenting laki-laki itu bisa memberi apa yang dia butuhkan. Ranti akan menerima sebagai kekasihnya.
Sejak kecil Ranti tinggal dengan neneknya, Suti. Nenek Suti tak begitu memperhatikan pergaulan cucunya. Bagi nenek Suti yang penting Ranti sekolah dengan benar. Urusan pergaulan, nenek Suti serahkan pada Ranti. Nenek Suti tahu, Ranti pasti bisa membatasi pergaulannya. Nenek Suti pun memberikan kebebasan pada cucunya.
Nenek Suti sudah tak muda lagi. Dia tak sanggup kalau harus memperhatikan Ranti yang sudah mulai dewasa. Apalagi saat malam mulai tiba, nenek Suti selalu tidur cepat. Nenek Suti pun tak tahu kalau di rumahnya sering berdatangan tamu lelaki Ranti.
Kecantikan Ranti memang cukup membuat laki-laki yang memandangnya tertarik. Banyak laki-laki yang tergoda dengan kecantikannya. Tidak hanya cantik, Ranti yang memilih jurusan sekretaris juga berpenampilan menawan. Ranti tak menampakkan kalau dirinya berasal dari kampung. Gaya pakaiannya seperti orang kota.
Orang tua Ranti sudah lama tinggal di Jakarta. Susahnya pekerjaan di kampung, membuat Waluyo dan Sumi memilih mengadu nasib ke ibukota. Waluyo dan Sumi pun terpaksa meninggalkan Ranti dengan neneknya. Tiga bulan sekali mereka pulang menjenguk Ranti.
Waluyo dan Sumi sangat memanjakan Ranti. Segala kebutuhannya dipenuhi. Maklum saja, Ranti adalah putri satu-satunya yang mereka punya. Namun dari kebiasaan inilah, mereka tak menyadari akibatnya bagi Ranti. Ranti tumbuh jadi gadis yang segala keinginannya bisa dipenuhi tanpa harus bekerja keras. Ranti bisa mendapatkan sesuatu hanya dengan meminta tanpa harus bekerja.
Ranti sudah tak sabar untuk segera ke Jakarta. Ranti sudah bosan tinggal di kampung. Karena di kampung, suasana terasa sepi. Butuh sesuatu harus pergi jauh ke kota.
***
Kabar pindahnya Ranti sampai juga ke teman-teman lelaki Ranti. Mereka tak rela, kalau Ranti harus pindah ke Jakarta. Kecantikan Ranti memang telah menyihir banyak kaum lelaki. Bahkan sebagian mantan kekasih Ranti pun masih belum rela diputuskan Ranti.
Apalagi, kekasih Ranti di kampung saat ini. Dia benar-benar menolak perpindahan Ranti ke Jakarta. Kekasih Ranti di kampung rela memberikan apa saja asal Ranti membatalkan niatnya.
“Ranti, kenapa sih kamu mesti ke Jakarta! Wis, kamu sini wae! Kalau kamu ke Jakarta aku piye?” Kekasih Ranti mengeluh.
“Aku pengin pindah ke Jakarta, bosan di kampung! Aku juga pengin kerja di kantor gede! Kamu cari perempuan lagi saja, kan gampang!” Jawab Ranti santai.
“Apa? Gak segampang itu Ran? Aku sangat mencintai kamu, dan aku gak ingin perempuan lain selain kamu! Tolong kamu jangan pergi ya?” Kekasih Ranti terus memohon.
“Halah nanti kalau aku sudah pergi, pasti juga bisa cari penggantinya! Kamu ndak usah lebay gitu! Pokoknya keputusan aku sudah bulat, titik!” Keputusan Ranti tak bisa diganggu gugat lagi.
“Tapi Ran? Terus hubungan kita bagaimana? Apa kamu segampang itu melupakan aku? Terus hubungan kita selama ini gak ada artinya buat kamu?” Kekasih Ranti belum bisa menerima keputusan Ranti.
“Hubungan kita? Ya cukup sampai di sini! Aku ndak mau hubungan jarak jauh! Mending kamu cari cewek lain! Aku juga akan cari cowok lain!” Ranti masih santai menjawab.
“Maksud kamu putus? Kamu sadar ndak sama ucapanmu? Selama ini aku sudah sabar menghadapi sikap kamu, aku berusaha menuruti segala kemauan kamu! Dan dengan gampangnya kamu bilang kita putus! Gak... aku gak terima!” Kekasih Ranti menolak keputusan Ranti memutuskan hubungan mereka.
“Itu urusanmu! Yang penting aku anggap hubungan kita selesai! Aku ndak mau punya beban di Jakarta! Dan tolong jangan ganggu aku lagi! Oh ya, aku capek mau istirahat! Sebaiknya kamu pulang saja!” Ucap Ranti tegas.
“Jelas ini urusan kita, kita yang menjalani hubungan berdua! Dan gak bisa kamu putuskan sepihak!” Kekasih Ranti tetap menolak.
“Terserah! Buruan kamu pulang! Atau perlu aku antar ke depan pintu!” Tangan kanan Ranti menunjuk pintu rumah.
“Ranti, pokoknya sampai kapanpun aku gak terima dengan sikap kamu ini! Kamu memang sempurna, tapi sayang kesempurnaanmu tak sebanding dengan sikap kamu yang tak bisa menghargai laki-laki! Aku juga punya perasaan! Kamu sudah menyakiti hati banyak lelaki, termasuk aku! Dan aku yakin suatu saat nanti karma pasti berlaku! Tuhan tidak tidur, Tuhan pasti akan membalas sikap kamu! Suatu saat kamu akan tersakiti oleh laki-laki! Bahkan lebih menderita dari aku!” Kekasih Ranti tak bisa menahan emosinya lagi.
“Masa bodoh! Cukup ceramahnya? Silakan, itu pintu keluarnya!” Ranti mengusir kekasihnya.
Ranti tak peduli apa pun yang diucapkan mantan kekasihnya tadi. Yang penting sekarang Ranti sedang bahagia karena sebentar lagi akan meninggalkan kampung ini. Kampung yang sepi dan membosankan. Kampung yang dipenuhi orang-orang kampungan seperti mantan-mantan kekasihnya.
***
Urusan sekolah sudah selesai. Secepatnya Ranti mencari tiket bus Jakarta. Ranti sudah tak ingin menunda lagi keberangkatannya. Ranti benar-benar tak sabar lagi untuk sampai di Jakarta.
Sebelum pergi, Ranti berpamitan pada nenek Suti. Nenek yang sudah merawat dan membesarkan Ranti sejak usia lima tahun. Dan kini tiga belas tahun sudah berlalu. Ranti sudah remaja. Ranti ingin mengejar masa depannya di Ibukota.
Sebenarnya Ranti berat meninggalkan nenek Suti sendiri. Tapi keputusan serta cita-citanya yang sudah bulat tak bisa diubah lagi. Nenek Suti pun tak ingin menghalangi cita-cita cucunya. Nenek Suti hanya bisa mendoakan semoga Ranti bisa sukses dan membanggakan orang tua di Jakarta.
Ranti juga sudah meminta nenek Suti untuk ikut ke Jakarta. Tinggal di Jakarta bersama orang tuanya. Tapi, nenek Suti menolak. Nenek Suti ingin tetap tinggal di kampung. Meski sudah berumur, nenek Suti masih terlihat sehat. Nenek Suti masih cukup cekatan melakukan kegiatan sehari-hari.
Malam yang ditunggu Ranti pun tiba. Tukang ojek yang akan mengantarnya ke terminal sudah menjemputnya. Nenek Suti dan Asih tak bisa mengantar sampai terminal. Mereka hanya bisa mengantar Ranti di depan rumah.
“Nek, Ranti berangkat ya?” Ranti berpamitan dengan mencium punggung tangan nenek Suti. Ranti memeluk nenek Suti erat. Ranti tak bisa menahan tangis di kedua pelupuk matanya. Bagaimanapun, nenek Suti sudah seperti orang tua Ranti.
“Yo Nok, hati-hati! Salam kanggo pak e sama ibu!” Sama seperti Ranti, nenek Suti pun tak bisa menutupi kesedihannya.
“Asih, aku pamit ya? Nitip nenek!” Ranti berpamitan pada Asih sahabatnya.
“Iya, hati-hati! Jaga diri baik-baik di kota orang! Jangan lupa sama persahabatan kita ya?” Asih berpesan pada Ranti.
Tangis sedih tampak di wajah ketiganya. Namun mereka harus kuat. Semua ini demi masa depan yang lebih baik.
Ojek pun siap untuk mengantar Ranti. Sebelum ojek berlalu, Ranti melambaikan tangan kanannya pada nenek Suti dan Asih sebagai tanda perpisahan.
Ojek melaju cepat meninggalkan rumah nenek Suti. Melewati jalan raya yang malam itu tampak lengang. Setengah jam sudah akhirnya Ranti sampai di terminal Tirtonadi Solo.
Ranti menghapus bekas air mata yang masih menempel di kedua pelupuk matanya. Ranti tak ingin terus bersedih. Ini sudah menjadi keputusannya. Ranti harus semangat.
Sampai di terminal, Ranti langsung menaiki bus jurusan Jakarta. Tak butuh lama, bus pun langsung berangkat menuju Jakarta. Kedua bola mata Ranti tak berhenti memandang kota Solo dari jendela bus. Kota kecil yang selama ini menemani hari-hari Ranti. Kota kecil yang sebentar lagi akan menjadi kenangan dalam hidupnya.
Sepanjang perjalanan, Ranti terus membayangkan bagaimana nanti dia di Jakarta. Berada di kota besar dengan segala impiannya. Impiannya untuk bisa bekerja di kantor besar sebagai seorang sekretaris. Ranti sudah tak sabar menahan kebahagiaan itu tiba. Kebahagiaan bertemu orang tua serta kebahagiaan bisa tinggal di ibukota.
Tanpa sadar, Ranti pun terlelap di bus. Perjalanan ke Jakarta, Ranti lewati dengan tidur malam. Dengan tidur malam, akan membuat waktu terasa begitu cepat. Ranti pun tak merasakan rasa bosan di kendaraan.